|
“Wakil
rakyat terus saja memperkaya diri dengan menaikkan gaji dan tunjangan.”
Sejumlah pemulung memiliki kaus Gerindra, kaus PDIP, kaus PKB, kaus PPP, kaus PAN, kaus Golkar, dan kaus-kaus lain dengan tanda gambar caleg. Koleksi kausnya itu menunjukkan betapa mereka bukan rakyat yang memiliki fanatisme politik.
Bagi mereka, setiap hari bisa saja berganti-ganti kaus yang
dikoleksinya tanpa rasa risih atau malu, tapi justru bangga. “Bukankah semua
partai politik sama saja?” ucap mereka setiap kali ada yang mengolok-olok dan
menganggapnya tidak punya pendirian atau bagaikan bunglon.
Kisah
mereka di atas kini bisa digeneralisasi. Karena itu, berderet-deret keluarga
sipil maupun militer boleh saja berpindah-pindah partai politik, karena
sekarang berpolitik memang bisa saja dilakukan tanpa fanatisme.
Ideologi
Jika
kita membuka anggaran dasar dan anggaran rumah tangga semua partai politik di
Indonesia, keseragaman ideologi akan langsung kita temukan dalam berbagai diksi
dan deskripsi. Intinya, semuanya ingin mewujudkan Indonesia makmur sejahtera
dalam keadilan dan lindungan Tuhan.
Dengan
demikian, ketika masih ada yang mengaku mati-matian ingin berjuang hanya untuk
satu partai, pasti karena ingin sekadar sok romantis agar mendapat simpati dan
posisi penting di partainya.
Di
hari-hari mendatang, pasti akan semakin banyak orang yang bermigrasi politik,
atau dalam istilah olok-oloknya menjadi kutu loncat yang gesit.
Mereka
yang bermigrasi politik boleh jadi memiliki alasan pribadi yang
dibesar-besarkan seolah-olah dirinya orang besar. Tapi, apa yang dilakukannya
sebenarnya hanya demi eksistensinya berpolitik praktis yang memang melazimkan
perilaku oportunistis.
Begitulah,
ketika migrasi politik menjadi fenomena seperti sekarang, konsistensi dan
fanatisme terhadap ideologi politik tak lagi digubris, karena memang sering
tidak penting dalam berpolitik. Dalam hal ini, kepentingan politik sebenarnya
adalah kepentingan individu yang diberi label kepentingan bangsa dan negara.
Label
tersebut kerap kali dibuktikan pelaku politik untuk tetap eksis dari partai
satu ke partai lain yang katanya semata-mata demi bangsa dan negara. Betapa
romantisnya kehidupan berpolitik demikian, karena bisa saja selalu
berpindah-pindah partai, yang penting untuk kepentingan bangsa dan negara.
Dengan
kata lain, tak ada kewajiban bagi pelaku politik untuk konsisten, jika ingin
tetap eksis, karena diktum yang berlaku adalah “tidak ada lawan maupun kawan
abadi dalam politik” yang telah mengalami keseragaman ideologi, sedangkan harga
sebuah pilihan dalam politik selalu bisa ditawar-tawar atau bukan harga mati.
Lantas,
jika faktanya demikian, apa yang bisa dijadikan pelajaran bagi rakyat?
Jawabnya, sudah saatnya rakyat belajar untuk tidak bersikap fanatik terhadap
pilihan politiknya. Dengan demikian, rakyat akan bebas berpaling dari partai
satu ke partai lain dan dari calon presiden satu ke calon presiden lain dalam
setiap pemilu.
Jika
rakyat sudah tidak fanatik dalam berpolitik maka hajatan demokrasi setiap lima
tahun sekali akan berlangsung damai dan lancar, tanpa meneteskan darah maupun
korban jiwa. Untuk apa rakyat berkorban demi partai jika elite politik bebas
bermigrasi atau menjelma menjadi kutu loncat?
Dengan
demikian, rakyat di daerah-daerah juga selayaknya menghapus fanatisme
politiknya, agar pemilihan kepala daerah bisa berlangsung damai dan lancar
tanpa meneteskan darah. Untuk apa mati-matian membela calon pemimpin daerah
jika kemarin masih menjadi wakil bupati kemudian esok bertarung dengan bupati
untuk memperebutkan kursi nomor satu di daerah?
Berlalunya
era fanatisme politik, agaknya layak dirayakan semua pihak, manakala demokrasi
dipercaya menjadi jalan paling aman dalam memperebutkan kekuasaan. Di sini
rakyat berhak memosisikan diri sebagai pemegang kedaulatan tertinggi, dengan
tidak segan-segan dan risih untuk memiliki koleksi kaus sebagaimana yang
dinikmati sejumlah pemulung di atas.
Idealisme
Luntur
Ketika
era fanatisme politik telah berlalu, idealisme politik juga luntur. Inilah yang
patut disayangkan. Lunturnya idealisme berpolitik berarti lunturnya moralitas
pelaku politik, sehingga karier dalam politik disamakan dengan karier bisnis
dan karier-karier lain yang semata-mata hanya untuk menambah koleksi kaus
(kekayaan pribadi).
Kini,
sangat sulit menemukan elite politik yang idealis. Dalam hal ini, sikap idealis
yang dapat dilihat rakyat adalah kepedulian elite politik terhadap kondisi
rakyat sepanjang waktu dan bukan hanya sebatas menjelang pemilu.
Kini,
rakyat harus juga belajar memandang dengan cermat lunturnya idealisme politik
pada wakil-wakilnya di pusat dan daerah, agar pada pemilu mendatang tidak salah
pilih. Ini karena dalam berdemokrasi, satu-satunya yang berharga yang dimiliki
rakyat adalah hak suaranya untuk memilih wakilnya dan memilih pemimpinnya.
Setelah
pemilu, rakyat tidak punya apa-apa lagi dalam urusan politik. Karena itu,
rakyat tidak pernah diperhatikan lagi oleh wakilnya dan oleh pemimpin yang dulu
dipilihnya. Jika suatu ketika rakyat melihat wakilnya terus-menerus menambah
koleksi rumah dan mobil, hanya bisa gigit jari.
Begitulah
fenomena politik yang telah berlangsung di negeri ini. Ketidakpedualian wakil
rakyat dan pemimpin terhadap nasib rakyat sudah banyak diperlihatkan di pusat
dan di daerah. Lebih konkretnya, mereka terus-menerus memperkaya diri dengan
menaikkan gaji dan tunjangan serta berbagai fasilitas mewah ketika negara
semakin terbelit rente. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar