|
Ekonomi Indonesia masih menghadapi
ketidakpastian. Dari luar negeri, Bank Sentral Amerika Serikat kemungkinan akan
menurunkan stimulasinya dan perekonomian Cina akan tumbuh lebih rendah yang
menyebabkan harga komoditas masih lemah.
Di dalam negeri, inflasi masih
tinggi 8,79 persen dan defisit transaksi berjalan juga masih tinggi 4,4 persen
dari produk domestik bruto (PDB). Akibatnya, nilai rupiah melemah dan menembus
angka Rp 11 ribu serta masih mengalami tekanan. Rupiah terdepresiasi tujuh
persen dan indeks pasar modal menurun sebesar 12,2 persen dalam satu bulan ini.
Bank Indonesia (BI) telah menaikkan
BI Rate tiga kali ke tingkatan tujuh persen. Pemerintah telah mengeluarkan paket kebijakan untuk mengurangi impor, stimulasi
terutama industri padat karya, peningkatan penggunaan biodisel, dan insentif
investasi. Namun, tekanan terhadap ekonomi, terutama sektor keuangan, masih
besar.
Dibandingkan
negara lain, Indonesia dan India yang paling banyak mengalami tekanan. Negara
lain juga mengalami tekanan karena faktor eksternal, tapi tidak sebesar
Indonesia dan India. Alasannya adalah investor keuangan meragukan keseriusan
kebijakan yang diambil pemerintah di Indonesia dan India. Sekalipun BI sudah menaikkan
BI Rate dan pemerintah mengeluarkan paket kebijakan, itu dianggap kurang
memadai. Investor keuangan menghendaki BI Rate yang lebih tinggi lagi dan
mereka menunggu apakah defisit transaksi berjalan akan menurun seperti yang
dikemukakan pemerintah.
Tentu saja bagi BI menaikkan BI Rate lebih
tinggi lagi akan menekan sektor riil.
Sektor riil akan semakin terbebani dengan kenaikan biaya dari suku bunga, bahan bakar minyak (BBM), dan upah. Sedangkan, perusahaan tidak dapat seketika mengalihkan bebannya ke konsumen. Perbankan juga akan semakin sulit mendapatkan dana dan kemungkinan terjadi peningkatan kredit macet.
Sektor riil akan semakin terbebani dengan kenaikan biaya dari suku bunga, bahan bakar minyak (BBM), dan upah. Sedangkan, perusahaan tidak dapat seketika mengalihkan bebannya ke konsumen. Perbankan juga akan semakin sulit mendapatkan dana dan kemungkinan terjadi peningkatan kredit macet.
Namun,
jika kebijakan pemerintah untuk mengurangi defisit transaksi berjalan dan
mengendalikan inflasi tidak efektif, kemungkinan BI akan menaikkan BI Rate lagi
dengan segala konsekuensinya. BI juga masih harus intervensi di pasar valas
untuk membuat nilai rupiah tidak merosot tajam. Karena itu, upaya untuk
megurangi defisit transaksi berjalan dan mengendalikan inflasi sangat
menentukan.
Salah
satu permasalahan besar dari keadaan ekonomi sekarang ini adalah besarnya
impor, terutama minyak, sehingga pada saat ekspor turun, impor bahkan
meningkat. Defisit neraca perdagangan migas mencapai sekitar 7,6 miliar dolar
AS. Kita tidak mempunyai kendali terhadap keadaan eksternal. Apa yang dapat
kita lakukan adalah sedapat mungkin mengatasi permasalahan internal.
Kenaikan
harga BBM belakangan ini ternyata tidak memadai untuk mengurangi konsumsi. Sayangnya,
besarnya konsumsi BBM ini harus diimpor yang memberatkan neraca berjalan kita.
Hampir tidak mungkin pemerintah menaikkan harga BBM lagi untuk menurunkan
konsumsi dan subsidi.
Dengan
keadaan ekonomi seperti ini, pertumbuhan ekonomi akan menurun kemungkinan lebih
rendah dari yang diperkirakan BI 5,8 persen. Dana Moneter Internasional (IMF)
bahkan mengubah proyeksi pertumbuhan ekonomi menjadi 5,25 persen. Sebaiknya
kita lebih realistis dalam melihat pertumbuhan ini.
Lebih baik dengan pertumbuhan lebih rendah yang
berarti konsumsi juga lebih rendah sehingga menurunkan impor. Dengan begitu,
defisit transaksi berjalan akan menurun dan perekonomian dapat stabil untuk
selanjutnya mempersiapkan diri memanfaatkan peluang pemulihan ekonomi dunia.
Kita
harus secara serius mem perbaiki kemampuan produksi dalam negeri, terutama
pangan dan energi. Produksi pangan kita tidak memadai untuk memenuhi permintaan
yang terus meningkat. Produksi minyak juga cenderung terus menurun, praktis
tidak ada eksplorasi baru. Sementara, produksi gas belum dapat menyubstitusi
ketergantungan yang besar pada minyak.
Kebijakan
insentif dan dukungan langsung harus diberikan pada upaya peningkatan produksi
pangan dan energi. Pengembangan food
estate harus direalisasikan. Peran Bulog untuk menstabilkan harga harus
dioptimalkan.
Produksi migas juga harus ditingkatkan. Kegiatan
eksplorasi diberikan insentif. Jika tidak, kita akan terus mengalami defisit
dalam neraca perdagangan migas. Substitusi minyak dengan gas harus dilakukan
untuk transportasi maupun pembangkit listrik guna menurunkan konsumsi minyak.
Industri
juga harus ditransformasikan menjadi lebih kompetitif dan mengikuti rantai
nilai tambah global (global value chain).
Dengan demikian, pada saat ekonomi dunia membaik, kita dapat memanfaatkan
dengan sebaik-baiknya. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar