Kamis, 31 Mei 2012

Politik Migas Bung Karno


Politik Migas Bung Karno
Dewi Aryani ; Anggota Komisi 7 DPR RI Fraksi PDI Perjuangan; Ketua PP ISNU Bidang Pertambangan dan Energi; Kandidat Doktor Kebijakan Energi Universitas Indonesia 
SUMBER :  SINDO, 31 Mei 2012


Seiring berkembangnya negara bangsa ini,konsep demokrasi yang lahir dan dibawa dari gagasan reformasi 1998 justru menjadi senjata yang melemahkan bangsa ini karena tidak diiringi oleh law enforcement dan kemandirian ekonomi yang kokoh.
Demokrasi cenderung memberi tempat bagi kekuatan modal, ketimbang kekuatan kapasitas manusia, sehingga penegakan hak asasi manusia (HAM) terkadang justru berat sebelah. Rapuhnya fungsi reformasi tidak hanya berpengaruh pada sistem politik, ekonomi, dan sosial, tapi juga berpengaruh pada salah satu subsistem utama yang mendukung pembangunan nasional yaitu energi.

Reformasi atas sistem keenergian Indonesia belum dijalankan sepenuh hati oleh Pemerintah Indonesia. Selama berpuluh- puluh tahun lamanya energi belum dipandang sebagai suatu hal yang strategis dan fundamental atas fungsinya yang sangat esensial dalam kehidupan.Namun, keberadaannya semakin terbatas. Sebaliknya, energi masih dipandang sebagai komoditas yang menyokong sebagian besar pendapatan negara melalui ekspor minyak bumi,gas alam, batu bara, dan sebagainya.

Indonesia adalah salah satu negara yang memiliki potensi sumber energi yang cukup besar dan beragam di dunia. Bayangkan,menurut data yang dirilis oleh Kementerian ESDM, potensi energi fosil Indonesia, yaitu minyak bumi mencapai 8,2 miliar barel, gas bumi mencapai 170 TSCF, dan batu bara mencapai 21 miliar ton. Tidak hanya sumber energi fosil, Indonesia juga memiliki sumber energi nonfosil yang besar seperti sumber daya panas bumi dengan potensi cadangan 28 giga watt (GW), tenaga air dengan potensi 75 GW, mineral cadangan nikel 627 juta ton, dan sebagainya.

Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 telah mengamanahkan bahwa seluruh potensi dan kekayaan alam yang dimiliki Indonesia merupakan amanah dan tanggung jawab pemerintah yang harus dijaga kelestariannya dan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk menciptakan kesejahteraan bagi rakyat Indonesia. Namun, pada kenyataannya saat ini pengelolaan sumber energi Indonesia, khususnya minyak dan gas (migas), belum lepas dari cengkeraman berbagai pihak asing.

Padahal, pemenuhan kebutuhan energi domestik seringkali tidak mencapai kondisi kecukupan, yang jika dibiarkan, tentu akan menghambat proses pembangunan. Kondisi ini kemudian semakin diperparah melalui penetapan UU No 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi yang sangat kental dengan aroma campur tangan asing. UU tersebut dianggap berseberangan dengan UUD 1945 karena membuka kesempatan penguasaan asing atas potensi migas Indonesia, namun di satu sisi mengerdilkan peran negara atas pengelolaan pemanfaatan industri migas nasional.

Cita-Cita Founding Father

Apa yang terjadi saat ini terhadap sistem energi Indonesia memang sangat bertentangan dengan semangat dan cita-cita The Founding Father bangsa Indonesia, Bung Karno. Di era Orde Lama, Bung Karno dengan tegas menolak campur tangan asing dalam sistem pengelolaan energi Indonesia, khususnya migas. Bung Karno tegas menyatakan bahwa kedaulatan, termasuk kedaulatan atas energi, adalah mutlak harus dimiliki oleh bangsa Indonesia. Ide atas kedaulatan ini juga telah menjadi ide pokok dan gagasan Bung Karno atas konsep sebuah negara yang dituangkannya dalam pidato Tri Saktinya.

Menurut Bung Karno, sebuah negara harus memenuhi tiga hal yaitu; pertama, berdaulat secara politik; kedua, berkepribadian secara sosial dan budaya; dan ketiga, berdikari dalam ekonomi. Gagasan Tri Sakti Bung Karno ini kemudian diejawantahkan oleh dirinya sendiri pada berbagai kebijakan dalam pemerintahannya di masa Orde Lama. Salah satunya kebijakannya dalam mengelola sistem energi Indonesia.

Bung Karno menyadari bahwa Indonesia memiliki potensi sumber daya energi yang cukup besar. Karena itu, pemanfaatannya tidak boleh sampai jatuh ke tangan asing dan memperkaya diri mereka seperti yang telah terjadi pada Indonesia di masa kolonial lalu. Terdapat beberapa kebijakan terkait energi yang pada waktu itu dikeluarkan oleh Bung Karno. Pertama, menciptakan Undang-Undang No 44 Tahun 1960 tentang Pertambangan Minyak dan Gas (Migas) sebagai payung hukum yang menaungi pengelolaan migas Indonesia.

Nuansa nasionalisme dan kedaulatan negara sangat kental dalam undang-undang tersebut. Hal ini terlihat dari beberapa ketentuan di dalamnya seperti: penentuan bahwa kuasa pertambangan beralih dari perusahaan minyak asing kepada negara, pembentukan tiga perusahaan negara bidang migas, ketentuan bahwa investor asing hanya berperan sebagai kontraktor perusahaan negara, dan ketentuan pajak dan royalti yang harus dibayar investor kepada Indonesia.

Kedua, melakukan nasionalisasi seluruh perusahaan minyak, gas, dan listrik yang dikuasai Belanda dan mengambil alih atas kuasanya. Ketiga, membatalkan kuasa pertambangan minyak yang dimiliki beberapa perusahaan asing,dan melakukan nasionalisasi pada industri minyak Indonesia. Keempat, mengambil alih kegiatan hilir migas seperti distribusi, dan suplai kepada masyarakat.

Kelima, menciptakan jenis kontrak kerja sama baru yang diberi nama Kontrak Produksi Sharing (KPS) yang menekankan peran investor sebagai kontraktor perusahaan negara dan memiliki hak atas keuntungan produksi,namun di satu sisi memiliki kewajiban pemenuhan kebutuhan energi nasional sebagai yang utama. Kendati demikian,pe angan Bung Karno dalam memperjuangkan kedaulatan energi bangsa Indonesia tidak menempuh jalan yang mudah.

Bung Karno harus menghadapi berbagai tekanan asing kepada Indonesia atas sikap teguh dirinya untuk menolak campur tangan asing yang besar. Keinginan Bung Karno untuk mengambil alih kuasa pertambangan migas harus terganjal oleh Belanda yang belum mau melepas penguasaan daerah konsesi yang telah diatur dalam hukum internasional. Bung Karno harus menghadapi situasi alot karena berhadapan secara langsung dengan berbagai bangsa yang menolak keputusan Bung Karno mengambil alih kuasa pertambangan. Akhirnya perjuangan tersebut dapat diwujudkan di Jepang melalui Tokyo Agreement yang memutuskan status perusahaan asing yang ada pada saat itu sebagai kontraktor perusahaan negara.

Setengah Hati

Perjuangan untuk mewujudkan kedaulatan negara memang bukanlah perjuangan yang mudah, namun bukanlah sebuah hal yang utopis untuk diwujudkan. Bung Karno sangat yakin dan percaya bahwa Indonesia akan menjadi negara yang besar dan berjaya jika kedaulatan terus diperjuangkan oleh bangsanya. Sayangnya, gagasan dan tindakan Bung Karno dalam memperjuangkan kedaulatan Indonesia sampai saat ini masih belum mampu dilaksanakan secara menyeluruh oleh para pemimpin setelahnya.

Pelaksanaan gagasan tersebut masih setengah hati. Iming-iming asing yang besar dan menggiurkan terkadang membuat para pemimpin bangsa ini tidak lagi teguh dan berkomitmen menciptakan kedaulatan energi Indonesia. Kebijakan pengembangan energi terbarukan yang telah dirintis Bung Karno pun setengah hati diteruskan oleh para pemimpin berikutnya. Lifestyle masyarakat Indonesia saat ini cenderung boros dan tidak efisien dalam pemakaian energi.

Akumulasi kondisi tersebut tentu semakin menyudutkan posisi energi Indonesia untuk menciptakan ketahanan energi (energy security) yang mampu memberikan jaminan atas pasokan energi Indonesia di masa yang akan datang. Kondisi tersebut tentu akan menghambat proses pembangunan berkelanjutan yang saat ini menjadi topik dan komitmen negara-negara di dunia. Kondisi seperti ini harus segera diatasi oleh Pemerintah Indonesia salah satunya dengan rekomitmen dan realisasi reformasi energi Indonesia.

Reformasi energi Indonesia tidak akan dapat berhasil jika hanya sekedar retorika untuk mencari popularitas dari rakyat. Reformasi energi Indonesia harus direalisasikan secepatnya melalui penataan berbagai kebijakan dan kelembagaan energi. Bangsa Indonesia harus kembali kepada seruan Bung Karno atas kedaulatan sebuah negara. Kedaulatan ini tidak hanya terkait kedaulatan atas energi, tapi juga kedaulatan atas penguasaan pangan dan air.

Energi, pangan, dan air adalah modal yang harus dimiliki dan dikuasai oleh Indonesia dalam proses pembangunan. Dengan ketiganya, proses pembangunan Indonesia akan berjalan cepat dan konsisten. Jika hal tersebut terjadi, cita-cita Bung Karno untuk mengokohkan Indonesia sebagai bangsa yang beradab akan semakin tercapai. Juni sebagai bulan kelahiran Bung Karno ini harus menjadi momentum bagi seluruh bangsa Indonesia untuk menguatkan kembali nasionalisme kebangsaan yang lambat laun mulai luntur dan tergerus budaya asing.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar