Krisis Global,
Berkah bagi Indonesia?
Joseph Henricus Gunawan ; Alumnus University of
Southern Queensland
(USQ), Australia
|
SUARA
KARYA, 16 Januari 2013
Di tengah kelesuan dan
tidak kondusifnya kondisi perekonomian global menyusul melemahnya kinerja
ekonomi China dan India, krisis utang di Eropa, dan perlambatan pemulihan
ekonomi di AS justru menjadi faktor pendorong dan ketertarikan investor
melirik ke emerging markets yang mencatat pertumbuhan ekonomi tinggi. Ketika
perekonomian global sedang berkecamuk dan dirundung ketidakpastian, justru
pertumbuhan ekonomi Indonesia mencatat hasil positif.
Timbul pertanyaan,
bagaimana Indonesia menjaga momentum dan ketahanan perekonomian nasional yang
mampu memberikan manfaat bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat?
Bagi Indonesia, krisis
global menjadi semacam blessing in disguise (berkah terselubung) dan sudah
saatnya memacu pemerintah lebih proaktif membenahi iklim investasi. Indonesia
saat ini memiliki daya pikat kian menarik menjadi primadona tujuan investasi.
Investasi menjadi salah satu dari empat motor komponen pertumbuhan ekonomi
nasional selain kinerja ekspor, konsumsi domestik, dan belanja pemerintah.
Namun, persoalan
pengembangan infrastruktur fisik, pembangunan SDM, masalah sinergis sistem
dan tingkat koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah terbukti masih
banyaknya UU yang tumpang tindih atau overlapping seperti perda, inefisiensi
jalur birokrasi, dan tidak adanya kepastian hukum, menjadi titik lemah
terbesar dan penyakit kronis investasi di Indonesia. Ini merupakan pukulan
telak karena momentum program reformasi birokrasi melambat dan bottle necking
tidak memperlihatkan hasil optimal mengingat investor lebih tertarik
menanamkan modal dan mengembangkan investasi yang menyediakan kemapanan
kualitas sistem pelayanan dan jaminan kepastian hukum untuk menciptakan iklim
investasi yang kondusif dan sehat.
Menurut
World Economic Forum (WEF), kondisi minimnya ketersediaan infrastruktur
menjadi persoalan terbesar ketiga Indonesia setelah korupsi dan inefisiensi
birokrasi pemerintah ditambah masalah etika kerja buruh yang rendah serta
regulasi ketenagakerjaan yang ketat. Dhus, adalah kewajiban pemerintah untuk
segera mengevaluasi, menganalisis, mengkaji, dan mengatasi kendala investasi.
Ini penting untuk mengeksekusi kebijakan pemerintah dalam meyakinkan investor
menggelontorkan investasi ke Indonesia sebagaimana promosi proyek MP3EI
sebagai blue print fokus pemerintah.
Terabaikannya
berbagai proyek infrastruktur akan menghambat derasnya aliran investasi,
ekspansi bisnis serta berpotensi menciptakan ketidakpastian dan ekonomi biaya
tinggi sekaligus menurunkan daya saing perekonomian nasional. Bagi Investor,
percepatan pembangunan infrastruktur ikut menentukan biaya produksi dan biaya
operasional. Dan, ini telah menjadi 'duri dalam daging' yang ditandai dengan
turunnya dua peringkat daya saing infrastruktur Indonesia tahun 2012, yakni
di urutan ke-76 dari 142 negara yang disurvei oleh WEF.
Karena
itu, sungguh tepatlah kata Thomas John Sargent, William R Berkley, profesor
ekonomi dan bisnis Universitas New York, dan peraih nobel bidang economic
sciences tahun 2011 bersama Christopher Albert Sims, Harold B Helms, profesor
ekonomi dan perbankan Princeton University bahwa Indonesia harus membereskan
kendala infrastruktur agar ekonomi Indonesia dapat melangkah lebih hebat dari
AS dan mengalahkan Negeri Tirai Bambu, 10 tahun mendatang serta menjadi the
new economic market.
Sargent
menambahkan pentingnya pengelolaan makro dan mikro Indonesia yang
diimplementasikan secara prudent agar mampu bertahan sebagai antisipasi di
tengah krisis utang Eropa dan tidak stabilnya pemulihan ekonomi AS. Ini
didukung juga, seperti yang diungkapkan oleh Nouriel Roubini, profesor
international economics Stern School of Business, New York University bahwa
tantangan Indonesia dalam perbaikan infrastruktur sangat mendesak. Di lain
pihak diversifikasi sumber pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu kunci
kesuksesan Indonesia untuk bisa menjadi negara emerging market yang kuat.
Konsistensi, komitmen
serta keseriusan upaya pemerintah dalam fokus mendorong dan menggiring
investor asing maupun swasta yang memiliki permodalan kuat serta menguasai
teknologi yang mumpuni untuk meningkatkan investasi, mengembangkan sektor
industri tradable seperti industri pengolahan, pertanian, dan manufaktur
padat karya serta industri program hilirisasi yang menjamin kelangsungan
pasokan bahan baku industri manufaktur di dalam negeri.
Dengan demikian, dari
sektor pengolahan akan terjadi peningkatan kapasitas produksi yang kelak akan
sangat berguna bagi penyerapan tenaga kerja secara maksimal, pengentasan
kemiskinan, dan mengatasi pengangguran.
Di tengah dinamika
ekonomi global yang terus-menerus berubah dengan akselerasi yang semakin
tinggi, diharapkan pemerintah bisa mengambil hikmahnya, bukan malah bersikap
pesimistis. Krisis global adalah saat yang tepat untuk melakukan ekspansi
secara lebih kreatif lewat terobosan-terobosan baru. Seluruh potensi anak
bangsa bisa dimanfaatkan secara optimal. Dengan SDM yang luar biasa besar dan
mayoritas berusia muda dan usia produktif, terus bertambahnya jumlah
masyarakat kelas menengah dan manufaktur kuat serta sumber daya alam kuat
melimpah, bisa dimanfaatkan untuk memperkuat lompatan ekonomi bangsa ke
depan.
Hal itu sekaligus
menjadikan fundamental ekonomi bumi Pertiwi lebih solid, kokoh serta tahan
guncangan dan merupakan perisai yang tangguh dalam mendukung, melindungi, dan
menjaga kesinambungan pertumbuhan perekonomian nasional dari krisis finansial
global. Dalam hal ini maka perlu dilakukan turn around agar betul-betul dapat
menjadi blessing in disguise dan secara kualitas memenuhi harapan masyarakat
serta dapat dirasakan langsung manfaatnya oleh masyarakat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar