Kamis, 12 September 2013

Berkah dan Belajar Teknologi

Berkah dan Belajar Teknologi
Roos Diatmoko  ;    Anggota DRN Transportasi 2007-2011
KOMPAS, 11 September 2013


 Pertumbuhan ekonomi selalu menjadi tolok ukur pembangunan. Ekonomi yang tumbuh cepat dapat meningkatkan pendapatan per kapita. Bagi Indonesia, lolos dari krisis ekonomi tahun 2008 dan tetap tumbuh merupakan prestasi meski sekarang perekonomian kita kembali diuji.
Tahun 2010, Indonesia adalah negara G-20 nomor tiga jika dilihat dari cepatnya pertumbuhan. Kini, angka pertumbuhan mulai dikoreksi dan kondisi makroekonomi Indonesia terimbas perlambatan ekonomi dunia.
Depresiasi rupiah, meski menurut Bank Indonesia normal, tetap berdampak pada impor. Defisit neraca perdagangan akan membengkak lagi di atas 2 persen dari produk domestik bruto (PDB). Tahun 2012 ditandai dengan defisit ganda Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan neraca transaksi. Dalam laporan Badan Pusat Statistik, Juli 2013, pola defisit tetap sama.
Ekspor migas yang dulu mendorong pertumbuhan berbalik menjadi impor migas yang menggerus devisa. Ekspor komoditas pun menurun akibat perlambatan ekonomi dunia. Jika masih berkutat menghadapi stagnasi ekspor komoditas dan tertekannya angka pertumbuhan, Indonesia bisa tergelincir masuk jebakan pendapatan menengah (middle income trap) seperti kajian Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF).
Kelas menengah
Sejak tahun 2011, Indonesia menembus kategori negara kelas menengah dengan PDB per kapita 3.000 dollar AS per tahun. Menurut IMF, angka itu adalah batas transisi suatu negara yang berpotensi menjadi negara maju. Korea Selatan dan Taiwan yang dijuluki Macan Asia, setelah masuk level 3.000 dollar AS, mencapai pertumbuhan tinggi dalam waktu singkat. Kedua negara itu mengikuti Jepang, Singapura, dan Hongkong menjadi negara maju dan kompetitif.
Pemerintah SBY optimistis Indonesia ter hindar dari jebakan pendapatan menengah. Ekonomi diharapkan terus tumbuh dan Indonesia akan menjadi negara berpendapatan tinggi dalam 10-15 tahun mendatang dengan PDB per kapita di atas 15.000 dollar AS. Menurut IMF, ada empat langkah agar terhindar dari jebakan pendapatan menengah.
Pertama: investasi di bidang infrastruktur, terutama transportasi umum, logistik, pelabuhan, dan energi. Kedua: pengendalian arus modal masuk agar tidak cepat ditarik. Ketiga dan keempat adalah pengeluaran untuk litbang dan pendidikan pasca-sekolah menengah. Namun, resep terakhir kurang mendapat sambutan.
Proyek infrastruktur dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) 2011-2025 dapat sekaligus menjalankan resep pertama dan kedua. Namun, sasaran infrastruktur masih berorientasi ke pasar domestik dan didominasi peran konsumsi.
Impor tumbuh dari meningkatnya konsumsi kelas menengah, barang modal, dan bahan baku. Ekspor didorong oleh komoditas unggulan migas, tambang, dan minyak sawit serta sektor industri hilir berbasis upah buruh murah. Idealnya ketika memasuki transisi ekonomi kelas menengah, Indonesia harus menekankan efisiensi, bukan sumber daya alam dan upah buruh murah.
Dari enam kriteria kompetitif World Economic Forum untuk ekonomi efficiency-driven, aspek ukuran dan efisiensi pasar siap. Sementara kelemahan institusi, infrastruktur, teknologi, dan pendidikan masih menjadi kendala.
Dengan pembangunan fisik dan upaya ”debottlenecking” regulasi melalui MPEI, kelemahan infrastruktur dan institusi diperbaiki. Namun, teknologi mencakup litbang dan pendidikan seharusnya menjadi sumber pertumbuhan berkelanjutan.
Judul artikel Prof Jeffrey Sachs, ”Nature, Nurture and Growth” (The Economist, Juni 1997), bisa menginspirasi. Seperti halnya manusia, ada yang tumbuh melalui kondisi bawaan yang menguntungkan. Akan tetapi, ada juga yang tumbuh karena lingkungan membimbingnya menjadi kuat.
Faktor demografi penting untuk tumbuh, tetapi kebijakan ekonomi lebih utama. Singapura membuktikan bahwa strategi pengembangan dan keterbukaan ekonomi lebih baik dibandingkan dengan sekadar tumbuh sebagai kota pelabuhan.
Spirit belajar
Strategi pengembangan ekonomi Thailand juga memerhatikan proses pembelajaran dan kini merebut pasar otomotif ASEAN. Neraca perdagangannya dengan Indonesia surplus. Thailand tak hanya mengekspor produk agraris, tetapi juga produk otomotif berteknologi hemat energi.
Melalui pembangunan infrastruktur, industri manufaktur China memperoleh peluang tumbuh dan belajar. Sebagai contoh, China membangun PLTU dengan cara adopsi teknologi lewat industri patungan. Ketika membangun MRT dan monorail, BUMN China segera beradaptasi untuk pasar ekspor kereta api. Strategi pembangunan infrastruktur China menjadikan industri manufakturnya lebih kompetitif dan modern.
Sebaliknya di Indonesia, pendekatan pasar lebih prioritas dibandingkan proses belajar. Program 10.000 MW hanya menjadikan BUMN Karya kontraktor PLTU dari China. Peningkatan ekspor batubara terbesar di dunia (400 juta ton per tahun) membuat industri alat berat merakit komponen terurai. Memiliki kebun sawit terluas di dunia belum memajukan industri alat pertanian. Membangun tol 1.000 km masih memakai alat berat impor.
Dalam hal energi sama saja. Di sektor hulu dan produksi, Pertamina tertinggal dari Petronas dan PTT, bahkan dianggap belum matang untuk mengelola Blok Mahakam. PTT, BUMN energi Thailand yang berada di peringkat 81 dari 500 perusahaan global, justru mengajak Pertamina (peringkat 122) membangun pabrik petrokimia. Padahal, PTT lebih muda dari Pertamina dan Thailand dikenal sebagai negara pengimpor minyak.

Resep IMF tentang litbang dan pendidikan tampaknya belum diandalkan pelaku ekonomi nasional. Masih sumber daya alam dan tenaga kerja murah yang terus dijual. Sayangnya kelas menengah yang diproyeksikan tumbuh sesuai kajian McKinsey juga dianggap berkah obyek pasar, bukan subyek yang produktif. Indonesia belum memiliki strategi dan spirit pembelajar. ●  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar