Minggu, 01 September 2013

Selamatkan Peradaban Mesir

Selamatkan Peradaban Mesir
Biyanto ;  Dosen IAIN Sunan Ampel,
Ketua Majelis Dikdasmen PW Muhammadiyah Jawa Timur
KORAN SINDO, 31 Agustus 2013


Republik Arab Mesir, atau lebih dikenal Mesir, merupakan negara yang memiliki sejarah hebat di bidang peradaban. Mesir merupakan pusat peradaban dunia, khususnya yang ada di belahan Timur, bersama China, India, dan Persia. 

Peradaban Barat yang ada di Yunani dan kemudian melahirkan begitu banyak filsuf ternama juga tidak dapat dilepaskan dari sejarah kehebatan Mesir. Karena sejarah panjang itulah, negara yang berada di wilayah Afrika bagian timur laut ini termasuk negara maju di benua Afrika. Bagi Indonesia, Mesir jelas memiliki posisi yang sangat penting. Itu karena Mesir tercatat sebagai negara pertama di dunia yang mengakui kemerdekaan dan kedaulatan RI. 

Karena itu, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa negara kita sejatinya berutang budi pada Mesir. Seperti Indonesia, Mesir juga berpenduduk mayoritas Islam. Karena itulah, terasa tepat sikap Presiden SBY yang mendesak agar Dewan Keamanan PBB segera mengambil langkah untuk menyelesaikan krisis di Mesir. Bukti bahwa Mesir berkaitan erat dengan peradaban besar dunia dibuktikan dengan beberapa monumen kuno yang hingga kini masih berdiri megah. 

Beberapa peninggalan tersebut meliputi Piramid Giza, Kuil Karnak, Lembah Raja, dan Kuil Ramses. Di wilayah bagian selatan, tepatnya di Luxor, juga ditemukan peninggalan bersejarah yang mencakup sekitar 65% artifak kuno di seluruh dunia. Itulah yang menyebabkan Mesir hingga kini diakui sebagai pusat budaya dan politik wi-layah Arab dan Timur Tengah. 

Dunia Islam juga menempatkan Mesir sebagai negara terpenting setelah al-Haramain; Mekkah dan Madinah. Itu karena Mesir memiliki pusat pendidikan yang melegenda yakni Universitas Al-Azhar yang berada di Kairo. Nama Al- Azhar disandarkan pada sosok Sayyidah Fatimah al-Zahrah, putri Nabi Muhammad SAW. Salah satu universitas tertua yang selalu menjadi referensi umat Islam itu dibangun Dinasti Fatimiyah pada Ramadan (Oktober) 975 Masehi. 

Dinasti Fatimiyah dikenal beraliran Syiah Ismailiyah. Dalam perkembangannya, Universitas Al-Azhar menjadi pusat pendidikan Islam bercorak Sunni. Al-Azhar kini menjadi ikon Mesir sekaligus simbol kemajuan pendidikan dunia Islam. Rasanya sudah tak terhitung betapa banyak lulusan Al- Azhar. Universitas ini pun telah melahirkan banyak pembaru yang tersebar di dunia Islam. 

Sejarah kehidupan berbangsa di Mesir dimulai tatkala Napoleon Bonaparte melakukan ekspedisi pada 1798. Ekspedisi Napoleon ke Mesir diikuti rombongan yang terdiri atas ilmuwan dan teknolog dalam jumlah besar. Meski berlangsung hanya dua tahun, Napoleon telah membawa perubahan yang sangat penting bagi Mesir dan dunia Islam. Sebelum ekspedisi Napoleon, konsep kebangsaan di Mesir dan dunia Islam sangat kabur. 

Paham kebangsaan hanya ditentukan melalui ajaran tentang persaudaraan (ukhuwah) berdasarkan kesamaan agama. Yang dikenal saat itu adalah konsep tentang umat (ummah) yang berarti persatuan universal berdasarkan ikatan keimanan. Praktiknya, seluruh umat dipersaudarakan berdasarkan kesamaan agama. Paham kebangsaan yang dibawa Napoleon kemudian menginspirasi banyak pemikir muslim. 

Salah satunya al-Thahthawi, seorang pembaru Mesir, yang mengenalkan konsep cinta tanah air pada bangsanya. Gagasan cinta tanah air itu kemudian mendorong suatu bangsa untuk membangun masyarakatnya. Sejak itulah dunia Islam yang berada dalam kekuasaan bangsa asing satu persatu membebaskan diri. Maka itu, konsep umat yang didasarkan pada kesamaan agama mulai bergeser pada kesamaan kepentingan untuk mencapai tujuan yang diinginkan suatu bangsa. 

Sebagian pemikir muslim memang belum sepenuhnya menerima gagasan kebangsaan. Mereka masih terobsesi mewujudkan kesatuan umat berdasarkan kesamaan agama. Gagasan Pan-Islamisme al-Afghani dan Jam’iyah Islamiyah Rasyid Ridla dapat menjadi contoh. Dua gagasan ini memiliki keprihatinan yang sama yakni membangun solidaritas politik berdasarkan kesamaan aqidah. Gagasan ini awalnya dimaksudkan untuk menentang dominasi Barat terhadap dunia Islam. 

Rasyid Ridla bahkan berkeinginan untuk membangun kembali sistem kekhalifahan seperti periode al-Kulafa’ al-Rasyidun. Gagasan Ridla inilah yang menjadi inspirasi cita-cita politik tokoh Ikhwanul Muslimin. Namun, sejak Mesir diproklamasikan sebagai negara republik pada 15 Juni 1953, cita-cita politik Ikhwanul Muslimin tidak berhasil diwujudkan. Tokoh- tokoh Ikhwanul Muslimin hanya bergerak di bawah tanah. 

Apalagi tatkala Mesir dipimpin Presiden Hosni Mubarak yang berkuasa selama 30 tahun (1981-2011). Itu karena Mubarak dikenal pemimpin yang sangat represif. Sinar perubahan Mesir terasa terang benderang pascapengunduran diri Presiden Mubarak pada 11 Februari 2011. Euforia rakyat Mesir memuncak bersamaan dengan pelaksanaan pemilihan umum untuk memilih presiden baru. 

Pemilu yang demokratis itu dimenangkan aktivis Ikhwanul Muslimin yang hafidh Alquran, Muhammad Mursi. Sayang sekali, pemerintahan Presiden Mursi tidak berlangsung lama. Pada 3 Juli 2013, pemerintahan Mursi berakhir karena dikudeta angkatan bersenjata Mesir. Proses pengambilalihan pemerintahan dengan menggunakan kekuatan angkatan bersenjata itu mengundang keprihatinan dunia. Tak ketinggalan ulama dan akademisi dari Universitas Al-Azhar. 

Ulama kharismatik Syekh Yusuf al-Qaradhawi bahkan memfatwakan bahwa intervensi militer dalam penggulingan Presiden Mursi bertentangan dengan agama dan nilai-nilai demokrasi. Al-Qardhawi sempat menyarankan agar kekuatan angkatan bersenjata mundur dari panggung politik. Angkatan bersenjata harus memberi kesempatan pada faksi-faksi politik untuk mencari solusi guna menyelamatkan hasil pemilu yang demokratis. 

Tetapi, fatwa itu sama sekali tidak mengubah kondisi sosial politik Mesir. Kelompok pro dan kontra Presiden Mursi terus berhadapan. Akibat itu, ratusan korban pun meninggal karena tindakan represif pemerintah transisi yang didukung angkatan bersenjata. Sejumlah peninggalan bersejarah yang telah menjadi simbol kemajuan peradaban Mesir juga hancur lebur. Bangsa Mesir yang dulu dikenal sebagai pembangun peradaban kini berubah menjadi penghancur peradaban. 

Capaian peradaban yang telah dibangun berabad-abad kini hampir tak tersisa. Alangkah nestapa nasib Mesir kini. Bukankah membunuh sesama dan merusak peradaban itu perilaku orang yang tidak beradab? Karena itu, mari kita ajak dunia untuk menyelamatkan peradaban Mesir. ●  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar