|
Saat ini negara kita tengah berada
dalam kondisi ”darurat kedelai”. Melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar
AS berdampak pada kenaikan harga beberapa komoditas vital pertanian, termasuk
di antaranya kedelai. Harga kedelai yang biasanya stabil pada kisaran Rp 7.000
per kilogram kini merangkak naik menembus harga Rp 9.000 per kg.
Bagi pelaku
usaha mikro kecil menengah (UMKM), kenaikan harga tersebut sungguh berarti
karena berkonsekuensi logis terhadap kenaikan harga produksi (HP) dari kegiatan
usaha yang dijalankan, mulai dari pengusaha tahu, tempe, hingga susu kedelai.
Selain terkena dampak kenaikan harga kedelai, pelaku UMKM juga harus menghadapi
resistensi konsumen terhadap kenaikan harga produknya.
Fluktuasi harga
kedelai sudah berulang kali terjadi sehingga menjadi semacam ”fluktuasi rutin”.
Banyaknya sebaran produk berbahan dasar kedelai meniscayakan keresahan di
masyarakat ketika harga kedelai meningkat. Inilah efek domino yang kita
takutkan bisa berlanjut dan mengarah pada konklusi masyarakat bahwa pemerintah
tidak becus memerhatikan kesejahteraan rakyatnya. Itu sebabnya mengapa kita
membutuhkan solusi yang bersifat permanen atas permasalahan ini.
Solusi permanen
Solusi yang
menurut saya bersifat permanen adalah swasembada kedelai. Ketergantungan kita
terhadap impor kedelai membuat kita rentan terhadap nilai tukar rupiah terhadap
dollar AS ataupun fluktuasi harga kedelai.
Oleh karena
itu, kembali menguatkan peran Bulog, reformasi sistem perniagaan internasional,
pemberdayaan UMKM perajin tempe dan tahu, serta pemberlakuan harga pokok
penjualan (HPP) masih merupakan solusi sesaat yang tidak bisa mencabut akar
permasalahan utama berupa ketergantungan terhadap kedelai impor. Solusi-solusi
tersebut justru baru efektif setelah swasembada kedelai terwujud.
Saat ini kita
harus impor kedelai lebih dari 1,8 juta ton dari negara lain, seperti Amerika
Serikat dan Argentina. Kalkulasi matematis itu didasarkan pada produksi kedelai
lokal tahunan kita yang hanya 400.000-700.000 ton, sedangkan kebutuhan kedelai
nasional kita menembus angka 2,5 juta ton. Jelaslah mengapa harga kedelai
nasional mudah terombang-ambing karena transaksi jual-belinya menggunakan mata
uang dollar AS.
Swasembada
kedelai tidak melulu menjadi tanggung jawab pemerintah, tetapi diawali dengan
kemauan kita bersama sebagai bangsa untuk tidak bergantung pada kedelai impor.
Caranya dengan
mulai mengubah pola pikir kita yang selama ini salah kaprah, yaitu bahwa
”kedelai bukan makanan pokok sehingga tidak penting untuk dikembangkan”. Pada
kenyataannya, lauk yang berbahan dasar kedelai, seperti tahu dan tempe, hampir
setiap hari tersedia di meja makan warga bangsa ini.
Selanjutnya,
semangat berproses menjadi bangsa yang berswasembada kedelai harus direspons
pemerintah dengan membuat regulasi yang mendukung. Selama ini, salah satu
permasalahan utama dalam pengembangan sektor pertanian adalah masih lemahnya
komitmen pemerintah dalam menjalankan kebijakan yang ditetapkan. Sebagai
contoh, pemerintah memiliki proyeksi dan ekspektasi terhadap peningkatan hasil
panen pada berbagai komoditas pertanian, tetapi kenyataannya pemerintah tidak
konsisten karena membiarkan pengalihan fungsi lahan pertanian.
Swasembada kedelai
Mengupayakan
swasembada kedelai sebenarnya tidak berbeda jauh dengan swasembada beras.
Faktor utama yang membedakan hanyalah obyeknya, tak lebih dari itu. Ketika
mengejar swasembada beras dulu, pemerintah mengerahkan segenap daya, termasuk
memperkenalkan panca usaha tani yang meliputi penggunaan bibit unggul, teknik
pengolahan tanah yang baik, pemupukan yang tepat, pengendalian hama, dan
irigasi.
Pada kedelai,
memopulerkan panca usaha tani di kalangan petani kedelai nasional bisa menjadi
salah satu pemicu utama untuk mencapai swasembada kedelai. Saya yakin tak ada
yang sulit dari upaya penerapan panca usaha tani dalam bidang budidaya kedelai.
Asumsi tersebut bertitik tolak dari kenyataan bahwa baik petani maupun tenaga
penyuluh pertanian kita sudah akrab dengan panca usaha sejak puluhan tahun
lalu.
Cara lain adalah
mengoptimalkan lahan tadah hujan, pasang surut, ataupun lahan telantar dengan
menanam varietas kedelai yang sesuai. Ada banyak varietas kedelai hasil
penelitian dari sejumlah lembaga ataupun universitas yang selama ini diabaikan,
padahal sesuai kebutuhan lokal.
Apabila semua
itu konsisten dilakukan, saya yakin kita bisa memanen keberhasilan dalam waktu
kurang dari sepuluh tahun. Setelah swasembada kedelai tercapai, barulah kita
membicarakan masalah penguatan peran Bulog, mereformasi sistem perniagaan internasional,
memberdayakan UMKM perajin tempe dan tahu, dan memberlakukan HPP. Dengan alur
penyelesaian masalah semacam ini, kita bisa menuju Indonesia yang kuat,
mandiri, dan bermartabat dalam bidang pangan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar