Selasa, 10 September 2013

Menggagas Swasembada Kedelai

Menggagas Swasembada Kedelai
Fatchul Anam Nurlaili ;   Advisor Puspanegara Research Community,
Mahasiswa S-3 Ilmu Pangan, Universitas Gadjah Mada
KOMPAS, 09 September 2013

Saat ini negara kita tengah berada dalam kondisi ”darurat kedelai”. Melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar AS berdampak pada kenaikan harga beberapa komoditas vital pertanian, termasuk di antaranya kedelai. Harga kedelai yang biasanya stabil pada kisaran Rp 7.000 per kilogram kini merangkak naik menembus harga Rp 9.000 per kg.

Bagi pelaku usaha mikro kecil menengah (UMKM), kenaikan harga tersebut sungguh berarti karena berkonsekuensi logis terhadap kenaikan harga produksi (HP) dari kegiatan usaha yang dijalankan, mulai dari pengusaha tahu, tempe, hingga susu kedelai. Selain terkena dampak kenaikan harga kedelai, pelaku UMKM juga harus menghadapi resistensi konsumen terhadap kenaikan harga produknya.
Fluktuasi harga kedelai sudah berulang kali terjadi sehingga menjadi semacam ”fluktuasi rutin”. Banyaknya sebaran produk berbahan dasar kedelai meniscayakan keresahan di masyarakat ketika harga kedelai meningkat. Inilah efek domino yang kita takutkan bisa berlanjut dan mengarah pada konklusi masyarakat bahwa pemerintah tidak becus memerhatikan kesejahteraan rakyatnya. Itu sebabnya mengapa kita membutuhkan solusi yang bersifat permanen atas permasalahan ini.
Solusi permanen
Solusi yang menurut saya bersifat permanen adalah swasembada kedelai. Ketergantungan kita terhadap impor kedelai membuat kita rentan terhadap nilai tukar rupiah terhadap dollar AS ataupun fluktuasi harga kedelai.
Oleh karena itu, kembali menguatkan peran Bulog, reformasi sistem perniagaan internasional, pemberdayaan UMKM perajin tempe dan tahu, serta pemberlakuan harga pokok penjualan (HPP) masih merupakan solusi sesaat yang tidak bisa mencabut akar permasalahan utama berupa ketergantungan terhadap kedelai impor. Solusi-solusi tersebut justru baru efektif setelah swasembada kedelai terwujud.
Saat ini kita harus impor kedelai lebih dari 1,8 juta ton dari negara lain, seperti Amerika Serikat dan Argentina. Kalkulasi matematis itu didasarkan pada produksi kedelai lokal tahunan kita yang hanya 400.000-700.000 ton, sedangkan kebutuhan kedelai nasional kita menembus angka 2,5 juta ton. Jelaslah mengapa harga kedelai nasional mudah terombang-ambing karena transaksi jual-belinya menggunakan mata uang dollar AS.
Swasembada kedelai tidak melulu menjadi tanggung jawab pemerintah, tetapi diawali dengan kemauan kita bersama sebagai bangsa untuk tidak bergantung pada kedelai impor.
Caranya dengan mulai mengubah pola pikir kita yang selama ini salah kaprah, yaitu bahwa ”kedelai bukan makanan pokok sehingga tidak penting untuk dikembangkan”. Pada kenyataannya, lauk yang berbahan dasar kedelai, seperti tahu dan tempe, hampir setiap hari tersedia di meja makan warga bangsa ini.
Selanjutnya, semangat berproses menjadi bangsa yang berswasembada kedelai harus direspons pemerintah dengan membuat regulasi yang mendukung. Selama ini, salah satu permasalahan utama dalam pengembangan sektor pertanian adalah masih lemahnya komitmen pemerintah dalam menjalankan kebijakan yang ditetapkan. Sebagai contoh, pemerintah memiliki proyeksi dan ekspektasi terhadap peningkatan hasil panen pada berbagai komoditas pertanian, tetapi kenyataannya pemerintah tidak konsisten karena membiarkan pengalihan fungsi lahan pertanian.
Swasembada kedelai
Mengupayakan swasembada kedelai sebenarnya tidak berbeda jauh dengan swasembada beras. Faktor utama yang membedakan hanyalah obyeknya, tak lebih dari itu. Ketika mengejar swasembada beras dulu, pemerintah mengerahkan segenap daya, termasuk memperkenalkan panca usaha tani yang meliputi penggunaan bibit unggul, teknik pengolahan tanah yang baik, pemupukan yang tepat, pengendalian hama, dan irigasi.
Pada kedelai, memopulerkan panca usaha tani di kalangan petani kedelai nasional bisa menjadi salah satu pemicu utama untuk mencapai swasembada kedelai. Saya yakin tak ada yang sulit dari upaya penerapan panca usaha tani dalam bidang budidaya kedelai. Asumsi tersebut bertitik tolak dari kenyataan bahwa baik petani maupun tenaga penyuluh pertanian kita sudah akrab dengan panca usaha sejak puluhan tahun lalu.
Cara lain adalah mengoptimalkan lahan tadah hujan, pasang surut, ataupun lahan telantar dengan menanam varietas kedelai yang sesuai. Ada banyak varietas kedelai hasil penelitian dari sejumlah lembaga ataupun universitas yang selama ini diabaikan, padahal sesuai kebutuhan lokal.

Apabila semua itu konsisten dilakukan, saya yakin kita bisa memanen keberhasilan dalam waktu kurang dari sepuluh tahun. Setelah swasembada kedelai tercapai, barulah kita membicarakan masalah penguatan peran Bulog, mereformasi sistem perniagaan internasional, memberdayakan UMKM perajin tempe dan tahu, dan memberlakukan HPP. Dengan alur penyelesaian masalah semacam ini, kita bisa menuju Indonesia yang kuat, mandiri, dan bermartabat dalam bidang pangan.  ●  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar