Bangkit
atau Anarki
J Kristiadi ; Peneliti Senior CSIS
SUMBER : KOMPAS, 29
Mei 2012
Bulan Mei seharusnya menjadi bulan penuh
berkah karena bangsa Indonesia memperingati tiga peristiwa monumental yang
menunjukkan bangsa Indonesia adalah bangsa pembebas dan bermartabat.
Pertama, 20 Mei adalah Hari Kebangkitan
Nasional. Tonggak sejarah yang mengantarkan bangsa Indonesia bersatu melawan
kekejaman penjajah. Kedua, 21 Mei adalah peringatan kemenangan perjuangan
rakyat Indonesia merebut kebebasan dari rezim yang memonopoli kekuasaan dan
kebenaran (politik) tahun 1998. Ketiga, 29 Mei adalah mengenang sidang pertama
Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) tahun 1945.
Mei menjadi bulan kenangan perjuangan anak
bangsa dalam menggali nilai-nilai luhur sebagai mercusuar dan menara moral bagi
perjalanan mewujudkan cita-cita. Modal kesejarahan tersebut seharusnya dapat
menggugah semangat bangsa untuk bangkit melawan dan memerangi perilaku korup
para pemegang kekuasaan dewasa ini.
Seakan-akan Kelelahan
Sayangnya, dalam konteks kekinian, beberapa
tahun belakangan ini perjalanan kehidupan bangsa meluncur ke arah yang
berseberangan dengan kiblat yang seharusnya dituju. Bangsa Indonesia
seakan-akan kelelahan dan kehabisan energi mengatasi penyalahgunaan kekuasaan
para elite politik yang dipilih secara demokratis.
Demokrasi terperangkap menjadi organisasi
kekuasaan yang semestinya mengelola berbagai sumber daya untuk mewujudkan
kemakmuran, justru bertindak sewenang-wenang sehingga kebijakannya membuat
rakyat semakin miskin dan menderita.
Akibatnya sangat menakutkan. Tingkat
intoleransi kian tinggi, korupsi politik semakin melekat erat dalam proses
politik di segala tingkatan, kepercayaan pada demokrasi merosot, kredibilitas
lembaga-lembaga negara dan politik meluncur menuju titik nadir, serta virus
pembusukan moral menyebar dan merusak sendi-sendi kehidupan.
Semua itu menunjukkan, deposit modal sosial
serta rasa saling percaya antarkelompok masyarakat dan terhadap lembaga politik
dan negara kian tipis. Anyaman, rajutan, dan kohesi sosial semakin kendur dan
tercerai-berai. Akar dan sekaligus pemicu permasalahannya adalah politik saling
garuk punggung para elite politik yang bertambah intens sejalan dengan
kenikmatan yang direguknya. Perilaku saling melayani dan memfasilitasi untuk
mengakumulasi kekuasaan serta bagi-bagi kekayaan negara untuk membangun
imperium politik golongan sendiri semakin tak terkendali.
Intensitas gerakan saling garuk punggung
gatal semakin kalap, mirip orang kesurupan. Mereka tidak lagi peduli derita dan
jeritan rakyat. Para penikmat kekayaan negara telah kecanduan kekuasaan
sehingga lupa cakar-cakar mereka kotor dan beracun sehingga punggung sebagai
medan politik semakin membusuk. Bau anyir dari nanah bisul-bisul politik yang terus
mengalir dan luka gatal karena virus kekuasaan membuat para elite imun terhadap
koreksi dan kritik masyarakat. Mereka juga kehilangan indra penciumannya
sehingga tidak merasa sengatan bau amis itu.
Akibatnya, pembusukan politik terus
berlangsung. Rakyat terasing dengan para wakilnya dan pejabat publik yang
dipilihnya. Publik mengalami disafeksi politik (political disaffection) dalam wujud rendahnya kepercayaan publik
terhadap tatanan politik.
Struktur, proses, dan mekanisme politik
demokratis secara bertahap justru mengubrak-abrik harapan masyarakat. Kekacauan
tertib politik menimbulkan anarki dalam proses penyelenggaraan negara sehingga
menimbulkan kekacauan interaksi sosial.
Masyarakat bertindak sendiri-sendiri tanpa
regulasi dan norma yang dapat menjamin keteraturan. Anarki menjadi apotheosis dari penjelmaan dinamika
perkembangan krisis kekacaubalauan politik yang tidak terkendalikan. Anarki
menjadi epitome dari kegagalan
pimpinan negara mengelola kedaulatan rakyat.
Godaan Hasrat
Dalam perspektif elite politik, perilaku
mereka dapat dijelaskan melalui fenomena ”tahu,
tetapi tidak mampu”. Dalam
kungkungan politik yang semakin membusuk, tidak sedikit elite politik yang
jujur menyatakan risau dengan lingkungan yang korup.
Mereka sadar dan tahu perilakunya
membahayakan kehidupan bangsa. Namun, mereka sekan-akan lumpuh dan tidak
berdaya menghadapi godaan hasrat, gairah, dan gelora mereguk kenikmatan
kekuasaan. Ibarat orang kecanduan merokok, meski sangat sadar dapat
mengakibatkan kanker, tidak dapat hamil, impoten, dan penyakit lain, mereka
sulit berhenti.
Maka, rakyat perlu melakukan konsientisasi.
Intinya, menyatukan diri dengan negara secara aktif agar negara menjadi
inkarnasi atau penjelmaan kehendak rakyat. Rakyat harus menjadi subyek politik.
Caranya, menyatu dengan negara dalam wujud partisipasi penuh di setiap
aktivitas politik.
Hanya dengan demikian anarki politik secara
bertahap dapat dikontrol rakyat. Namun, rakyat perlu punya pengetahuan tentang
seluk-beluk mengatur negara dan keterampilan mengambil bagian dari seluruh
proses politik. Dengan demikian, rakyat dapat mengontrol perilaku elite dan
menyelamatkan reformasi dari kegagalan.
Karena itu, pendidikan politik rakyat sangat
mutlak. Kebangkitan Nasional adalah buah para pendiri bangsa berpendidikan dan
mampu mengajak rakyat mengusir penjajah. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar