Selasa, 10 September 2013

Menolak Permintaan Maaf Belanda

Menolak Permintaan Maaf Belanda
Batara R Hutagalung  ;    Pendiri dan Ketua Umum Komite Utang Kehormatan Belanda
REPUBLIKA, 10 September 2013


Pada 30 Agustus 2013, Perdana Menteri Belanda Mark Rutte sebagaimana dikutip oleh AFP mengatakan bahwa pemerintahannya akan memberi kompensasi kepada 10 janda korban Westerling di Sulawesi Selatan. Pada 12 September, Duta Besar Belanda di Jakarta akan menyampaikan permintaan maaf hanya kepada para korban di Sulawesi Selatan dan tidak akan meminta maaf atas seluruh agresi militer Belanda di Indonesia dalam periode 1945-1950.

Dalam diskusi yang digelar di gedung DPD pada 4 September 2013, Ketua Umum Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB) menyatakan menolak pemberian kompensasi kepada 10 janda korban Westerling di Sulawesi Selatan dan permintaan maaf pemerintah Belanda, yang akan disampaikan hanya kepada korban Westerling. KUKB justru menilai langkah pemerintah Belanda ini merupakan penghinaan terhadap harkat dan martabat sebagai bangsa yang merdeka dan melanggar kedaulatan Negara Republik Indonesia.

Di Indonesia tidak banyak yang mengetahui bahwa hingga kini pemerintah Belanda tetap tidak mau mengakui de jure kemerdekaan Republik Indonesia adalah 17 Agustus 1945. Untuk pemerintah Belanda, de jure kemerdekaan Republik Indonesia adalah 27 Desember 1949, yaitu ketika dilakukan pelimpahan kewenangan kepada Republik Indonesia Serikat (RIS), sebagai salah satu hasil Konferensi Meja Bundar (KMB). RIS telah dibubarkan pada 16-8-1950 dan pada 17-8-1950 dinyatakan berdirinya kembali NKRI berdasarkan proklamasi 17-8-1945.

Pada September 2009, Yayasan KUKB, yang merupakan kelanjutan dari KUKB Cabang Belanda yang didirikan oleh KUKB Pusat pada Desember 2005, mendampingi 9 orang janda korban dan satu korban selamat dari pembantaian di Rawagede untuk menuntut pemerin- tah Belanda di pengadilan sipil di Den Haag. Menurut pengadilan di Belanda, yang berhak mengajukan gugatan hanya para janda yang masih hidup, dan korban yang selamat. Ketentuan ini tentu sangat mengherankan.

Pada 14 September 2011, pengadilan sipil di Den Haag menjatuhkan vonis, di mana dinyatakan pemerintah Belanda bersalah dan harus memberi kompensasi kepada sembilan penggugat. Tidak jelas mengapa yang satu tidak mendapat kompensasi. Sebagai dasar pertimbangannya, pengadilan Belanda sejalan dengan pemerintah Belanda menyatakan bahwa Indonesia sampai akhir 1949 adalah wilayah Belanda. Berdasarkan vonis ini dan sikap pemerintah Belanda, maka yang menerima kompensasi adalah warga Belanda, dan pemerintah Belanda meminta maaf kepada warganya, bukan kepada rakyat Indonesia.

Pemberian kompensasi hanya kepada sembilan korban dari Rawagede telah menimbulkan ketidakadilan untuk ratusan keluarga korban yang lain sehingga timbul keributan besar. Dapat dimengerti kemarahan ratusan keluarga korban yang lain, yang mempertanyakan soal sembilan orang yang mendapat kompensasi.

Memang vonis pengadilan ini menjadi yurisprudensi untuk kasus-kasus serupa. Dipastikan, apabila mengajukan gugatan menggunakan hukum Belanda ini akan memenangkan gugatan. Namun, apabila menggugat pemerintah Belanda berdasarkan hukum Belanda seperti kasus Rawagede, berarti yang dibela adalah warga Belanda, dan dengan demikian tidak ada gunanya menuntut pemerintah Belanda mengakui de jure kemerdekaan Republik Indonesia adalah 17 Agustus 1945.
Memang sangat dilematis untuk pemerintah Belanda, karena apabila mengakui de jure kemerdekaan Republik Indonesia adalah 17-8-1945, maka yang mereka namakan "aksi polisionil" adalah agresi militer terhadap suatu negara yang merdeka. Republik Indonesia pun berhak menuntut pampasan perang, dan veteran Belanda menjadi penjahat perang.

Pimpinan KUKB Pusat di Jakarta menolak melakukan tuntutan kompensasi hanya untuk segelintir orang, apalagi menggunakan hukum Belanda, karena dengan demikian yang diperjuangkan adalah warga Belanda dan bukan rakyat Indonesia.  Namun, Yayasan KUKB di Belanda tetap mengajukan tuntutan kompensasi hanya untuk 10 orang janda dari Sulawesi Selatan. Langkah Yayasan KUKB di Belanda ini telah keluar dari garis perjuangan KUKB Pusat dan menjadi kontraproduktif terhadap tujuan utama.

Tujuan KUKB menuntut pemerintah Belanda agar mengakui de jure kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945 adalah mempertahankan martabat bangsa. Kompensasi hanya untuk 10 orang, padahal jumlah korban ribuan, tentu akan menimbulkan ketidakadilan dan keributan seperti di Rawagede. Selain itu, akan sangat ironis apabila ada di antara penerima kompensasi adalah keluar ga atau janda dari para pejuang. Bukankah kematian mereka menjadi sia-sia karena mereka gugur dalam mempertahankan kemerdekaan dan sekarang kerabat/jandanya menerima uang sebagai warga Belanda?


Oleh karena itu, pemberian uang kepada korban agresi militer dan mengang- gap mereka adalah warga Belanda merupakan penghinaan terhadap martabat bangsa Indonesia dan melecehkan kedaulatan Negara Republik Indonesia karena menyatakan bahwa mereka adalah warga Belanda. Satu pertanyaan menjadi sangat penting di sini: apakah para janda tersebut diberitahu bahwa mereka diperjuangkan sebagai warga Belanda?  ●  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar