Varian
Penyakit Demokrasi
OC Kaligis ; Praktisi
Hukum
SUMBER : SUARA
KARYA, 29 Mei 2012
Demokrasi yang berkembang saat ini bukanlah demokrasi sejati.
Perkembangan yang terjadi, varian-varian penyakit demokrasi (diseased variants of democracy) justru
menggerogoti dan menghancurkan demokrasi itu sendiri.
Salah satu varian demokrasi itu adalah ketentuan Pasal 8 ayat (1)
Perubahan atas UU No 10/2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD yang
disahkan 12 April 2012. Pasal 8 ayat (1) UU Pemilu yang baru berbunyi,
"Partai politik peserta pemilu pada pemilu terakhir yang memenuhi ambang
batas perolehan suara dari jumlah suara sah secara nasional ditetapkan sebagai
partai politik peserta pemilu pada pemilu berikutnya."
Dengan ketentuan itu, parpol peserta Pemilu 2009, yang memenuhi
ambang batas perolehan suara dari jumlah suara sah nasional (partai parlemen)
otomatis jadi parpol peserta pemilu pada pemilu berikutnya. Ketentuan Pasal 8
ayat (1) dan ayat (2) UU Pemilu yang baru jelas mengatur tentang parpol peserta
pemilu dengan perlakuan hukum yang berbeda atau diskriminatif, antara partai
parlemen dengan parpol yang tidak memenuhi ambang batas perolehan suara pada
pemilu sebelumnya atau parpol baru (partai nonparlemen). Pasal 8 ayat (1)
memberikan privilese kepada partai parlemen: otomatis menjadi partai peserta
pemilu berikutnya tanpa perlu memenuhi persyaratan dalam Pasal 8 ayat (2) bagi
partai nonparlemen.
Hukum dalam suatu masyarakat yang beradab tidak boleh mengandung
penyakit diskriminasi. Karena itu, dalam hukum dikenal asas lex non distinguitur nos non distinguere
debemus--hukum tidak membedakan dan karena itu kita tidak harus membedakan.
Pasal 8 ayat (1) telah melanggar asas hukum yang berlaku universal. Dengan
demikian, jelas bahwa ketentuan privilese yang diberikan Pasal 8 ayat (1)
kepada partai parlemen bertentangan dengan HAM yang diatur dalam berbagai
konvensi internasional mengenai HAM dan Konstitusi UUD 1945.
Varian penyakit demokrasi lain dalam UU Pemilu yang baru adalah
ketentuan Pasal 208 yang menetapkan partai peserta pemilu harus memenuhi ambang
batas perolehan suara sekurang-kurangnya 3,5 persen dari jumlah suara sah
secara nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi DPR, DPRD
provinsi, dan DPRD kabupaten/kota. Dua hal krusial dari ketentuan Pasal 208 itu
adalah (1) keharusan memenuhi ambang batas perolehan suara minimal 3,5 persen
dari jumlah suara sah; (2) batas minimal ini berlaku secara nasional.
Implikasi yuridis dari ketentuan Pasal 208 itu dirumuskan dalam
Pasal 209 ayat (1) yang menentukan bahwa parpol peserta pemilu yang tidak
memenuhi ambang batas perolehan suara, sebagaimana dimaksud Pasal 208, tidak
disertakan pada penghitungan perolehan kursi DPR, DPRD provinsi, dan DPRD
kabupaten/kota di setiap daerah pemilihan. Akibat hukum dari ketentuan Pasal
208 juncto Pasal 209 ayat (1) ini jelas merugikan hak politik partai
bersangkutan maupun rakyat pemilih. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar