Visi Budaya Gubernur Jakarta
Agus Dermawan T; Kritikus; Penulis Buku-buku Seni Budaya
SUMBER : KOMPAS, 08
Mei 2012
Bandingkan
dengan tulisan Agus Dermawan di KORAN TEMPO, 21 April 2012 :
Enam pasang calon gubernur Jakarta siap
bertarung. Mereka akan diuji kemampuannya untuk mempercantik ”wajah” negara.
Memakai perumpamaan sebuah toko, gubernur
Jakarta adalah perancang etalase untuk memperkenalkan Indonesia kepada
masyarakat dunia. Lantaran negeri ini dimitoskan sebagai pemilik seribu budaya,
isi etalase adalah pajangan kebudayaan. Suatu hal yang mengingatkan kita kepada
kota Paris, Madrid, London, Bangkok, Beijing, dan sebagainya.
Tahun 1960-an Presiden Soekarno mulai
memikirkan hal ini: bahwa Jakarta tidak boleh sekadar tampil sebagai kota
pemerintahan, tetapi juga semerbak sebagai kota kebudayaan. Maka, ia mengangkat
seniman Henk Ngantung sebagai wakil gubernur dan kemudian gubernur Jakarta,
1964-1965. Dasar yang diletakkan Henk Ngantung ini yang kemudian diteruskan Ali
Sadikin selama 1966-1977.
Ali Sadikin—dikenal sebagai Bang Ali—sadar
bahwa Jakarta memang menyimpan potensi luar biasa. Potensi ini nyata terlihat
ketika pada 1970-an Jakarta menjadi magnet bagi sektor apa saja. Jakarta adalah
pusat pusaran politik, pusat industri, dan pusat perkembangan teknologi.
Jakarta juga menjadi pusat usaha, perdagangan, dan pasar.
Keserbapusatan Jakarta menstimulasi
masyarakat dari sejumlah daerah untuk bergabung. Jadilah Jakarta wadah geliat
budaya dari seluruh Indonesia.
Jakarta Rumah Besar
Bang Ali menjadikan Jakarta rumah besar yang
murah hati. Semua unsur kebudayaan diberi ruang untuk hidup dan menentukan
nasibnya sendiri.
Aktivitas komunitas yang bersemangat
primordial ini yang lantas menghasilkan subkultur kebudayaan urban: kebudayaan
yang mengasimilasikan tradisionalisme daerah dengan gelora Ibu Kota. Kebudayaan
yang sah tetap milik daerah asalnya, tetapi Jakarta juga mengklaim budaya lain
sebagai kekayaan baru.
Bang Ali mempersilakan semua warganya
mendirikan perkumpulan dan kantong-kantong budaya, dikoordinasikan oleh dinas
kebudayaan. Selanjutnya Pemerintah Kota Jakarta memfasilitasi panggung untuk
sosialisasi dan aktualisasinya. Fasilitas ini menyebar sampai ke dasar,
termasuk gelanggang anak-anak muda yang didirikan di lima wilayah Ibu Kota.
Fasilitas kebudayaan itu mengkristal menjadi
pusat kesenian, seperti Taman Ismail Marzuki (TIM) yang dituntun oleh Dewan
Kesenian Jakarta (DKJ). Masyarakat tahu bahwa DKJ dan TIM dikelola oleh
budayawan dari seluruh pelosok Indonesia. Dari Sunda (Ajip Rosidi), Sumatera
Barat (Zaini), Jawa Tengah (Daduk Djajakusuma), Jawa Timur (Trisno Sumardjo),
Sumatera Utara (Mochtar Lubis, Sutan Takdir Alisjahbana), Sulawesi Utara (HB
Jassin), dan seregu budayawan asli Betawi yang dikomandani Ridwan Saidi.
Pengerjaan gedung-gedung kesenian diserahkan
kepada arsitek keturunan Tionghoa, Ir Tjiong Sung Hong. Begitu berhasilnya
lembaga ini, hingga Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan PBB
(UNESCO) menawari TIM-DKJ menjadi pusat kebudayaan Melayu.
Sang Gubernur, yang tercatat sebagai orang
Sumedang, melebur dengan budaya Betawi dengan memanggil dirinya sebagai ”Bang”
dan istrinya ”Empok”.
Dampak positif dari terakomodasinya
heterogenitas ini adalah munculnya rasa persaudaraan dan toleransi antarsuku.
Selebihnya adalah rasa bangga karena apa yang dimiliki setiap suku diberi
peluang untuk hadir, eksis, dan berkontribusi di tengah hiruk-pikuk Jakarta.
Rasa bangga ini menjelma dalam bentuk sejuknya kepala serta hangatnya hati
setiap insan urban. Pada masa itu, perkelahian antarkelompok yang dilingkupi
sentiman ras muskil terjadi. Setiap anggota suku, ras, dan agama merasa
memiliki Jakarta dan terpanggil memelihara kultur plural Jakarta.
Para penerusnya, seperti Tjokropranolo,
Surjadi Sudirdja, Suprapto, Wiyogo Admodarminto, dan Sutiyoso, sebenarnya
berupaya meneruskan warisan Bang Ali. Namun, kompleksitas persoalan Jakarta
yang semakin membelit menyebabkan visi pendekatan budaya ini sedikit demi
sedikit luntur. Benturan kepentingan politis yang datang dari pemerintah pusat
juga ikut menjadi faktor.
Fauzi Bowo alias Foke, gubernur petahana yang
tahu betul arti dan fungsi kebudayaan, sebenarnya bekerja keras mengembalikan
visi itu dalam ruang pemerintahannya. Namun, situasi darurat terus menggempur
dari segala arah. ”Saya tahu, heterogenitas budaya merupakan roh utama Jakarta
sejak dahulu kala,” kata Foke, yang tercatat sebagai warga asli Jakarta.
Cerita Lama Akulturasi
Visi Jakarta dalam mengakomodasi dan
mengompilasi aneka kebudayaan itu memang bukan hal baru. Disimak dari
sejarahnya, Jakarta atau Betawi adalah kristalisasi dari kebudayaan campuran yang
tumbuh sejak 1600. Nama Betawi pun diambil dari kata Batavia, sebutan
pemerintah Hindia Belanda atas Jakarta.
Sebagai kota pelabuhan, Batavia menghimpun
aneka suku bangsa pelaut, seperti Bugis, Melayu, Jawa, dan Madura. Dalam kurun
yang berbeda bergabung suku Sunda, Bali, dan sebagainya yang datang lewat
darat. Mereka menggumpal dalam komunitas pesisir Batavia.
Akulturasi yang terjadi di Betawi semakin
unik ketika bangsa China, Portugis, Belanda, Arab, Jerman, dan Inggris masuk.
Kebudayaan Betawi pun menjadi semakin berwarna. Pengaruh Portugis, yang dibawa
orangorang Mardijkers (dari Malabar dan India) sampai sekarang masih terasa
dalam bentuk musik dan tari-tarian. Kebudayaan China meresap dalam bahasa
go-cap, go-ceng sampai kesenian musik dan panggung semacam gambang rancak dan
gambang kromong.
Pengaruh Arab yang dibawa orang Moor (dari
kata Portugis, mouro, yang artinya Muslim) masuk dalam bentuk kebudayaan Islam.
Pengaruh Arab ini kelihatan dominan pada masyarakat Betawi. Hal ini muncul pada
prinsip yang dianut keluarga Betawi, bahwa kemampuan mengaji atau membaca kitab
Al-Quran lebih penting ketimbang menguasai ilmu dari pendidikan umum. Maka,
cita-cita utama masyarakat Betawi adalah ”berlayar” untuk beribadah haji ke
Mekkah.
Alhasil, pendekatan budaya adalah konsep yang
paling penting dalam mengangkat Jakarta sebagai ibu kota negara, sebagai
etalase Nusantara. Karena itu, kemacetan jalan raya, banjir, dan agresivitas
perilaku warga (dalam setiap level) sesungguhnya hanya akibat dari mampatnya
rasa budaya. Inilah yang tampil dalam bentuk sikap mau menang sendiri akibat
runtuhnya puncak-puncak kearifan lokal yang mengutamakan toleransi.
Foke-Nachrowi, Hidayat-Didik, Alex-Nono,
Hendardji-Riza, Faizal-Biem, sampai Jokowi-Ahok tak akan berhasil memperbaiki Jakarta
tanpa melihat kebudayaan sebagai dasar pelaksanaan tata masyarakat dan tata
kota. Kebudayaan kebersamaan yang hilang akan membuat kota Jakarta kusut
sehingga etalase itu pun hanya tinggal angan-angan. ●
sepertinya kini semakin banyak penulis opini yang "nakal" dengan mengirimkan tulisan dengan topik yang sama ke beberapa surat kabar, dan celakanya para editor koran sepertinya tidak membaca opini di koran lain. Hal ini sepertinya tidak perlu terjadi bila para penulis punya etika. Salut buat Pak Budi yang jeli melihat hal ini.
BalasHapus