Menyoal
Pengecualian Informasi Publik
Satrio Wahono ; Sosiolog
dan Magister Filsafat UI
SUMBER : JAWA POS,
30 Mei 2012
DI tengah aneka problem yang
membelit ibu kota negara, Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta justru
menambah masalah, alih-alih menguranginya. Pasalnya, Gubernur DKI Jakarta
baru-baru ini kedapatan meneken Surat Keputusan (SK) Gubernur Nomor 1971/2011
tentang Informasi yang dikecualikan atau dirahasiakan di lingkungan Pemprov DKI
Jakarta (www.jurnas.com,
19/4/2012). Dalam SK tersebut, dokumen pertanggungjawaban keuangan daerah
seperti surat pertanggungjawaban keuangan (SPJ), tiket, kuitansi, bukti
pembayaran, dokumen lelang, kontrak atau surat perjanjian kerja sama (SPK),
dikategorikan sebagai informasi yang tidak boleh diakses publik.
Tak ayal, beleid gubernur itu menyemburatkan permasalahan serius. Sebab, semangat publik untuk ikut mengontrol praktik tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) akan tertumbuk jalan terjal. Bagaimana tidak, ketiadaan dokumen seperti itu akan merampas data keras (hard data) yang jelas dibutuhkan publik untuk secara akurat, valid, dan bertanggung jawab ikut berpartisipasi dalam mengkritik indikasi-indikasi penyimpangan yang terjadi dalam berbagai kebijakan pemprov. Sebagai contoh, bagaimana mungkin publik bisa mencium gelagat penggelembungan biaya (markup) dalam satu proyek jika mereka tidak bisa mengakses informasi seputar SPK?
Oleh sebab itu, SK tersebut belum-belum sudah menyimpan potensi untuk menyuburkan kemungkinan praktik koruptif. Lagi pula, proses penerbitan SK itu juga sejatinya sarat persoalan.
Sebagaimana diketahui, Indonesia sebenarnya sudah memiliki UU Nomor 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP). Produk hukum itu, sebagaimana ditegaskan Soemarno Partodihardjo dalam Keterbukaan Informasi Publik (2008:4), menguatkan konsensus internasional seperti termaktub dalam panduan legislasi OAS (Organization of American States). Yaitu, hak memperoleh informasi merupakan hak asasi manusia (HAM) dan KIP merupakan salah satu ciri penting negara demokratis. Bahkan, tak kurang pasal 28F UUD 1945 ikut menekankan hak seseorang untuk mencari, memperoleh, memiliki, dan menyimpan informasi sebagai bagian dari HAM.
Selain itu, UU KIP berperan signifikan dalam konteks pembangunan ekonomi bangsa. Misalnya, UU itu akan memotivasi badan publik kian bertanggung jawab dan berorientasi untuk memberikan pelayanan publik yang terbaik kepada rakyat. Juga, UU yang sama akan mengakselerasi terwujudnya pemerintahan transparan yang minim praktik koruptif dan giat menjalankan praktik good governance.
Pengecualian
Seturut logika UU KIP di atas, SK Gubernur 1971/2011 tersebut berpotensi melabrak sejumlah landasan dan alasan, baik filosofis maupun sosiologis, di balik lahirnya UU KIP. Terutama, SK tersebut berisiko melahirkan pemerintah yang tak bertata kelola baik dan juga badan-badan publik yang tak menghiraukan pentingnya memberikan pelayanan publik secara maksimal kepada masyarakat.
Memang, tak bisa dimungkiri bahwa UU KIP memberikan lima kemungkinan bagi pengecualian informasi yang patut dibuka kepada publik. Pertama, informasi yang dapat membahayakan negara, seperti informasi tentang pertahanan negara. Kedua, informasi tentang perlindungan usaha dan persaingan usaha tidak sehat. Ketiga, informasi terkait hak-hak pribadi. Keempat, informasi rahasia jabatan. Kelima, informasi yang memang belum dimiliki atau didokumentasikan.
Meski demikian, badan publik tidak bisa semena-mena mendalilkan salah satu di antara lima pengecualian di atas begitu saja. Minimal, badan publik yang bersangkutan harus menjalankan terlebih dahulu salah satu di antara dua metode uji. Pertama, metode consequential harm. Dalam metode itu, pejabat publik harus secara memuaskan mampu menjelaskan konsekuensi kerugian yang muncul gara-gara dibukanya satu informasi kepada publik. Di sini, beban pembuktian ada pada pejabat publik yang mendalilkan pengecualian.
Kedua, metode balancing public interest. Berpijak kepada metode tersebut, pengecualian bisa dilakukan apabila badan atau pejabat publik menimbang bahwa kepentingan publik akan lebih terlindungi apabila informasi itu tidak terbuka untuk publik ketimbang apabila publik bebas mengakses informasi tersebut.
Nah, dalam konteks SK Gubernur 1971/2011, kita tentu perlu melihat apakah Pemprov DKI Jakarta sudah menjalankan salah satu di antara dua metode uji di atas. Juga, apakah informasi yang dikecualikan tersebut benar-benar tergolong pada salah satu di antara lima kemungkinan pengecualian yang diberikan UU KIP.
Apabila kita periksa satu per satu, jawaban negatiflah yang tampaknya tergelar. Sebab, memang belum ada penjelasan memadai dari pemprov, baik dari segi consequential harm maupun balancing public interest, mengapa informasi-informasi sebagaimana termaksud dalam SK tersebut harus dikecualikan.
Tambahan lagi, rasa-rasanya informasi termaksud dalam SK itu tidaklah tergolong pada lima ''pintu'' pengecualian yang disediakan UU KIP. Maksudnya, semua informasi tersebut bukanlah informasi yang membahayakan negara; bukan informasi yang akan menciptakan persaingan usaha tidak sehat; bukan informasi yang berkaitan dengan hak-hak pribadi atau rahasia jabatan; dan bukan pula informasi yang tidak didokumentasikan oleh Pemprov DKI Jakarta.
Reaksi Solutif
Akan tetapi, ''nasi sudah jadi bubur'' karena SK itu memang sudah diterbitkan tahun lalu. Ketimbang hanya mengeluh, reaksi yang lebih solutif jelas lebih positif untuk berupaya mewujudkan praktik tata kelola pemerintahan yang baik.
Untuk itu, setidaknya ada dua solusi menangkal SK tersebut. Pertama, publik yang berkepentingan bisa meminta mediasi kepada Komisi Informasi (KI) terkait sengketa informasi publik (IP) akibat adanya penolakan atas permintaan informasi berdasar alasan pengecualian. Jika mediasi tidak berhasil, pihak yang bersengketa dapat meminta penyelesaian ajudikasi nonlitigasi (di luar pengadilan) di KI yang putusannya setara dengan putusan pengadilan. Jalan mediasi itu cukup cepat karena harus selesai dalam seratus hari kerja.
Kedua, jika hasil ajudikasi dari KI tidak diterima, penyelesaian sengketa bisa dibawa ke pengadilan tata usaha negara (PTUN) karena Pemprov DKI Jakarta sebagai tergugat adalah badan publik (BP) negara.
Berbekal dua solusi tersebut, semoga kita di masa depan dapat menyaksikan terwujudnya satu tata kelola pemerintahan yang lebih transparan dan demokratis! ●
Tak ayal, beleid gubernur itu menyemburatkan permasalahan serius. Sebab, semangat publik untuk ikut mengontrol praktik tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) akan tertumbuk jalan terjal. Bagaimana tidak, ketiadaan dokumen seperti itu akan merampas data keras (hard data) yang jelas dibutuhkan publik untuk secara akurat, valid, dan bertanggung jawab ikut berpartisipasi dalam mengkritik indikasi-indikasi penyimpangan yang terjadi dalam berbagai kebijakan pemprov. Sebagai contoh, bagaimana mungkin publik bisa mencium gelagat penggelembungan biaya (markup) dalam satu proyek jika mereka tidak bisa mengakses informasi seputar SPK?
Oleh sebab itu, SK tersebut belum-belum sudah menyimpan potensi untuk menyuburkan kemungkinan praktik koruptif. Lagi pula, proses penerbitan SK itu juga sejatinya sarat persoalan.
Sebagaimana diketahui, Indonesia sebenarnya sudah memiliki UU Nomor 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP). Produk hukum itu, sebagaimana ditegaskan Soemarno Partodihardjo dalam Keterbukaan Informasi Publik (2008:4), menguatkan konsensus internasional seperti termaktub dalam panduan legislasi OAS (Organization of American States). Yaitu, hak memperoleh informasi merupakan hak asasi manusia (HAM) dan KIP merupakan salah satu ciri penting negara demokratis. Bahkan, tak kurang pasal 28F UUD 1945 ikut menekankan hak seseorang untuk mencari, memperoleh, memiliki, dan menyimpan informasi sebagai bagian dari HAM.
Selain itu, UU KIP berperan signifikan dalam konteks pembangunan ekonomi bangsa. Misalnya, UU itu akan memotivasi badan publik kian bertanggung jawab dan berorientasi untuk memberikan pelayanan publik yang terbaik kepada rakyat. Juga, UU yang sama akan mengakselerasi terwujudnya pemerintahan transparan yang minim praktik koruptif dan giat menjalankan praktik good governance.
Pengecualian
Seturut logika UU KIP di atas, SK Gubernur 1971/2011 tersebut berpotensi melabrak sejumlah landasan dan alasan, baik filosofis maupun sosiologis, di balik lahirnya UU KIP. Terutama, SK tersebut berisiko melahirkan pemerintah yang tak bertata kelola baik dan juga badan-badan publik yang tak menghiraukan pentingnya memberikan pelayanan publik secara maksimal kepada masyarakat.
Memang, tak bisa dimungkiri bahwa UU KIP memberikan lima kemungkinan bagi pengecualian informasi yang patut dibuka kepada publik. Pertama, informasi yang dapat membahayakan negara, seperti informasi tentang pertahanan negara. Kedua, informasi tentang perlindungan usaha dan persaingan usaha tidak sehat. Ketiga, informasi terkait hak-hak pribadi. Keempat, informasi rahasia jabatan. Kelima, informasi yang memang belum dimiliki atau didokumentasikan.
Meski demikian, badan publik tidak bisa semena-mena mendalilkan salah satu di antara lima pengecualian di atas begitu saja. Minimal, badan publik yang bersangkutan harus menjalankan terlebih dahulu salah satu di antara dua metode uji. Pertama, metode consequential harm. Dalam metode itu, pejabat publik harus secara memuaskan mampu menjelaskan konsekuensi kerugian yang muncul gara-gara dibukanya satu informasi kepada publik. Di sini, beban pembuktian ada pada pejabat publik yang mendalilkan pengecualian.
Kedua, metode balancing public interest. Berpijak kepada metode tersebut, pengecualian bisa dilakukan apabila badan atau pejabat publik menimbang bahwa kepentingan publik akan lebih terlindungi apabila informasi itu tidak terbuka untuk publik ketimbang apabila publik bebas mengakses informasi tersebut.
Nah, dalam konteks SK Gubernur 1971/2011, kita tentu perlu melihat apakah Pemprov DKI Jakarta sudah menjalankan salah satu di antara dua metode uji di atas. Juga, apakah informasi yang dikecualikan tersebut benar-benar tergolong pada salah satu di antara lima kemungkinan pengecualian yang diberikan UU KIP.
Apabila kita periksa satu per satu, jawaban negatiflah yang tampaknya tergelar. Sebab, memang belum ada penjelasan memadai dari pemprov, baik dari segi consequential harm maupun balancing public interest, mengapa informasi-informasi sebagaimana termaksud dalam SK tersebut harus dikecualikan.
Tambahan lagi, rasa-rasanya informasi termaksud dalam SK itu tidaklah tergolong pada lima ''pintu'' pengecualian yang disediakan UU KIP. Maksudnya, semua informasi tersebut bukanlah informasi yang membahayakan negara; bukan informasi yang akan menciptakan persaingan usaha tidak sehat; bukan informasi yang berkaitan dengan hak-hak pribadi atau rahasia jabatan; dan bukan pula informasi yang tidak didokumentasikan oleh Pemprov DKI Jakarta.
Reaksi Solutif
Akan tetapi, ''nasi sudah jadi bubur'' karena SK itu memang sudah diterbitkan tahun lalu. Ketimbang hanya mengeluh, reaksi yang lebih solutif jelas lebih positif untuk berupaya mewujudkan praktik tata kelola pemerintahan yang baik.
Untuk itu, setidaknya ada dua solusi menangkal SK tersebut. Pertama, publik yang berkepentingan bisa meminta mediasi kepada Komisi Informasi (KI) terkait sengketa informasi publik (IP) akibat adanya penolakan atas permintaan informasi berdasar alasan pengecualian. Jika mediasi tidak berhasil, pihak yang bersengketa dapat meminta penyelesaian ajudikasi nonlitigasi (di luar pengadilan) di KI yang putusannya setara dengan putusan pengadilan. Jalan mediasi itu cukup cepat karena harus selesai dalam seratus hari kerja.
Kedua, jika hasil ajudikasi dari KI tidak diterima, penyelesaian sengketa bisa dibawa ke pengadilan tata usaha negara (PTUN) karena Pemprov DKI Jakarta sebagai tergugat adalah badan publik (BP) negara.
Berbekal dua solusi tersebut, semoga kita di masa depan dapat menyaksikan terwujudnya satu tata kelola pemerintahan yang lebih transparan dan demokratis! ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar