Kamis, 12 September 2013

Politik Tanpa Fanatisme

Politik Tanpa Fanatisme
Asmadji As Muchtar  ;    Dosen Pascasarjana UII Yogyakarta dan Unsiq Wonosobo
SINAR HARAPAN, 11 September 2013


“Wakil rakyat terus saja memperkaya diri dengan menaikkan gaji dan tunjangan.”

Sejumlah pemulung memiliki kaus Gerindra, kaus PDIP, kaus PKB, kaus PPP, kaus PAN, kaus Golkar, dan kaus-kaus lain dengan tanda gambar caleg. Koleksi kausnya itu menunjukkan betapa mereka bukan rakyat yang memiliki fanatisme politik.

Bagi mereka, setiap hari bisa saja berganti-ganti kaus yang dikoleksinya tanpa rasa risih atau malu, tapi justru bangga. “Bukankah semua partai politik sama saja?” ucap mereka setiap kali ada yang mengolok-olok dan menganggapnya tidak punya pendirian atau bagaikan bunglon.
Kisah mereka di atas kini bisa digeneralisasi. Karena itu, berderet-deret keluarga sipil maupun militer boleh saja berpindah-pindah partai politik, karena sekarang berpolitik memang bisa saja dilakukan tanpa fanatisme.

Ideologi

Jika kita membuka anggaran dasar dan anggaran rumah tangga semua partai politik di Indonesia, keseragaman ideologi akan langsung kita temukan dalam berbagai diksi dan deskripsi. Intinya, semuanya ingin mewujudkan Indonesia makmur sejahtera dalam keadilan dan lindungan Tuhan.

Dengan demikian, ketika masih ada yang mengaku mati-matian ingin berjuang hanya untuk satu partai, pasti karena ingin sekadar sok romantis agar mendapat simpati dan posisi penting di partainya.
Di hari-hari mendatang, pasti akan semakin banyak orang yang bermigrasi politik, atau dalam istilah olok-oloknya menjadi kutu loncat yang gesit.

Mereka yang bermigrasi politik boleh jadi memiliki alasan pribadi yang dibesar-besarkan seolah-olah dirinya orang besar. Tapi, apa yang dilakukannya sebenarnya hanya demi eksistensinya berpolitik praktis yang memang melazimkan perilaku oportunistis.

Begitulah, ketika migrasi politik menjadi fenomena seperti sekarang, konsistensi dan fanatisme terhadap ideologi politik tak lagi digubris, karena memang sering tidak penting dalam berpolitik. Dalam hal ini, kepentingan politik sebenarnya adalah kepentingan individu yang diberi label kepentingan bangsa dan negara.

Label tersebut kerap kali dibuktikan pelaku politik untuk tetap eksis dari partai satu ke partai lain yang katanya semata-mata demi bangsa dan negara. Betapa romantisnya kehidupan berpolitik demikian, karena bisa saja selalu berpindah-pindah partai, yang penting untuk kepentingan bangsa dan negara.

Dengan kata lain, tak ada kewajiban bagi pelaku politik untuk konsisten, jika ingin tetap eksis, karena diktum yang berlaku adalah “tidak ada lawan maupun kawan abadi dalam politik” yang telah mengalami keseragaman ideologi, sedangkan harga sebuah pilihan dalam politik selalu bisa ditawar-tawar atau bukan harga mati.

Lantas, jika faktanya demikian, apa yang bisa dijadikan pelajaran bagi rakyat? Jawabnya, sudah saatnya rakyat belajar untuk tidak bersikap fanatik terhadap pilihan politiknya. Dengan demikian, rakyat akan bebas berpaling dari partai satu ke partai lain dan dari calon presiden satu ke calon presiden lain dalam setiap pemilu.

Jika rakyat sudah tidak fanatik dalam berpolitik maka hajatan demokrasi setiap lima tahun sekali akan berlangsung damai dan lancar, tanpa meneteskan darah maupun korban jiwa. Untuk apa rakyat berkorban demi partai jika elite politik bebas bermigrasi atau menjelma menjadi kutu loncat?

Dengan demikian, rakyat di daerah-daerah juga selayaknya menghapus fanatisme politiknya, agar pemilihan kepala daerah bisa berlangsung damai dan lancar tanpa meneteskan darah. Untuk apa mati-matian membela calon pemimpin daerah jika kemarin masih menjadi wakil bupati kemudian esok bertarung dengan bupati untuk memperebutkan kursi nomor satu di daerah?

Berlalunya era fanatisme politik, agaknya layak dirayakan semua pihak, manakala demokrasi dipercaya menjadi jalan paling aman dalam memperebutkan kekuasaan. Di sini rakyat berhak memosisikan diri sebagai pemegang kedaulatan tertinggi, dengan tidak segan-segan dan risih untuk memiliki koleksi kaus sebagaimana yang dinikmati sejumlah pemulung di atas.

Idealisme Luntur

Ketika era fanatisme politik telah berlalu, idealisme politik juga luntur. Inilah yang patut disayangkan. Lunturnya idealisme berpolitik berarti lunturnya moralitas pelaku politik, sehingga karier dalam politik disamakan dengan karier bisnis dan karier-karier lain yang semata-mata hanya untuk menambah koleksi kaus (kekayaan pribadi).

Kini, sangat sulit menemukan elite politik yang idealis. Dalam hal ini, sikap idealis yang dapat dilihat rakyat adalah kepedulian elite politik terhadap kondisi rakyat sepanjang waktu dan bukan hanya sebatas menjelang pemilu.

Kini, rakyat harus juga belajar memandang dengan cermat lunturnya idealisme politik pada wakil-wakilnya di pusat dan daerah, agar pada pemilu mendatang tidak salah pilih. Ini karena dalam berdemokrasi, satu-satunya yang berharga yang dimiliki rakyat adalah hak suaranya untuk memilih wakilnya dan memilih pemimpinnya.

Setelah pemilu, rakyat tidak punya apa-apa lagi dalam urusan politik. Karena itu, rakyat tidak pernah diperhatikan lagi oleh wakilnya dan oleh pemimpin yang dulu dipilihnya. Jika suatu ketika rakyat melihat wakilnya terus-menerus menambah koleksi rumah dan mobil, hanya bisa gigit jari.

Begitulah fenomena politik yang telah berlangsung di negeri ini. Ketidakpedualian wakil rakyat dan pemimpin terhadap nasib rakyat sudah banyak diperlihatkan di pusat dan di daerah. Lebih konkretnya, mereka terus-menerus memperkaya diri dengan menaikkan gaji dan tunjangan serta berbagai fasilitas mewah ketika negara semakin terbelit rente.  ●  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar