Rabu, 18 September 2013

Mengembalikan Devisa Hasil Ekspor

Mengembalikan Devisa Hasil Ekspor
Susidarto  ;   Pemerhati dan Praktisi Perbankan di Yogyakarta
SUARA MERDEKA, 18 September 2013


"Fakta menunjukkan bahwa kemampuan negara kita dalam mengelola devisa masih sangat buruk"
HAMPIR sebulan ini nilai tukar rupiah terus saja melemah. Fluktuasi nilai berkisar Rp 11.500 hingga 11.800 per dolar AS. Rupiah kembali melemah akibat hot money yang selama ini ”memegang” rupiah, beralih ke portofolio dolar AS. Situasi bertambah runyam manakala banyak korporasi besar juga terus memburu dolar guna memenuhi kewajibannya pada September ini.

Fakta itu lama-kelamaan bisa memengaruhi rapor dan kinerja perekonomian Indonesia. Kita tidak bisa terus berbangga bahwa ekonomi Indonesia, khususnya cadangan devisa,  cukup tangguh untuk membendung ulah spekulan. Pembiaran keberlanjutan depresiasi rupiah berdampak cukup riskan bagi ekonomi keseluruhan.

Masih  tingginya ketergantungan industri domestik akan bahan baku impor misalnya, sehingga tiap kenaikan kurs dolar AS akan selalu diikuti oleh kenaikan ongkos produksi, pasti akan berdampak pada kenaikan harga komoditas yang dihasilkan. Ini berarti harga jual barang produksi domestik pun meroket dan terkatrol sebagai dampak depresiasi rupiah.

Padahal kenaikan harga itu akan berpengaruh langsung terhadap daya beli (purchasing power) masyarakat. Mereka yang tidak tahu-menahu masalah moneter dan gejolak valas pun, harus ikut terkena getahnya. Selama ini, awam hanya tahu, apabila kurs dollar menguat maka harga barang dan jasa dipastikan ikut naik. Jelas, pengeluaran rumah tangga ikut membengkak, sementara pendapatan tidak naik, sehingga jumlah orang miskin makin bertambah. Dengan kondisi ini terlihat jelas bahwa abnormalitas nilai tukar rupiah akan berdampak langsung terhadap perekonomian domestik.

Causa Prima

Dari hasil kajian belakangan ini, minimal ada dua penyebab kemelemahan rupiah. Pertama; masyarakat sudah jenuh memegang rupiah akibat makin tidak menariknya imbal hasil rupiah yang dipicu oleh tingginya angka inflasi tahunan yang mencapai 8,2%. Investor akhirnya beralih memegang dolar AS hingga pasokan mata uang itu langka.

Nilai dolar pun meroket tajam karena mampu memberikan yield cukup besar ketimbang rupiah. Selain itu, banyaknya korporasi swasta dan BUMN membutuhkan pasokan dolar AS dalam jumlah besar pada waktu bersamaan. Realitas itu mengakibatkan tidak berimbangnya pasokan dan kebutuhan, yang berdampak pada kemelemahan nilai tukar rupiah.

Kedua; membaiknya perekonomian AS belakangan ini, mengakibatkan nilai tukar dolar kian menguat dibanding mata uang regional, termasuk rupiah. Pelemahan nilai tukar rupiah cukup besar jika dibanding mata uang negara lain. Kemelemahan rupiah juga disebabkan ekses likuiditas yang sangat berlebihan di perbankan. Kondisi itu sangat mudah dimanfaatkan banyak pihak bertransaksi valas untuk tujuan spekulatif. Inilah asal-muasal dan penyebab kemelemahan rupiah yang harus diperangi bersama. 

Langkah pertama untuk melawan kemelemahan rupiah adalah dengan menarik sebesar mungkin likuiditas pasar yang berlebihan.  Kelebihan likuiditas inilah yang kemudian digunakan oleh spekulan untuk membeli valas, khususnya dolar AS.

Akibatnya, kurs dolar terhadap rupiah terus naik dan rupiah makin melemah. Bank Indonesia sudah mengeluarkan beberapa kebijakan untuk menyerap likuiditas pasar. Kebijakan moneter BI ditambah kebijakan fiskal pemerintah diharapkan bisa meredam gejolak rupiah. Kebijakan kedua yang perlu terus dilakukan adalah upaya untuk memperbesar cadangan devisa, dengan cara mengundang devisa untuk masuk ke domestik. Caranya adalah melalui pasar modal (portfolio investment) dan investasi langsung melalui foreign direct investment (FDI).

Pemerintah juga perlu terus menciptakan iklim kondusif agar devisa hasil ekspor bisa masuk ke Indonesia (repatriasi), tidak sekadar diparkir terus di luar negeri.  Dengan pasokan dolar AS domestik yang besar, niscaya rupiah makin kuat. Fakta menunjukkan bahwa kemampuan negara kita dalam mengelola devisa masih sangat buruk. Dana-dana yang berasal dari Indonesia bisa melayang begitu saja ke negeri orang. Semua ini merupakan konsekuensi dari UU Lalu Lintas Devisa, yang menganut kebebasan sebebas-bebas (sistem devisa bebas). Dana asing bisa keluar dan masuk tanpa ada batasan, baik dari segi jumlah maupun jangka waktu. Hal ini harus mendapatkan pengaturan yang baru, yang bisa mengatur devisa ini.

Pengalaman selama ini menunjukkan bahwa cadangan devisa RI akan naik kalau pemerintah mencairkan pinjaman luar negeri, bukan karena devisa hasil ekspor. Hal ini terjadi karena tidak ada kewajiban bagi para eksportir untuk membawa kembali devisa hasil ekspor ke dalam negeri setelah ekspor. Semestinya, mereka diwajibkan membawa devisa hasil espor masuk ke Indonesia, sehingga bisa memperkuat cadangan devisa kita, yang sekarang nilainya terus tergerus mendekati angka 90 miliar dolar AS.

Pemerintah sebaiknya mewajibkan eksportir (pengusaha lokal) untuk membawa pulang devisa hasil ekspor. Dibutuhkan nasionalisme dari para eksportir untuk membantu kestabilan nilai tukar rupiah. Selama ini mereka memarkir devisa hasil ekspor di luar negeri. Kalau itu  dilakukan, cadangan devisa kita akan melesat naik, dan nilai tukar rupiah bisa lebih stabil menguat. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar