Radikalisme
Pasca-Orde Baru
Abdil Mughis Mudhoffir ; Dosen Sosiologi Universitas Negeri Jakarta
SUMBER : KOMPAS, 29
Mei 2012
Satu dasawarsa lebih Indonesia telah
melampaui Orde Baru yang otoriter. Akan tetapi, mengapa persoalan radikalisme
dan kekerasan agama justru terus meningkat?
Selama ini ada dua perspektif dominan dalam
menjelaskan maraknya kekerasan agama di era demokrasi itu: pendekatan kultural
dan keamanan. Pendekatan kultural menekankan pada aspek kemampuan masyarakat
dalam membangun kerukunan antaragama. Artinya, kekerasan agama terus meningkat
karena masyarakat dianggap lemah dalam membina toleransi. Ini, antara lain,
dapat dilihat dari munculnya kelompok-kelompok intoleran.
Solusinya dengan mengintensifkan dialog
lintas iman, terutama yang dipelopori para pemukanya. Sayangnya, di beberapa
tempat, dialog semacam itu sering kali bersifat seremonial. Kekerasan agama
tetap saja ada.
Sebaliknya, menurut pendekatan keamanan,
meningkatnya kasus intoleransi akibat kapasitas negara kian lemah pasca-Orde
Baru dalam menindak kelompok-kelompok intoleran, tak seperti di masa otoriter
Soeharto dulu. Konsekuensinya, perlu negara bertangan besi seperti masa Orde
Baru untuk dapat menjaga kerukunan umat beragama.
Meski tidak dinyatakan secara sengaja, setidaknya
itulah asumsi yang terkandung dalam pendekatan keamanan. Namun, ketakmungkinan
untuk kembali ke masa otoriter termanifestasikan dalam pembentukan instrumen-
instrumen yang menggambarkan kekuasaan negara yang tak terbatas, seperti dalam
pembentukan satuan polisi antiteror (Densus 88). Penjelasan semacam ini dapat
dilihat, misalnya, dalam tulisan-tulisan Noorhaidi Hasan (2007; 2008) atau
Zachary Abuza (2007).
Kedua pendekatan di atas mengandaikan seperti
ada kontradiksi dalam demokrasi. Di satu sisi ruang partisipasi dan kebebasan
semakin terbuka, tetapi di sisi lain kondisi itu memberi peluang menguatnya
komunalisme (baca: lahirnya kelompok-kelompok radikal intoleran) yang mengancam
demokrasi, sementara kapasitas negara dipandang lemah dalam menindak aksi-aksi
intoleran.
Ekonomi-Politik
Secara prinsipiil, kedua penjelasan di atas
sebenarnya tak jauh berbeda dan memiliki kelemahan yang sama. Pertama, keduanya
abai dalam melihat dinamika ekonomi-politik Orde Baru yang turut memengaruhi
lahir dan menguatnya radikalisme di era demokrasi. Sikap gamang dalam menerima
demokrasi—yang melihat adanya kontradiksi di dalamnya—karena penjelasan yang
ada selama ini mengabaikan aspek sejarah itu.
Padahal, kelompok-kelompok intoleran—terutama
yang menggunakan simbol-simbol Islam— justru lahir dari dinamika politik era
Soeharto. Adanya represi terhadap eksponen-eksponen Islam oleh Orde Baru adalah
prakondisi yang melahirkan kelompok-kelompok Islam politik yang intoleran itu.
Jadi, aktor-aktor Islam politik yang ”radikal”
dan intoleran bukan produk baru periode demokrasi, melainkan warisan sejarah
dalam periode otoritarianisme. Kelompok-kelompok jihadis, terutama yang
berorientasi menegakkan negara Islam, berakar dari gerakan Islam pada masa lalu
yang terus-menerus ditekan sepanjang Orde Baru. Aksi-aksi radikalisme yang
bertajuk ”teror” pun sangat mungkin buah dari marjinalisasi politik pada masa
lalu; tidak semata-mata pengaruh ideologi yang diimpor dari luar.
Demikian pula kelompok-kelompok paramiliter
yang berorientasi menegakkan nahi mungkar (mencegah kemungkaran) melalui
aksi-aksi sweeping, merupakan produk dari dinamika politik Orde Baru. Namun,
sebagian di antara kelompok itu tidak berakar pada gerakan Islam politik masa
lalu, melainkan pada kelompok-kelompok preman terorganisasi yang dikontrol oleh
negara (lihat Ian Wilson, 2008).
Kelemahan kedua, penjelasan-penjelasan di
atas juga cenderung mengabaikan perhatiannya atas dinamika ekonomi-politik
pasca-Orde Baru dalam kontestasi kekuasaan di tingkat lokal. Padahal, aksi-aksi
intoleran, termasuk yang menggunakan cara- cara kekerasan, hampir selalu
bersinggungan dengan pertarungan elite akibat fragmentasi kekuasaan di era
desentralisasi.
Studi yang dilakukan oleh Robin Bush (2008)
dalam tulisannya, Regional Sharia
Regulations in Indonesia: Anomaly or Symptom, misalnya, menyimpulkan bahwa
kemunculan peraturan daerah bernuansa syariah di beberapa tempat lebih
menggambarkan hasil dari kontestasi elite dalam memperebutkan dukungan politik
daripada gejala menguatnya radikalisme dan militansi Islam. Ini, misalnya, dapat
dilihat dari fakta bahwa sebagian besar perda itu justru lahir dari daerah yang
bupati atau wali kotanya berasal dari partai nasionalis (Golkar, PDI-P, PKB).
Alhasil, meningkatnya
kekerasan agama tak dapat semata hanya dipahami sebagai persoalan intoleransi,
juga produk dari pertarungan kekuasaan yang terfragmentasi. Dan, demokrasi
sesungguhnya juga masih membuka peluang tegaknya toleransi asalkan pertarungan
kekuasaan di tingkat lokal juga jadi perhatian dalam mengatasi masalah-masalah
hubungan antaragama.
Selain itu, jika kita mau belajar dari
sejarah Orde Baru, menguatnya radikalisme sesungguhnya akibat dari tindakan
rezim yang represif terhadap kelompok tertentu. Dengan demikian, jika orientasi
dalam mengatasi radikalisme menggunakan pendekatan keamanan semata, hal itu
justru dapat menjadi media bagi semakin tumbuh suburnya ide itu. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar