Rabu, 04 September 2013

Miss World dan Spirit Ekonomi Libido

Miss World dan Spirit Ekonomi Libido
Ahmad Ubaidillah Mahasiswa pada Program Magister Studi Islam UII Yogyakarta
KORAN TEMPO, 04 September 2013

Jagat media massa belakangan ini diramaikan oleh berita tentang penyelenggaraan kontes kecantikan sejagat, Miss World 2013. Sebanyak 135 negara akan berkompetisi dalam pencarian ratu kecantikan sedunia ini, dan Indonesia akan diwakili oleh Miss Indonesia 2013 Vania Larissa. Acara pembukaan yang rencananya digelar di Nusa Dua, Bali, 7 September mendatang, ternyata menuai protes dari berbagai kalangan.
Misalnya saja Gerakan Umat Islam Bersatu (GUIB) Jawa Timur dengan puluhan ormas menolak dan berniat mengirim surat pernyataan keberatan kepada Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono karena acara ini dinilai dapat merusak akhlak dan kultur bangsa Indonesia yang mayoritas muslim. Begitu juga Majelis Ulama Indonesia (MUI), menolak acara tersebut karena dirasa sama sekali tidak ada gunanya.
Di dalam tulisan ini, saya tidak ingin menyoroti protes-protes atau acara pemilihan penobatan Miss World yang memunculkan konsep 3B, yakni brain (kecerdasan), beauty (kecantikan), dan behavior (kepribadian) untuk menilai para kontestan itu, tapi lebih menganalisis para peserta Miss World itu sendiri, yang cenderung mempertontonkan aurat dengan baju yang sangat minim, geliat tubuh yang seksi, serta penampakan bagian-bagian tubuh yang berpotensi besar menarik hawa nafsu laki-laki dalam kacamata kekerasan simbolik yang dialami para peserta acara Miss World.
Kekerasan simbolis
Perlu dijelaskan di sini bahwa kekerasan simbolis dimaknai sebagai kekerasan yang secara "paksa" digunakan oleh pihak-pihak tertentu, terutama kelompok kapitalis, guna mendapatkan yang tidak dapat dirasakan sebagai paksaan yang berstandar pada harapan-harapan kolektif dari kepercayaan-kepercayaan yang sudah tertanam secara sosial. Kekerasan simbolis beroperasi dalam mekanisme -mekanisme penyembunyian kekerasan, sehingga kekerasan menjadi sesuatu yang diterima sebagai "yang memang seharusnya demikian" (taken for granted).
Kekerasan simbolis ini sering kali tidak disadari oleh orang yang mengalami kekerasan karena sifatnya yang halus dan tidak tampak. Kekerasan semacam ini oleh korbannya tidak dirasakan sebagai kekerasan, melainkan sebagai sesuatu yang alamiah dan wajar.
Dalam konteks acara pencarian ratu kecantikan pada Miss World dengan penampilannya yang "buka-bukaan", mereka sebenarnya sedang mengalami kekerasan, tapi tidak merasa mendapatkan kekerasan, bahkan menikmati kekerasan tersebut karena tuntutan profesionalisme, dalam hal ini Miss World. Wanita-wanita tersebut merasa seolah-olah rela dan menyadari untuk memperlihatkan bagian-bagian tubuhnya. Padahal, sebenarnya, harkat dan martabatnya sebagai manusia tereduksi oleh tubuhnya sendiri karena bisa dinikmati dan dilihat banyak orang.
Selain itu, teori alienasi, sebagaimana yang dikembangkan oleh Karl Marx, bekerja secara sempurna. Para peserta sebetulnya sedang tidak menjadi dirinya sendiri. Segala bentuk penampilannya yang menggairahkan tersebut diciptakan dan dikendalikan pihak lain, misalnya perancang busana. Mereka seperti boneka yang secara bebas dipermainkan. Di sinilah kita menyaksikan keterasingan menimpa perempuan. Para aktivis gerakan feminisme seharusnya bergerak cepat membebaskan mereka dari penindasan tersebut.
Ironisnya, kekerasan dalam bentuk pencitraan ini, oleh banyak perempuan, tidak dianggap sebagai kekerasan, malah mereka menganggap ini sebagai hal yang lumrah. Para nona itu seakan menganggap hal tersebut sebagai tuntutan wajar dari pihak-pihak tertentu (misalnya produser atau perusahaan-perusahaan hiburan). Semua ini tidak lain merupakan dampak dari sistem ekonomi kapitalisme dalam bentuknya ekonomi libido.
Dalam sistem ekonomi libido, bagian-bagian tubuh, seperti belahan dada, paha, betis, dan bagian-bagian tubuh sensitif lainnya, yang "dihidangkan" ke masyarakat luas (penonton) tidak dianggap sebagai bentuk kemerosotan moral, tapi justru sebagai bentuk nilai jual yang sangat tinggi. Setiap lekukan tubuh perempuan dinilai sebagai keuntungan yang sangat besar. Di sinilah penghalalan segala cara untuk mendapatkan keuntungan material (uang) dilakukan secara canggih oleh pemilik modal.
Para pelaku ekonomi libido, yang merupakan anak kandung dari ideologi kapitalisme, tidak lagi mengindahkan persoalan moral, etika, agama, budaya, atau adat istiadat. Mereka hanya memikirkan bagaimana cara memperoleh keuntungan ekonomis secara berlipat dan penumpukan modal (Kapital). Dan tubuh perempuan dianggap memiliki nilai keuntungan ekonomis bila dapat diproduksi dan direproduksi sebagai nilai tukar lewat bahasa tubuh.
Salah satu cara yang ditempuh untuk meraih hati publik adalah dengan mengeksploitasi bagian-bagian atau seluruh tubuh perempuan tersebut. Padahal, seperti yang sudah dijelaskan di atas, ini merupakan bentuk kekerasan simbolis yang tidak dirasakan, terutama oleh kaum perempuan. Yang lebih menyedihkan, kaum perempuan merasa puas dan bangga pada kekerasan yang halus dan tidak tampak ini.
Inilah ideologi kapitalisme yang bekerja menggunakan prinsip-prinsip yang dikembangkan dengan semangat ekonomi libido, yang mengharuskan setiap potensi energi libido sebagai komoditas dalam rangka mendapatkan uang dan mengharuskan setiap dorongan hasrat yang ada dalam tanda-tanda tubuh perempuan harus dijadikan alat tukar untuk menumpuk modal dan menimbun kekayaan. 
Setelah mengamati kekerasan simbolis yang menimpa para peserta acara Miss World tersebut, dengan mudah kita bisa menemukan bukti empiris perihal sisi gelap para pelaku dan penganut ideologi ekonomi kapitalisme atas nama ekonomi libido. Di sini saya juga melihat mesin-mesin ekonomi libido (perempuan cantik dan seksi) dianggap sebagai alat paling efektif untuk meninabobokan mata kesadaran kritis anak-anak zaman, khususnya anak-anak bangsa Indonesia. Akibatnya, daya tangkal, daya resistansi, dan daya lawan kita terhadap penindasan dan ketidakadilan yang menimpa perempuan menjadi tumpul.

Akhirnya, kita perlu memupuk kesadaran bersama bahwa peradaban yang unggul selalu dibangun oleh manusia-manusia berbudaya tinggi. Budaya tinggi tidak akan pernah tercipta kalau ide, gagasan, dan perilaku kita masih suka kepada hal-hal yang "seronok", buka-bukaan, dan cabul. Kesopanan, kesantunan, dan keramahan budaya Indonesia harus tetap dijaga dan dilestarikan oleh anak-anak bangsa di tengah gempuran budaya Barat yang tidak selalu kompatibel dengan budaya dan kearifan lokal kita. ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar