|
Pertumbuhan
ekonomi selalu menjadi tolok ukur pembangunan. Ekonomi yang tumbuh cepat dapat
meningkatkan pendapatan per kapita. Bagi Indonesia, lolos dari krisis ekonomi
tahun 2008 dan tetap tumbuh merupakan prestasi meski sekarang perekonomian kita
kembali diuji.
Tahun 2010,
Indonesia adalah negara G-20 nomor tiga jika dilihat dari cepatnya pertumbuhan.
Kini, angka pertumbuhan mulai dikoreksi dan kondisi makroekonomi Indonesia
terimbas perlambatan ekonomi dunia.
Depresiasi
rupiah, meski menurut Bank Indonesia normal, tetap berdampak pada impor.
Defisit neraca perdagangan akan membengkak lagi di atas 2 persen dari produk
domestik bruto (PDB). Tahun 2012 ditandai dengan defisit ganda Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara dan neraca transaksi. Dalam laporan Badan Pusat
Statistik, Juli 2013, pola defisit tetap sama.
Ekspor migas
yang dulu mendorong pertumbuhan berbalik menjadi impor migas yang menggerus
devisa. Ekspor komoditas pun menurun akibat perlambatan ekonomi dunia. Jika
masih berkutat menghadapi stagnasi ekspor komoditas dan tertekannya angka
pertumbuhan, Indonesia bisa tergelincir masuk jebakan pendapatan menengah (middle income trap) seperti kajian Dana
Moneter Internasional (International
Monetary Fund/IMF).
Kelas menengah
Sejak tahun
2011, Indonesia menembus kategori negara kelas menengah dengan PDB per kapita
3.000 dollar AS per tahun. Menurut IMF, angka itu adalah batas transisi suatu
negara yang berpotensi menjadi negara maju. Korea Selatan dan Taiwan yang
dijuluki Macan Asia, setelah masuk level 3.000 dollar AS, mencapai pertumbuhan
tinggi dalam waktu singkat. Kedua negara itu mengikuti Jepang, Singapura, dan
Hongkong menjadi negara maju dan kompetitif.
Pemerintah SBY
optimistis Indonesia ter hindar dari jebakan pendapatan menengah. Ekonomi
diharapkan terus tumbuh dan Indonesia akan menjadi negara berpendapatan tinggi
dalam 10-15 tahun mendatang dengan PDB per kapita di atas 15.000 dollar AS.
Menurut IMF, ada empat langkah agar terhindar dari jebakan pendapatan menengah.
Pertama:
investasi di bidang infrastruktur, terutama transportasi umum, logistik,
pelabuhan, dan energi. Kedua: pengendalian arus modal masuk agar tidak cepat
ditarik. Ketiga dan keempat adalah pengeluaran untuk litbang dan pendidikan
pasca-sekolah menengah. Namun, resep terakhir kurang mendapat sambutan.
Proyek
infrastruktur dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi
Indonesia (MP3EI) 2011-2025 dapat sekaligus menjalankan resep pertama dan
kedua. Namun, sasaran infrastruktur masih berorientasi ke pasar domestik dan
didominasi peran konsumsi.
Impor tumbuh
dari meningkatnya konsumsi kelas menengah, barang modal, dan bahan baku. Ekspor
didorong oleh komoditas unggulan migas, tambang, dan minyak sawit serta sektor
industri hilir berbasis upah buruh murah. Idealnya ketika memasuki transisi
ekonomi kelas menengah, Indonesia harus menekankan efisiensi, bukan sumber daya
alam dan upah buruh murah.
Dari enam
kriteria kompetitif World Economic Forum
untuk ekonomi efficiency-driven,
aspek ukuran dan efisiensi pasar siap. Sementara kelemahan institusi,
infrastruktur, teknologi, dan pendidikan masih menjadi kendala.
Dengan
pembangunan fisik dan upaya ”debottlenecking”
regulasi melalui MPEI, kelemahan infrastruktur dan institusi diperbaiki. Namun,
teknologi mencakup litbang dan pendidikan seharusnya menjadi sumber pertumbuhan
berkelanjutan.
Judul artikel
Prof Jeffrey Sachs, ”Nature, Nurture and Growth” (The Economist, Juni 1997), bisa menginspirasi. Seperti halnya
manusia, ada yang tumbuh melalui kondisi bawaan yang menguntungkan. Akan
tetapi, ada juga yang tumbuh karena lingkungan membimbingnya menjadi kuat.
Faktor
demografi penting untuk tumbuh, tetapi kebijakan ekonomi lebih utama. Singapura
membuktikan bahwa strategi pengembangan dan keterbukaan ekonomi lebih baik
dibandingkan dengan sekadar tumbuh sebagai kota pelabuhan.
Spirit belajar
Strategi
pengembangan ekonomi Thailand juga memerhatikan proses pembelajaran dan kini
merebut pasar otomotif ASEAN. Neraca perdagangannya dengan Indonesia surplus.
Thailand tak hanya mengekspor produk agraris, tetapi juga produk otomotif
berteknologi hemat energi.
Melalui
pembangunan infrastruktur, industri manufaktur China memperoleh peluang tumbuh
dan belajar. Sebagai contoh, China membangun PLTU dengan cara adopsi teknologi
lewat industri patungan. Ketika membangun MRT dan monorail, BUMN China segera
beradaptasi untuk pasar ekspor kereta api. Strategi pembangunan infrastruktur
China menjadikan industri manufakturnya lebih kompetitif dan modern.
Sebaliknya di
Indonesia, pendekatan pasar lebih prioritas dibandingkan proses belajar.
Program 10.000 MW hanya menjadikan BUMN Karya kontraktor PLTU dari China.
Peningkatan ekspor batubara terbesar di dunia (400 juta ton per tahun) membuat
industri alat berat merakit komponen terurai. Memiliki kebun sawit terluas di
dunia belum memajukan industri alat pertanian. Membangun tol 1.000 km masih
memakai alat berat impor.
Dalam hal
energi sama saja. Di sektor hulu dan produksi, Pertamina tertinggal dari
Petronas dan PTT, bahkan dianggap belum matang untuk mengelola Blok Mahakam.
PTT, BUMN energi Thailand yang berada di peringkat 81 dari 500 perusahaan
global, justru mengajak Pertamina (peringkat 122) membangun pabrik petrokimia.
Padahal, PTT lebih muda dari Pertamina dan Thailand dikenal sebagai negara
pengimpor minyak.
Resep IMF
tentang litbang dan pendidikan tampaknya belum diandalkan pelaku ekonomi
nasional. Masih sumber daya alam dan tenaga kerja murah yang terus dijual.
Sayangnya kelas menengah yang diproyeksikan tumbuh sesuai kajian McKinsey juga
dianggap berkah obyek pasar, bukan subyek yang produktif. Indonesia belum
memiliki strategi dan spirit pembelajar. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar