|
Kali ini, melonjaknya harga kedelai kembali membuat geger
negeri agraris. Dipicu oleh menurunnya nilai tukar rupiah atas dolar, harga
kedelai impor tak mampu lagi dijangkau oleh perajin tahu dan tempe. Pejabat
pemerintah tidak bisa berbuat banyak. Memberikan subsidi kepada perajin untuk
membeli kedelai dianggap memboroskan anggaran saja. Terlebih, pada saat
perdagangan luar negeri terus defisit. Sementara, produksi dalam negeri jelas
jauh dari mencukupi kekurangan karena beberapa dekade sudah telanjur
mengandalkan kedelai impor. Akhirnya, tersisa pilihan untuk membebaskan tanpa
tarif impor kedelai.
Membebaskan tarif impor pangan dan bahan baku pangan bagi
negara agraris adalah lonceng kematian bahwa Indonesia telah masuk dalam
jebakan pangan, food trap. Anehnya,
bagai seekor keledai yang selalu jatuh di lubang yang sama, berulang kali kita
masuk jebakan pangan. Untuk keluar dari jebakan, kita mesti paham geopolitik
tempe. Geopolitik tempe meliputi berbagai aspek, seperti produksi dan
perdagangan kedelai global sampai politik pertanian dalam negeri kita sendiri.
Kita perlu membandingkan tentang bagaimana kondisi di sentra
produksi kedelai utama dunia dan perdebatan utama soal distribusi kedelai di
tingkat global. Misalnya, mengapa petani kedelai Indonesia tidak mampu bersaing
dengan petani Amerika Serikat atau Argentina? Bukankah di Amerika Serikat
upah petani sangat mahal dan harus dibayar pakai dolar? Ditambah biaya traktor
dan mesin, juga pengapalan antarbenua, harusnya kedelai Amerika harusnya berlipat
kali lebih mahal dibanding kedelai lokal. Tapi, nyatanya harga per kilo kedelai
impor lebih rendah dari kedelai lokal.
Penjelasannya adalah pertama, luas lahan kedelai di AS saat
ini tidak kurang dari 26 juta hektare atau seluas dua kali lebih total lahan
sawah di Indonesia. Ditambah dengan investasi perusahaan AS di Argentina dan
Brasil, AS memimpin pasar kedelai di dunia.
Sungguh sangat tidak fair membandingkan produksi kedelai
kita dengan AS. Mengapa pemerintah tidak pernah mengalokasikan lahan untuk
petani guna memproduksi kedelai, bila benar ingin ada solusi atas krisis
kedelai? Sungguh penuh dusta wacana dan niat pemerintah untuk meningkatkan produksi
kedelai, tapi tanpa ada distribusi lahan bagi keluarga tani untuk
memproduksinya.
Reforma agraria adalah prioritas dalam solusi kedelai.
Reforma agraria adalah prioritas dalam solusi kedelai.
Kedua, kedelai memiliki kecocokan untuk tumbuh di daerah,
seperti Amerika dan Argentina, dengan suhu yang nilainya 20-30 derajat Celsius.
Varietas kedelai dibagi berdasarkan golongan lintang yang berkorelasi pada
umur. Makin tinggi lintangnya, umurnya semakin pendek. Varietas di Iowa AS
pada golongan tiga. Sedangkan, varietas di Indonesia golongan sembilan. Kondisi
agroklimat dan varietas ini yang membuat produktivitas kedelai di AS 2,5-tiga
ton/hektare. Sedangkan, produktivitas kita 1,5-dua ton/hektare. Ini soal
karakter tanaman dan tidak perlu kita memaksa untuk menyamai produktivitas
mereka. Karena, produktivitas tanaman tropis kita juga jauh melebihi
produktivitas mereka. Bukankah kita juga tidak memaksakan manggis tumbuh di
Amerika?
Produksi kedelai dalam negeri perlu diperluas dan mendorong
untuk merotasi tanaman pangan lain dengan kedelai. Cara ini sebagai solusi
untuk mengompensasi kekurangan agroklimat. Lupakanlah pola berpikir rendahnya
produktivitas kedelai dengan solusi mengimpornya.
Ketiga, produksi kedelai di AS, Argentina, dan Brasil yang berlimpah
membuat mereka harus memaksa negara lain untuk menyerapnya melalui liberalisasi
perdagangan pangan. Di AS, kondisi ini tercipta setelah proses panjang sejarah
pertanian yang kelebihan produksi sejak habis perang dunia kedua. Bahkan,
pada masa Presiden Franklin D Rossevelt pada 1933 diterbitkan Agricultural
Adjustment Act (AAA). Isinya, petani yang mau menelantarkan lahannya dengan
tidak ditanami akan mendapat subsidi agar harga terdongkrak naik. Kini, AAA
sudah tidak ada lagi, sebagai gantinya, Farm Bill memberikan subsidi lebih
besar kepada petani berlahan luas karena kelebihan produksi dipaksakan dijual
ke negara lain.
Pasal-pasal Doha
Development Agenda dalam perundingan WTO, APEC, G-20, dan bilateral and regional trade agreement,
isinya adalah pemaksaan penurunan tarif, termasuk pertanian. Kesalahan
terbesar pemimpin kita adalah membiarkan liberalisasi perdagangan merangsek
bebas ke pangan dan pertanian. Harusnya, sebagai negara agraris besar,
Indonesia bisa menginisiasi untuk menggandeng negara-negara berkembang lain
membangun perdagangan alternatif yang berkedilan untuk pangan dan pertanian di
tingkat dunia.
Ketika hari ini petani kedelai merasa bisa untung dengan
harga Rp 7.000/
kg, harusnya pemerintah bisa menetapkannya sebagai harga dasar awal. Sekaligus, menjadi referensi untuk menentukan tarif impor ke depannya.
kg, harusnya pemerintah bisa menetapkannya sebagai harga dasar awal. Sekaligus, menjadi referensi untuk menentukan tarif impor ke depannya.
Bila konsumen keberatan, itu tugas pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan konsumen
supaya memiliki kemampuan membeli pangan lebih baik. Sungguh mengoyak nurani
bila perajin tempe dan konsumen terus menindas petani dengan harga rendah.
Bukankah kita sepakat untuk tidak mau terus berada dalam ketergantungan impor
seperti sekarang?
Geopolitik pangan global adalah medan perang pangan. Kunci
memenanginya bukan dengan cara kompetisi untuk ekspansi pasar, misalnya, dengan
mengundang investor besar masuk. Food war
hanya bisa kita menangi apabila petani kita berdaulat. Syaratnya adalah
menyediakan lahan untuk petani, mematok harga yang menyejahterakan, dan berproduksi
dengan pangan yang menyehatkan. Lupakan menggunakan kedelai rekayasa genetika
karena itu justru membuka pintu lebih besar pada korporasi untuk mengendalikan
geopolitik kedelai.
Lagi pula, kita perlu mentransformasikan tempe dari paparan
kimia glyposate atau kontaminasi
bakteri Bacillus thuringiensis yang
kita impor selama ini. Tempe berbahan kedelai hasil pertanian alami jauh lebih menyehatkan tidak hanya
bagi tubuh, tetapi juga bagi ekosistem pertanian kita. Langkah awal untuk
membuat bangsa ini berdaulat makan tempe bisa menjadi langkah besar menjadi
bangsa berdaulat pangan lebih luas lagi. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar