|
Pada 30 Agustus 2013, Perdana
Menteri Belanda Mark Rutte sebagaimana dikutip oleh AFP mengatakan bahwa
pemerintahannya akan memberi kompensasi kepada 10 janda korban Westerling di Sulawesi
Selatan. Pada 12 September, Duta Besar Belanda di Jakarta akan menyampaikan
permintaan maaf hanya kepada para korban di Sulawesi Selatan dan tidak akan
meminta maaf atas seluruh agresi militer Belanda di Indonesia dalam periode
1945-1950.
Dalam diskusi yang digelar di gedung
DPD pada 4 September 2013, Ketua Umum Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB)
menyatakan menolak pemberian kompensasi kepada 10 janda korban Westerling di
Sulawesi Selatan dan permintaan maaf pemerintah Belanda, yang akan disampaikan
hanya kepada korban Westerling. KUKB justru menilai langkah pemerintah Belanda
ini merupakan penghinaan terhadap harkat dan martabat sebagai bangsa yang
merdeka dan melanggar kedaulatan Negara Republik Indonesia.
Di Indonesia tidak banyak yang mengetahui
bahwa hingga kini pemerintah Belanda tetap tidak mau mengakui de jure kemerdekaan Republik Indonesia
adalah 17 Agustus 1945. Untuk pemerintah Belanda, de jure kemerdekaan Republik Indonesia adalah 27 Desember 1949,
yaitu ketika dilakukan pelimpahan kewenangan kepada Republik Indonesia Serikat
(RIS), sebagai salah satu hasil Konferensi Meja Bundar (KMB). RIS telah dibubarkan
pada 16-8-1950 dan pada 17-8-1950 dinyatakan berdirinya kembali NKRI berdasarkan
proklamasi 17-8-1945.
Pada September 2009, Yayasan KUKB,
yang merupakan kelanjutan dari KUKB Cabang Belanda yang didirikan oleh KUKB
Pusat pada Desember 2005, mendampingi 9 orang janda korban dan satu korban
selamat dari pembantaian di Rawagede untuk menuntut pemerin- tah Belanda di
pengadilan sipil di Den Haag. Menurut pengadilan di Belanda, yang berhak
mengajukan gugatan hanya para janda yang masih hidup, dan korban yang selamat.
Ketentuan ini tentu sangat mengherankan.
Pada 14 September 2011, pengadilan
sipil di Den Haag menjatuhkan vonis, di mana dinyatakan pemerintah Belanda
bersalah dan harus memberi kompensasi kepada sembilan penggugat. Tidak jelas
mengapa yang satu tidak mendapat kompensasi. Sebagai dasar pertimbangannya,
pengadilan Belanda sejalan dengan pemerintah Belanda menyatakan bahwa Indonesia
sampai akhir 1949 adalah wilayah Belanda. Berdasarkan vonis ini dan sikap
pemerintah Belanda, maka yang menerima kompensasi adalah warga Belanda, dan
pemerintah Belanda meminta maaf kepada warganya, bukan kepada rakyat Indonesia.
Pemberian kompensasi hanya kepada
sembilan korban dari Rawagede telah menimbulkan ketidakadilan untuk ratusan
keluarga korban yang lain sehingga timbul keributan besar. Dapat dimengerti
kemarahan ratusan keluarga korban yang lain, yang mempertanyakan soal sembilan
orang yang mendapat kompensasi.
Memang vonis pengadilan ini menjadi
yurisprudensi untuk kasus-kasus serupa. Dipastikan, apabila mengajukan gugatan
menggunakan hukum Belanda ini akan memenangkan gugatan. Namun, apabila
menggugat pemerintah Belanda berdasarkan hukum Belanda seperti kasus Rawagede,
berarti yang dibela adalah warga Belanda, dan dengan demikian tidak ada gunanya
menuntut pemerintah Belanda mengakui de
jure kemerdekaan Republik Indonesia adalah 17 Agustus 1945.
Memang sangat dilematis untuk pemerintah Belanda, karena apabila mengakui de jure kemerdekaan Republik Indonesia
adalah 17-8-1945, maka yang mereka namakan "aksi polisionil" adalah
agresi militer terhadap suatu negara yang merdeka. Republik Indonesia pun
berhak menuntut pampasan perang, dan veteran Belanda menjadi penjahat perang.
Pimpinan KUKB Pusat di Jakarta menolak
melakukan tuntutan kompensasi hanya untuk segelintir orang, apalagi menggunakan
hukum Belanda, karena dengan demikian yang diperjuangkan adalah warga Belanda
dan bukan rakyat Indonesia. Namun, Yayasan KUKB di Belanda tetap
mengajukan tuntutan kompensasi hanya untuk 10 orang janda dari Sulawesi Selatan.
Langkah Yayasan KUKB di Belanda ini telah keluar dari garis perjuangan KUKB Pusat
dan menjadi kontraproduktif terhadap tujuan utama.
Tujuan KUKB menuntut pemerintah
Belanda agar mengakui de jure kemerdekaan
Republik Indonesia 17 Agustus 1945 adalah mempertahankan martabat bangsa.
Kompensasi hanya untuk 10 orang, padahal jumlah korban ribuan, tentu akan
menimbulkan ketidakadilan dan keributan seperti di Rawagede. Selain itu, akan
sangat ironis apabila ada di antara penerima kompensasi adalah keluar ga atau
janda dari para pejuang. Bukankah kematian mereka menjadi sia-sia karena mereka
gugur dalam mempertahankan kemerdekaan dan sekarang kerabat/jandanya menerima
uang sebagai warga Belanda?
Oleh karena itu, pemberian uang kepada
korban agresi militer dan mengang- gap mereka adalah warga Belanda merupakan
penghinaan terhadap martabat bangsa Indonesia dan melecehkan kedaulatan Negara
Republik Indonesia karena menyatakan bahwa mereka adalah warga Belanda. Satu
pertanyaan menjadi sangat penting di sini: apakah para janda tersebut
diberitahu bahwa mereka diperjuangkan sebagai warga Belanda? ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar