Rabu, 18 September 2013

Jeda Menjelang Pemilu

Jeda Menjelang Pemilu
Indra J Piliang  ;   Ketua Balitbang DPP Partai Golkar
SUARA KARYA, 18 September 2013


Baru-baru ini, saya menjadi pembicara dalam diskusi yang digelar Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Masalah yang dibahas adalah soal kartelisasi politik dan kaitan bisnis dengan politik. Di hadapan saya ada dua pimpinan KPK: Bambang Widjojanto dan Busyro Muqoddas. Presentasi saya memuat fase-fase transisi demokrasi di Indonesia, dimulai lewat amandemen UUD 1945, pendirian partai-partai politik, hingga Pemilu 1999.

Sistem politik Indonesia hari ini tentu berbeda dengan kondisi 15 tahun lalu. Di kala Presiden Soeharto mengundurkan diri, hampir tidak ada pikiran tentang siapa calon presiden yang pantas. Presiden Soeharto terlalu kuat sebagai sebuah sistem. UUD 1945 (asli) memang menempatkan lembaga kepresidenan sebagai lembaga yang (ter)-kuat. Presiden bisa dipilih berkali-kali karena frase tidak terbatas. Sistem yang ada dalam UUD 1945 (asli) memang melahirkan dua orang presiden yang kuat, yakni Soekarno dan Soeharto.

Sikap mayoritas intelektual, politikus, dan masyarakat sipil kala melakukan amandemen adalah membatasi kekuasaan lembaga kepresidenan. Amputansi terjadi yakni dengan cara membatasi jabatan presiden hanya untuk dua kali masa jabatan. Sementara proses pemilihan presiden tidak lagi melalui MPR, tetapi via pemilihan langsung. Di luar itu, pendulum diayun ke lembaga legislatif (terutama DPR) yang diberi kekuasaan besar.

Bergesernya kekuasaan dari lembaga kepresidenan ke lembaga legislatif telah menggeser juga kekuatan politik ke dalam tubuh partai-partai politik. Parpol mendapatkan banyak hak dan kewenangan, mulai dari pencalonan presiden dan wakil presiden, pembuatan undang-undang sesuai fungsi legislasi DPR, sampai fungsi anggaran. Birokrasi di bawah lembaga kepresidenan, dalam bentuk kabinet, pun ikut berpaling ke parlemen.

Masalahnya, parpol belum memiliki kemampuan yang benar-benar prima sebagai organisasi yang kredibel. Parpol masih merupakan lembaga peserta pemilu dan pilpres saja, termasuk pilkada. Sistem kaderisasi kepartaian belum berkembang. Fungsi penelitian dan pengembangan jauh dari harapan. Ideologisasi berjalan tertatih. Sementara makin banyak lembaga negara yang ikut lahir, termasuk komisi-komisi negara yang diisi oleh kalangan nonparpol.

Di luar itu, cadangan SDM yang dimiliki bangsa masih terbatas. Larangan bagi PNS, polisi, dan tentara untuk masuk parpol juga memperlemah SDM dalam tubuh parpol. Itulah sebabnya, parpol masih mayoritas dikendalikan oleh politikus lama. Kalaupun kemudian beberapa kalangan muda masuk ke tubuh parpol, sisi ketokohan belum terbangun. Dari sinilah kritisisme terbangun justru di kalangan kaum intelektual dan masyarakat sipil yang sejak awal justru memberikan kekuasaan maksimal kepada partai politik dalam amandemen.

Apa yang harus dilakukan sekarang? Sepertinya perlu jeda intelektual sejenak. Saatnya ada evaluasi total dalam bingkai diskusi dan makalah, guna melihat apa yang terjadi selama 15 tahun lewat. Lalu, proyeksi apa yang penting bagi masa depan Indonesia? Jangan sampai kesibukan dengan pekerjaan-pekerjaan temporer menyebabkan kita sebagai bangsa kehilangan perspektif. Perlu ada keluasan pengetahuan atas apa yang terjadi selama ini, serta visi besar atas apa yang hendak dituju oleh bangsa kita.

Kalangan politikus tentu juga perlu mengambil tempat sebagai sparring partner dalam jeda ini. Beban yang ada di pundak politikus begitu besar, sementara perhatian masih sangat minimal: hanya mengandalkan kapasitas pribadi. Jangan sampai di tengah situasi yang kurang menguntungkan bagi politikus ini, justru sinisme menjadi kuat dan tekanan juga mengalir. Kita tentu tidak berharap, betapa politikus yang terpilih nanti adalah jenis politikus yang kebal terhadap segala kritik dan imun dalam perspektif kebangsaan. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar