Rabu, 30 Mei 2012

Konsistensi Kebijakan Pembangunan


Konsistensi Kebijakan Pembangunan
Anton A Setyawan ; Kepala Pusat Studi Penelitian dan Pengembangan Manajemen dan Bisnis (PPMB) Fakultas Ekonomi Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS)
SUMBER :  SUARA MERDEKA, 30 Mei 2012


TANGGAL 21 Mei lalu, menjadi hari bersejarah bagi rakyat Indonesia karena pada tanggal itu berakhir sebuah rezim pemerintahan yang berkuasa paling lama dalam sejarah negara ini. Rezim Orde Baru yang dipimpin Presiden Soeharto pada tanggal itu tahun 1998 harus mengakhiri 32 tahun kekuasaannya karena tekanan politik.

Pada tahun-tahun awal peringatan kejatuhan Orba, masyarakat mencaci-maki peninggalan rezim itu. Semua yang dianggap warisan Orba dianggap buruk. Kini, KKN yang menjadi penyakit utama juga ditangani meskipun dengan berbagai kelemahan.

 Artinya, setelah masa rezim Orde Baru ada perbaikan dari sisi politik dan demokrasi. Namun masyarakat memersepsikan kesejahteraan ekonomi mengalami penurunan.
Kondisi perekonomian Indonesia dengan pertumbuhan rata-rata 5,5-6% per tahun belum mampu menyamai rata-rata pertumbuhan ekonomi pada masa Orde Baru sebesar 7% per tahun.  Iklim bisnis kondusif dan kondisi penuh kepastian yang diperlukan dalam bisnis adalah sebuah kondisi umum di masa Orba.

Konsistensi dan Berani

Kondisi seperti itulah yang sekarang ”dirindukan” sebagian masyarakat. Bahkan ada parpol baru menggunakan simbol Orba menampilkan foto Pak Harto sedang tersenyum, dengan teks, ”Piye kabare? Isih penak jamanku biyen to?” (Bagaimana kabarnya? Masih enak zaman saya dulu kan?-Red)

Salah satu warisan Orde Baru yang sebenarnya layak dipertahankan adalah kemampuan pemerintah menyusun perencanaan pembangunan dan konsisten melaksanakannya. Kebijakan pembangunan ekonomi diarsiteki oleh Prof Widjojo Nitisastro dibantu ekonom antara lain Dr Ali Wardhana, Prof Sadli, dan Prof Emil Salim. Pada masa Orba perencanaan pembangunan dilakukan melalui beberapa tahapan. Kebijakan pembangunan ekonomi yang sangat baik pada ranah konsep tidak ada artinya tanpa konsistensi dalam pelaksanaannya.

Selain itu, keberanian menempuh kebijakan yang tidak populer pada kondisi kritis juga menjadi kunci sukses sebuah pembangunan ekonomi. Dua hal ini yang tidak kita temui pada pemerintahan setelah Soeharto.
Proses demokratisasi menyebabkan pemegang kekuasaan tidak hanya pada pemerintah tetapi juga semua elite politik, dengan embel-embel kepentingan jangka pendek mereka. Akibatnya, kebijakan pembangunan ekonomi juga dilakukan dengan mendasarkan kepentingan politik jangka pendek dalam rangka mencari atau mempertahankan kekuasaan.

Formulasi sebuah kebijakan ekonomi seharusnya ditentukan berdasarkan kerangka pembangunan jangka panjang. Perbedaan partai politik dengan agenda kepentingan jangka pendek mereka menyebabkan penguasa tidak pernah konsisten melaksanakan kebijakan pembangunan jangka panjang.

Seandainya pemerintah saat ini menyusun sebuah rencana pembangunan jangka panjang, apakah kita mendapat jaminan bahwa pemerintah penggantinya yang mungkin saja berasal dari partai berbeda, bersedia melanjutkan kebijakan tersebut? Kerumitan ini masih ditambah perencanaan pembangunan di level pemerintah daerah yang belum tentu konsisten dengan perencanaan jangka panjang pembangunan nasional karena terdistori oleh kepentingan elite politik daerah.

Peringatan 14 tahun kejatuhan Orde Baru  seharusnya memberikan kesadaran baru bagi kita bahwa ada beberapa hal yang bisa kita pelajari dari rezim itu, khususnya konsistensi pelaksanaan kebijakan pembangunan. Pertanyaannya apakah kita cukup bijak untuk belajar dari Orde Baru?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar