Rabu, 04 September 2013

Intelektual dan Godaan Politik-Kekuasaan

Intelektual dan Godaan Politik-Kekuasaan
Joko Wahyono Analis Politik pada Program Pascasarjana UIN Yogyakarta
MEDIA INDONESIA, 04 September 2013


POLITIK memang bisa mengubah segalanya dan kekuasaan bisa menjelma menjadi elegi yang mengundang ratapan dukacita. Ungkapan inilah kiranya yang paling tepat untuk menjelaskan keprihatinan kita di tengah upaya pemberantasan korupsi belakangan ini. Setelah KPK menangkap guru besar ITB sekaligus mantan kepala SKK Migas, Rudi Rubiandini, terkait dengan suap US$400 ribu dari perusahaan minyak asing (13/8).

Kejaksaan Negeri Purwokerto juga menahan Rektor Unsoed Purwokerto, Edy Yuwono, karena terlibat korupsi dana Corporate Social Responsibility (CSR) PT Aneka Tambang sebesar Rp5,8 miliar (21/8). Siapa pun tentu terperangah melihat sosok intelektual ikut tergelincir dalam kasus yang begitu nista, penyakit yang selama ini menggerogoti sendisendi kehidupan bangsa.

Meski bukan hal baru, kisah tragis dari dua guru besar tersebut semakin membuyarkan pandangan publik bahwa korupsi hanya dilakukan oleh mereka yang berlatar politikus, birokrasi atau penegak hukum an sich. Sebaliknya, wabah rasywah telah menjalar ke manamana, menyergap siapa saja, tak terkecuali kaum intelektual yang bergelar doktor, profesor, bahkan guru besar sekali pun. Tidak sedikit di antara, meminjam istilah Soe Hok Gie, the glorius selected few itu yang digelandang masuk ke ruang sidang akibat korupsi.

Kaum intelektual yang dikenal sebagai kelompok minoritas memiliki tradisi luhur sebagai cermin kematangan keilmuan dan kearifan nurani limbung oleh godaan materi. Kenyataan ini memperkukuh definisi purba tentang manusia, sebagaimana pandangan filsuf eksistensialis, Gabriel Marcel, yakni selalu memiliki (avoir) dorongan untuk lekat dengan materi.

Tentu tidak semua intelektual begitu mudah menggadaikan nilai-nilai kecendekiawannya untuk mendulang kuasa n dan harta. Namun, kejahatan dalam kadar tertentu akan selalu muncul berdampingan bersama ikhtiar manusia dalam mencari kebenaran dan memberi arti akan kesejatian dirinya. Terlebih ketika kaum intelektual memilih berselingkuh dengan politik kekuasaan menjadi pejabat dan terlibat dalam tata kelola negara. Seperti jamak diketahui, hiruk-pikuk politik dan gemerlapnya kekuasaan sering menghamparkan jebakan-jebakan, termasuk korupsi yang sulit ditoleransi nurani dan rasionalitas keilmuan. Hal ini pernah diakui oleh Presiden ke-35 Amerika Serikat, John F Kennedy, yang mengatakan kekuasaan dan politik itu cenderung korup.

Selubung ironi

Memang ada secercah harapan ketika kaum intelektual hadir di kancah politik kekuasaan. Mereka dipercaya bisa mengabdi secara tulus, bekerja demi kemanusiaan tanpa pamrih dan menjunjung tinggi etika dan moral. Karena seperti digambarkan Julian Benda (1927) bahwa intelektual adalah cendekiawan yang mendedikasikan hidupnya dalam pencarian kebenaran utama di dalam kesederhanaan. Kerja intelektual didasarkan pada nilai-nilai kejujuran dan etos kerja keras. Mereka sejatinya tidak akan pernah tergoda oleh hasrat politik kekuasaan. Apalagi menghambakan diri pada kepentingan kekuasaan dengan penuh perhitungan tersembunyi demi egoisme nafsu keuntungan pribadi.

Namun, alih-alih menjadi antitesis dari perilaku korupsi, resistensi mereka justru meringkuk dalam kenyamanan sebagai legitimator kekuasaan. Inilah selubung ironi yang tersimpan di balik jubah gelar akademis, pandangan idealis dan sikapnya yang kritis dari seorang intelektual. Ironisme ini semakin endemik ketika kapasitas intelektual mereka tak punya hubungan kausal dengan komitmen moral. 

Karena itu, terlalu sulit membangun idealisasi sosok intelektual yang ditempatkan pada posisi terhormat dan `suci' dari berahi duniawi. Apa yang kini terjadi memberikan gambaran realistis tentang sosok intelektual. Sebagaimana Daniel Dhakidae (2003) memandang bahwa meski intelektual merupakan anak kandung kebudayaan, eksistensinya tak bisa dipisahkan dari suatu pola relasi antara modal dan kekuasaan.

Dari sini, tak mengherankan jika intelektual yang kemudian memutuskan masuk ke lingkaran kekuasaan dapat dengan mudah tergelincir untuk menyalah-gunakannya, termasuk melakukan korupsi. Akibatnya, citra sebagai intelektual berintegritas, jujur, objektif, rasional, simbol kekuatan nurani, dan penjaga moral bangsa terlucuti. Label sebagai koruptor atau penjahat top hate crime mengoyak reputasi cemerlang yang sudah sekian lama membentang dalam karier akademis dan profesionalitasnya. Karena itulah, seorang intelektual Mesir, Muhammad Abduh, pernah berkata lirih: “Saya berlindung dari godaan politik (kekuasaan) dan kaum politisi” (Audzubilllah min alsiyasah wa al-siyasiyyin).

Karakter profetik

Kendati demikian, negeri ini masih membutuhkan sosok intelektual. Godaan politik dan kekuasaan bukan menjadi alasan bagi mereka untuk tidak bersimbah peluh dengan realitas persoalan bangsa. Sebaliknya, kehadiran mereka adalah sebagai perantara yang menjangkau dan mempertemukan antara rakyat dan penguasa, antara kelas alit dan kelas elite. Pengalaman lapangan yang riil akan kondisi masyarakat merupakan modal bagi mereka untuk bekerja dan memengaruhi kebijakan agar prorakyat. Sesuai pandangan Antonio Gramsci (1971) bahwa intelektual adalah orang-orang yang merasakan penderitaan masyarakat, ada bersama masyarakat, bertindakan dan berbuat nyata untuk menuntaskan persoalan di tengah masyarakat.

Lebih dari itu, mereka juga harus menghabituasikan karakter profetik sebagai landasan dalam setiap pikiran, ucapan, dan segala tindakan. Kuntowijoyo mengidentifikasi intelektual profetik ini dengan intelektual yang selalu mengintegrasiinterkoneksikan nalar akal dan nalar wahyu pada usahausaha perjuangan, perlawanan, pembebasan, pencerahan, dan pemberdayaan manusia secara organik.


Dengan karakter profetik ini, kaum intelektual akan terbebas dari tekanan berbagai kepentingan, status sosial, modal (harta), dan kekuasaan. Ia juga akan menjadi suluh bagi tegaknya mandat, moral dan tanggung jawab. Tidak hanya bersifat horizontal (hablu minannas), tetapi juga tanggung jawab vertikal (hablu minallah). Di sinilah letak keserasian antara kapasitas sebagai intelektual dan berpegang teguh pada komitmen moral sehingga mereka dapat menjalankan perbuatan yang utama bagi masyarakat bangsa dan negara. ●  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar