Rabu, 04 September 2013

Psikoterapi Politik Nasional

Psikoterapi Politik Nasional
Thomas Koten Direktur Social Development Center
MEDIA INDONESIA, 04 September 2013


WAJAH politik kita hingga saat ini tampak semakin pucat karena tubuh politik nasional sedang digerogoti aneka macam penyakit akibat salah kelola oleh para politikus. Politik uang, dus perilaku politik para politikus yang gemar melakukan korupsi dan doyan menerima suap adalah bibit-bibit penyakit yang tidak henti-hentinya menggerogoti tubuh politik nasional.

Setiap hari, publik tidak henti-hentinya mendengar dan membaca di media elektronik dan media cetak tentang perilaku busuk dari para politikus itu. Politik yang di zaman lampau terutama di masa Yunani kuno dikatakan Aristoteles sebagai sangat indah karena sebagai wahana membangun masyarakat utama--masyarakat sejahtera-itu kini telah berubah wajah menjadi begitu menjijikkan.
Politik yang dikatakan kotor itu pun lekat dengan tubuh politik nasional.

Maka, apatisme, rasa terasing, masa bodoh, bahkan rasa muak publik terhadap kehidupan politik pun kini menyeruak. Itu setali tiga uang dengan sikap tidak suka publik dengan para politikus nasional, baik di pusat maupun di daerah, baik di parpol maupun di legislatif. Apa kah perilaku para politikus akan berubah menjadi lebih baik dan kehidupan politik akan berkembang menuju pencerahan yang mencerdaskan publik?

Patologi psikopolitik

Sebenarnya, rakyat menaruh harapan yang besar terhadap politik nasional beserta para politikusnya, terutama ketika pemilu atau pemilu kada digelar. Karena dari perhelatan demokrasi pemilu atau pemilu kada itulah lahir pemimpin yang diharapkan dapat membawa rakyat menuju ke masa depan yang lebih baik.

Namun, ternyata dari perhelatan demokrasi yang satu ke perhelatan demokrasi yang lainnya, nasib rakyat tetap sama saja. Pemimpin yang datang dan pergi selalu tidak pernah memenuhi janji-janji politiknya. Janjijanji politik selalu ditelannya pascaterpilih dan rakyat dilupakan dan dibiarkan bergelut dengan nasib buruknya yang selalu diimpit aneka kesulitan ekonomi. Sebaliknya, pemimpin terpilih berkonsentrasi mencari setiap peluang ekonomi di seputar ring kekuasaan untuk menambah pundi-pundi kekayaan pribadi, dus mengembalikan modal yang telah dikeluarkan dalam perebutan kekuasaan.

Dari kebijakan yang satu ke kebijakan lainnya, meski diketahui itu sangat mencekik leher rakyat, tidak pernah terlihat usaha-usaha konkret dari pemimpin untuk mentransformasikan rasa gundah personal mereka ke dalam tindakan politik spesifik yang konkret untuk menyelamatkan nasib rakyat. Para pemimpin seperti tidak memiliki niat yang tulus yang diikuti terobosanterobosan jitu membawa rakyat untuk bisa ke luar dari jeratan-jeratan kesulitan ekonomi yang mereka hadapi.

Yang terlihat, rakyat seperti ditinggalkan sendiri meratapi nasibnya dalam mengarungi kehidupan bernegara yang teramat kejam. Negara pun seperti kosong peran kuncinya yang seharusnya memiliki kekuasaan untuk menyelesaikan persoalan rakyat. Dalam menghadapi keperkasaan tembok kapitalisme, kesaktian negara leleh bak es krim. Demi rasa aman kekuasaan, para penguasa dan para politikus sebagai representasi negara akhirnya hanya bersedia berselingkuh dengan kekuatan kapitalis. Para politikus hanya ibarat amuba kekuasaan yang merusak kehidupan warga politik yang berhati mulia.

Tak pelak, wajah politik dari hari ke hari bukan lagi tampak pucat, melainkan semakin tidak elok dan menjijikan. Itulah patologi psikopolitik nasional yang sebenarnya sudah berada di luar kewajaran. Situasi abnormal politik yang mendorong lahirnya ungkapan sarkastis Auberon Waugh bahwa sebenarnya tidak seorang pun yang tertarik untuk menempatkan karier di bidang politik pada prioritas utama, kecuali mereka yang pincang secara sosial dan emosional.

Karena itu, tidak menghe rankan kehidupan politik sulit diharapkan berjalan baik dan normal, atau selalu berjalan dalam ketidakwajaran alias abnormal. Mengapa? Karena politik dikendalikan oleh orang-orang yang pincang secara sosial dan emosional. Kalau tidak mau dikatakan politik kita dikendalikan para psikopat. Ciri psikopat adalah orangorang yang berwatak egosentris, tidak punya empati pada kesulitan hidup orang lain dan tidak pernah menyesali perbuatan buruknya, serta tidak punya usaha melakukan sesuatu yang lebih baik. Sosok ini bisa dilekatkan kepada para politikus kita?

Psikoterapi politik

Perlu digarisbawahi, abnormalitas politik nasional saat ini tidak bisa dianggap biasa-biasa saja, saat politik tidak bisa dijalankan dalam balutan politik uang dengan para politikus, terutama di tingkat elite parpol, secara sadar melibatkan diri dalam berbagai skandal yang memalukan. Sementara itu, rakyat dibiarkan terkurung dalam kesulitan ekonomi yang jauh dari kesejahteraan dan kemakmuran yang diimpikan.

Karena itu, kini dibutuhkan suatu revitalisasi terhadap dunia politik sekaligus memformat ulang perilaku politisi. Meskipun keberhasilannya bisa dikatakan absurd, tetapi betapa penting untuk diusahakan. Sekurang-kurangnya, dengan itu dapat diharapkan naluri-naluri dan seleraselera rendah para politikus yang egosentris yang hanya memperjuangkan materi dan kekuasaan dapat tereliminasi, agar dapat hadir ruang-ruang politik yang bergairah dan memungkinkan lahirnya politisi generasi baru yang dapat berkiprah untuk mencerdaskan dan mencerahkan kehidupan bangsa.

Lebih daripada itu, dibutuhkan suatu psikoterapi politik. Dalam psikoterapi politik, meminjam ungkapan Reza Indragiri Amriel (2001), tidak lebih sebagai suatu eksplorasi kontemplatif dalam rangka menemukan dinamika psikis pribadi-pribadi yang meskipun tersembunyi, tetapi sangat kuat pengaruhnya dalam melatarbelakangi pola tingkah individu di kancah kehidupan politik yang kian absurd.


Dalam hal ini, psikoterapi politik harus dijadikan sebagai suatu kebutuhan yang urgen sekaligus solusi konkret untuk pemulihan politik, dus perbaikan perilaku politik para politikus. Setidaknya, itu dilakukan untuk mencegah ekses yang lebih buruk lagi di tengah perilaku politisi yang kian mengecewakan rakyat dan terus membusukkan citra agung politik. ●  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar