Jumat, 06 September 2013

Caleg Pemilik Modal dan Otoritas Parpol

Caleg Pemilik Modal dan Otoritas Parpol
Eko Harry Susanto  ;   Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Tarumanagara Jakarta Ketua Umum Asosiasi Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi Pusat
MEDIA INDONESIA, 05 September 2013


SETELAH daftar calon legislatif tetap (DCT) diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum akhir Agustus lalu, para caleg dari 12 partai politik berlomba-lomba membuat iklan politik yang ditayangkan melalui media massa, media online dan pema sangan spanduk, baliho serta poster foto diri di berbagai penjuru Tanah Air.

Namun, sejumlah caleg yang menampilkan sosok mereka dengan iklan politik itu kurang populer sebagai aktivis yang rajin tampil dalam perhelatan politik.
Karena mereka lebih dikenal sebagai pengusaha atau pemilik modal yang memiliki beragam bisnis.
Keterlibatan para pemilik modal dalam politik praktis memang secara mencolok mendominasi ruang­ruang publik. Dengan kampanye yang berisi pesan klise, bukan berarti kursi legislatif sudah ada dalam genggaman. Pasalnya, membangun elektabilitas tidak bisa dilakukan secara instan, tetapi dengan bukti nyata bahwa seorang pemilik modal yang masuk DCT bekerja faktual untuk kepentingan rakyat.
Terlepas dari masalah peluang untuk menjadi anggota legislatif yang mengeksplorasi pesan monoton, bagi pemilih, semakin banyak pengusaha yang terjun dalam politik praktis, semakin beragam pula pilihan untuk menetapkan caleg yang di harapkan bisa mewujudkan kesejahteraan dan keadilan.

Pelapisan Politik

Masalahnya, meski ada niat baik dari para pemilik modal untuk terjun ke politik praktis, ternyata mereka tidak selalu diterima kalangan internal partai. Para pebisnis itu dinilai belum untuk ditetapkan sebagai caleg pada Pemilu 2014 karena ‘jam terbang’ yang minim jika dibandingkan dengan kelompok aktivis yang konsisten menjalankan roda organisasi kepartaian.

Munculnya politisi dadakan yang masuk DCT juga menyebabkan perpecahan antarkader dan berpotensi melemahkan kekuatan partai yang sedang membutuhkan dukungan menghadapi kontestasi politik lokal ataupun nasional.

Namun, sesungguhnya jika berpijak pada stratifikasi politik masyarakat, keberadaan pemilik modal dalam parpol secara instan biasa terjadi pada skala makro kehidupan politik negara ataupun level mikro organisasi politik. Menurut Robert D Putnam (1978), terdapat enam lapisan dalam stratifikasi politik, yaitu (1) proximate decession maker, (2) influential, (3) aktivis, (4) attentive public, (5) voters, (6) kelompok nonpartisipan.

Lapisan pertama, proximate decession maker terdiri dari pejabat-pejabat partai politik tingkat tinggi dan para anggota legislatif. Kelompok ini memiliki otoritas membuat kebijakan pemerintahan dan negara. Adapun lapisan kedua, infl uential, merupakan kelompok yang mempunyai pengaruh kuat dalam politik. Mereka terdiri dari para pemilik modal dan birokrat papan atas yang memiliki kekuatan mengontrol kehidupan politik.

Kelompok pembuat keputusan dan kelompok kedua, yang memiliki pengaruh kuat dalam politik ini, memiliki hubungan erat. Bahkan di antara dua entitas tersebut digambarkan Putnam bisa bertukar posisi tanpa hambatan berarti ketika menjalankan organisasi politik. Kelompok influential, yang memiliki kekuatan dahsyat dalam memanfaatkan modal, bisa leluasa memengaruhi para elite parpol pembuat kebijakan di lapis pertama yang memang membutuhkan biaya untuk menghidupi parpol.

Persoalannya, kohesivitas hubungan di antara dua kelompok elite tersebut cenderung mengabaikan lapisan– lapisan lain di bawahnya, seperti aktivis parpol yang memiliki kontribusi besar terhadap kelangsungan hidup parpol.

Aktivis sebagai lapisan ketiga pada stratifikasi politik Putnam memiliki pengalaman panjang menghadapi hambatan dan tantangan menjalankan roda organisasi. Merekalah sesungguhnya yang paling berhak mengisi jabatan-jabatan di partai politik dan memiliki kesempatan pertama menduduki posisi dalam DCT.
Jika aktivis pegiat partai saja tidak dihiraukan proximate decession maker dan infl uential, kelompok lain di bawah aktivis jauh lebih tidak dihiraukan lagi. Kelompok pengamat (attentive public) sebagai kumpulan orang kritis, voters yang bertindak sebagai pemberi suara dalam pemilihan umum, dan nonpartisipan yang sama sekali tidak berpartisipasi dalam politik adalah kelompok–kelompok dalam stratifi kasi politik yang memiliki jarak kekuasaan dengan elite parpol.

Padahal berkat mesin politik yang digerakkan aktivis, juga suara kritis pengamat dan dukungan pemilih, para elite parpol bisa mendapat kekuasaan yang memberikan berbagai fasilitas dan keistimewaan posisi di masyarakat. Namun, karena jerat nafsu memburu kekuasaan, elite parpol tetap berpihak kepada para pemilik modal yang lebih nyata bisa mendukung perhelatan partai politik untuk membangun pencitraan.

Namun, harapan pejabat parpol yang memberikan kesempatan besar terhadap politisi tanpa reputasi politik memadai itu bisa saja berbalik merugikan kredibilitas dan elektabilitas partai politik. Sebab, mencermati berbagai penyelewengan keuangan negara ataupun dugaan korupsi, bukan mustahil rakyat antipati mengingat politisi kader instan itu yang berupaya memperoleh sumber dana lebih besar lagi jika dibandingkan yang sudah dikeluarkan untuk mengongkosi partai politik demi pengembangan bisnis yang dimiliki. ●  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar