Kembali
ke Pancasila
Benny Susetyo ; Sekretaris
Eksekutif Komisi HAK KWI; Pemerhati Sosial
SUMBER : SINDO, 31
Mei 2012
Pancasila
dilahirkan dari semangat terdalam bangsa ini. Melalui pidato Bung Karno yang
berkobar-kobar pada 1 Juni 1945, Pancasila digali dan lahirkan sebagai
dasar-dasar berperikehidupan dan berkebangsaan.
Amat
disayangkan sejauh ini Pancasila belum sungguh-sungguh menjadi pedoman
kehidupan bangsa ini.Sepanjang Orde Baru, Pancasila mengalami masa-masa yang
sulit ketika ia diperalat untuk tujuan pelanggengan kekuasaan. Nasib buruk juga
terjadi di Era Reformasi, nilai-nilai Pancasila sudah diabaikan dan dilalaikan
dalam semua perikehidupan kita.
Pancasila belum mewujud dalam nilai-nilai etis para penyelenggara negara dan elite bangsa ini. Praktik korupsi dan penindasan justru semakin menjadi-jadi. Para elite menjadi buas, rakus, dan tamak. Dalam praktik keagamaan, kerukunan bukan menjadi inti kehidupan bersama-sama. Dalam praktik kehidupan ekonomi, keadilan sosial nyaris hanya menjadi kata-kata kosong tanpa makna.
Politik Tanpa Nilai Etik
Politik identik dengan cara meraih kekayaan pribadi dan kelompok. Konfrontasi dan pragmatisme di tingkat elite politik sudah berada pada tahap sangat mengkhawatirkan, seolah sebagai bangsa kita tidak memiliki nilai pijakan dan pedoman berkehidupan. Di Era Reformasi ini yang berkembang justru kehidupan politik yang sangat-sangat abai dengan etika.
Karena itulah, tidak mengherankan jika ada satu survei yang menghasilkan opini masyarakat yang ingin kembali ke masa lalu.Mereka berpendapat seolah lebih baik hidup dalam penindasan daripada hidup dalam ketidakpastian. Kehidupan ekonomi rakyat kecil tidak kunjung membaik malah sebaliknya. Nilai etis politik kita cenderung mengarah pada kompetisi yang mengabaikan moral.
Semua harga jabatan politik setara dengan uang berjumlah tertentu. Semakin lama kita hidup dalam keprihatinan yang semakin mendalam. Pancasila sudah dilupakan sebagi acuan etis politik negeri ini. Bangsa ini kehilangan prasyarat mendasar yang dijadikan acuan bersama dalam merumuskan politik demokratis yang berbasis etika dan moralitas. Ketidakjelasan secara etis berbagai tindakan politik di negeri ini membuat keadaban publik saat ini mengalami kehancuran.
Fungsi sebagai pelindung rakyat tidak berjalan sesuai dengan komitmen yang ada. Etika politik yang berpijak pada Pancasila (ketuhanan,kemanusiaan, persatuan, permusyawaratan, dan keadilan sosial) hancur karena politik identik dengan uang. Uanglah yang menentukan segala-galanya. Ia menentukan berbagai kebijakan publik yang dirumuskan.
Hal ini sangat ironis karena mengakibatkan hilangnya iman dalam kehidupan manusia. Iman tidak lagi menjadi sumber inspirasi batin bagi kehidupan nyata. Iman sekadar simbol lahirilah yang menjelma dalam ritus dan upacara.Iman tidak terkait tata kehidupan dan akibatnya dia tidak menjiwai kehidupan publik.Politik tidak tersentuh oleh etika iman seperti yang diajarkan Pancasila (ketuhanan).
Kekuasaan dan kekayaan menjadi daya pendorong politik kepentingan yang mempersempit kepentingan publik secara luas. Ruang publik bahkan sering dipersamakan dengan pasar.Akibatnya siapa kuat dan memiliki modal, dia akan menentukan segala kebijakan. Kebijakan,dengan demikian, tidak pernah menyentuh masyarakat lapisan bawah melainkan lebih melindungi kekuatan pemodal.
Matinya Keadilan Sosial
Empati pemerintah terlalu lemah untuk bisa merasakan penderitaan petani,buruh,dan nelayan.Pemerintah sulit menjadikan rasa empati dan kemanusiaannya sebagai bahan pertimbangan utama merancang kebijakan. Alih-alih justru sering kita lihat kebijakan yang pro-orang kaya daripada orang miskin.
Keadilan ekonomi kita dicerminkan dari kongkalikong aparatus negara dan orang kaya yang kian lama menggerogoti kekayaan bangsa ini. Tidak terhitung lagi berapa aset negara hilang dan lenyap tidak jelas peruntukannya. Rakyat miskin tak terurus. Kelaparan di mana-mana. Kita hampir tidak memiliki daya untuk bangkit.
Walaupun begitu, di tengah-tengah penderitaan yang maha berat, penguasa masih memiliki sisasisa kesombongan yang menyatakan bangsa ini adalah bangsa besar.Tidaklah salah Pramoedya yang menyatakan bangsa ini adalah bangsa budak, yang diperbudak saudara sebangsa sendiri dan bangsa lain. Lalu apa sebenarnya yang bisa kita sombongkan sebagai bangsa besar itu? Petani merana.
Buruh sengsara. Nelayan apalagi.Padahal petani, nelayan, dan buruh inilah yang sebenarnya menjadi tulang punggung perekonomian bangsa selama ini. Dengan dirinya sendiri mereka bekerja tanpa menggantungkan nasib kepada penguasa.Tetapi justru penguasalah yang sering meremehkan posisinya dan lalu melahirkan kebijakan- kebijakan yang menghancurkan keadaannya.
Ini terjadi di sebuah negeri yang mengumandangkan diri sebagai negeri reformis,negeri agamais, dan menjunjung tinggi adat ketimuran. Negeri berdasar Pancasila, dengan dasar Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, serta Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Memperingati Hari Lahir Pancasila ini kita kembali diingatkan bahwa dasar-dasar kehidupan bersama kita sudah pudar dalam waktu yang lama.
Kita perlu momentum bersama untuk kembali memperkuat Pancasila sebagai landasan etis berkebangsaan ini.Saat ini di tengah segi-segi kehidupan yang sudah rusak parah, merupakan momentum yang baik untuk kembali merenungkan dan mengembalikan Pancasila sebagai dasar kehidupan bangsa ini. Dalam karut-marut kehidupan bangsa seperti ini, sudah seharusnya kita kembali ke Pancasila. ●
Pancasila belum mewujud dalam nilai-nilai etis para penyelenggara negara dan elite bangsa ini. Praktik korupsi dan penindasan justru semakin menjadi-jadi. Para elite menjadi buas, rakus, dan tamak. Dalam praktik keagamaan, kerukunan bukan menjadi inti kehidupan bersama-sama. Dalam praktik kehidupan ekonomi, keadilan sosial nyaris hanya menjadi kata-kata kosong tanpa makna.
Politik Tanpa Nilai Etik
Politik identik dengan cara meraih kekayaan pribadi dan kelompok. Konfrontasi dan pragmatisme di tingkat elite politik sudah berada pada tahap sangat mengkhawatirkan, seolah sebagai bangsa kita tidak memiliki nilai pijakan dan pedoman berkehidupan. Di Era Reformasi ini yang berkembang justru kehidupan politik yang sangat-sangat abai dengan etika.
Karena itulah, tidak mengherankan jika ada satu survei yang menghasilkan opini masyarakat yang ingin kembali ke masa lalu.Mereka berpendapat seolah lebih baik hidup dalam penindasan daripada hidup dalam ketidakpastian. Kehidupan ekonomi rakyat kecil tidak kunjung membaik malah sebaliknya. Nilai etis politik kita cenderung mengarah pada kompetisi yang mengabaikan moral.
Semua harga jabatan politik setara dengan uang berjumlah tertentu. Semakin lama kita hidup dalam keprihatinan yang semakin mendalam. Pancasila sudah dilupakan sebagi acuan etis politik negeri ini. Bangsa ini kehilangan prasyarat mendasar yang dijadikan acuan bersama dalam merumuskan politik demokratis yang berbasis etika dan moralitas. Ketidakjelasan secara etis berbagai tindakan politik di negeri ini membuat keadaban publik saat ini mengalami kehancuran.
Fungsi sebagai pelindung rakyat tidak berjalan sesuai dengan komitmen yang ada. Etika politik yang berpijak pada Pancasila (ketuhanan,kemanusiaan, persatuan, permusyawaratan, dan keadilan sosial) hancur karena politik identik dengan uang. Uanglah yang menentukan segala-galanya. Ia menentukan berbagai kebijakan publik yang dirumuskan.
Hal ini sangat ironis karena mengakibatkan hilangnya iman dalam kehidupan manusia. Iman tidak lagi menjadi sumber inspirasi batin bagi kehidupan nyata. Iman sekadar simbol lahirilah yang menjelma dalam ritus dan upacara.Iman tidak terkait tata kehidupan dan akibatnya dia tidak menjiwai kehidupan publik.Politik tidak tersentuh oleh etika iman seperti yang diajarkan Pancasila (ketuhanan).
Kekuasaan dan kekayaan menjadi daya pendorong politik kepentingan yang mempersempit kepentingan publik secara luas. Ruang publik bahkan sering dipersamakan dengan pasar.Akibatnya siapa kuat dan memiliki modal, dia akan menentukan segala kebijakan. Kebijakan,dengan demikian, tidak pernah menyentuh masyarakat lapisan bawah melainkan lebih melindungi kekuatan pemodal.
Matinya Keadilan Sosial
Empati pemerintah terlalu lemah untuk bisa merasakan penderitaan petani,buruh,dan nelayan.Pemerintah sulit menjadikan rasa empati dan kemanusiaannya sebagai bahan pertimbangan utama merancang kebijakan. Alih-alih justru sering kita lihat kebijakan yang pro-orang kaya daripada orang miskin.
Keadilan ekonomi kita dicerminkan dari kongkalikong aparatus negara dan orang kaya yang kian lama menggerogoti kekayaan bangsa ini. Tidak terhitung lagi berapa aset negara hilang dan lenyap tidak jelas peruntukannya. Rakyat miskin tak terurus. Kelaparan di mana-mana. Kita hampir tidak memiliki daya untuk bangkit.
Walaupun begitu, di tengah-tengah penderitaan yang maha berat, penguasa masih memiliki sisasisa kesombongan yang menyatakan bangsa ini adalah bangsa besar.Tidaklah salah Pramoedya yang menyatakan bangsa ini adalah bangsa budak, yang diperbudak saudara sebangsa sendiri dan bangsa lain. Lalu apa sebenarnya yang bisa kita sombongkan sebagai bangsa besar itu? Petani merana.
Buruh sengsara. Nelayan apalagi.Padahal petani, nelayan, dan buruh inilah yang sebenarnya menjadi tulang punggung perekonomian bangsa selama ini. Dengan dirinya sendiri mereka bekerja tanpa menggantungkan nasib kepada penguasa.Tetapi justru penguasalah yang sering meremehkan posisinya dan lalu melahirkan kebijakan- kebijakan yang menghancurkan keadaannya.
Ini terjadi di sebuah negeri yang mengumandangkan diri sebagai negeri reformis,negeri agamais, dan menjunjung tinggi adat ketimuran. Negeri berdasar Pancasila, dengan dasar Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, serta Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Memperingati Hari Lahir Pancasila ini kita kembali diingatkan bahwa dasar-dasar kehidupan bersama kita sudah pudar dalam waktu yang lama.
Kita perlu momentum bersama untuk kembali memperkuat Pancasila sebagai landasan etis berkebangsaan ini.Saat ini di tengah segi-segi kehidupan yang sudah rusak parah, merupakan momentum yang baik untuk kembali merenungkan dan mengembalikan Pancasila sebagai dasar kehidupan bangsa ini. Dalam karut-marut kehidupan bangsa seperti ini, sudah seharusnya kita kembali ke Pancasila. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar