Merindukan
Toleransi
Marwan Ja’far ; Anggota Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa DPR RI,
Ketua Dewan Pembina Laskar Ahlussunah wal Jama'ah (Aswaja)
SUMBER : REPUBLIKA,
31 Mei 2012
Hingga
kini, kita masih kerap disuguhi adegan penggerebekan dan penggusuran. Kisruh
pem bangunan tempat ibadah menjadi satu contoh adanya afinitas antarpemeluk
agama. Banyak yang melihat bahwa salah satu sumbu pemicu kerap terjadinya
ketegangan antarumat beragama adalah Peraturan Bersama Menteri Agama dan
Menteri Dalam Negeri tentang Izin Pembangunan Rumah Ibadah. Padahal, tugas
pemerintah adalah menjamin kebebasan umat beragama untuk beribadah.
Agaknya
ada sesuatu yang “tidak beres“ di negeri ini menyangkut jaminan keselamatan
warga negara dan semangat tenggang rasa dalam ranah keagamaan. Aksi main larang
dan penggerebekan sering memancang atas nama agama.
Ada
dugaan toleransi antarumat beragama belakangan mulai meluntur. Angka perusakan rumah ibadah dan tindakan anarkistis antarumat beragama
meningkat. Mengapa konflik sejenis itu masih terjadi di negeri yang majemuk
ini? Kita tahu bahwa negara kita adalah negara hukum. Konstitusi menjamin
kepada setiap warga negara untuk memeluk dan beribadah menurut agama
kepercayaannya.
Keberagaman
agama dan tempat ibadah merupakan kehendak Tuhan untuk menciptakan keseimbangan
hidup manusia di bumi. Keseimbangan itu harus tercipta agar masyarakat menjadi
dinamis dan mampu berkembang. Alquran surah al-Hajj ayat 40 menyatakan bahwa
gereja, sinagog, masjid, dan rumah ibadah lainnya merupakan tempat banyak orang
mengagungkan dan membesarkan nama Tuhan.
Untuk
menjaga keseimbangan, ini bertemali dengan keadilan. Penegakan keadilan dan
penghapusan segala bentuk ketidakadilan sesungguhnya telah ditekankan Islam
dalam Alquran sebagai misi utama para nabi (al-Hadid:25).
Madjid
Khaduri dalam The Islamic Conception of
Justice (1984) mengungkapkan, tidak kurang dari seratus ungkapan yang
berbeda redaksinya dalam Alquran mengandung makna keadilan, baik secara
langsung seperti ungkapan `adl, qisth,
mizan, maupun dalam berbagai bentuk redaksi yang menyiratkan secara
implisit. Terdapat lebih dari 200 peringatan dalam Alquran yang menentang
ketidakadilan, seperti dzulm, itsmun,
ataupun dhaallun.
Tak
heran, Ibnu Taimiyah dalam al-Hisbah fi
al-Islam (1967) menyatakan bahwa negara yang adil meskipun kafir lebih
disukai Allah daripada negara tidak adil meskipun beriman. Dan, dunia akan
dapat bertahan dengan keadilan meskipun tidak beriman, tetapi tidak akan
bertahan dengan ketidakadilan meskipun Islam. Ketidakadilan dan Islam tidak
bisa bersenyawa tanpa salah satu harus dihapuskan atau dilemahkan.
Nabi
Muhammad pun banyak menyajikan teladan. Misalnya, ketika mendengar ada penduduk
Madinah beragama Yahudi terbunuh, Nabi Muhammad segera memobilisasi dana
masyarakat untuk diberikan kepada pihak keluarganya.
Nabi
Muhammad menegaskan, pentingnya menjaga kesatuan semua manusia tanpa memandang
agama, suku, dan atribut primordial lain. Semua manusia merupakan ciptaan
Tuhan, maka pembunuhan, gangguan, atau perusakan terhadap manusia dan harta
miliknya merupakan penghinaan terhadap penciptaan Allah.
Rekonstruksi
Bila
kita telusuri konsep hubungan Muslim dan non-Muslim pada masa klasik lebih
didasarkan pada hukum perjanjian perlindungan. Di sini, lalu lahirlah istilah ahl al-dzhimma. Dalam perjanjian
tersebut, ahl al-dzhimma wajib
membayar pajak (jizyah) sebagai substitusi untuk melindungi mereka.
Al-Shaybani
dalam al-Siyar al-Kabir menjelaskan
bahwa larangan membangun gereja baru hanya berlaku apabila kaum Muslimin
merupakan mayoritas di wilayah tersebut. Alasannya, di daerah itu, kaum
Muslimin melakukan ibadah shalat Jumat dan Idul Fitri serta hukum hudud
diberlakukan.
Mengizinkan
mereka membangun gereja berarti memperlemah dan melawan kaum Muslimin secara
formal. Namun, bila mereka mayoritas sehingga shalat Jumat dan hukum hudud
tidak diberlakukan, mereka tidak dilarang membangun gereja baru.
Menurut
al-Sarakhsi dalam al-Mabsuth, para
ahli fikih klasik ada yang berpendapat bahwa ahl al-dzhimma tidak dilarang sama sekali membangun gereja baru di
desa. Sebab, adanya larangan didasarkan pada alasan (illat) bahwa kota merupakan tempat munculnya simbol-simbol Islam,
seperti shalat Jumat, Idul Fitri, dan hukum hudud.
Menarik
dicatat, pandangan fikih klasik tersebut menunjukkan, betapa pun para ahli
fikih klasik mengakui keberadaan agama lain, mereka cenderung menempatkan agama
lain dalam kedudukan inferior dan dalam konteks kondisi perang. Kecuali bagi ahl al-dzimma yang berkewajiban membayar
pajak sebagai pengganti perang.
Pandangan
fikih klasik pada dasarnya dilatari berbagai faktor. Pertama, secara historis,
pengaruh-pengaruh kumulatif sebagai akibat pertentangan antara Muslim dan
non-Muslim (terutama dengan umat Kristiani) telah menciptakan sikap dan
perilaku superioritas terhadap yang lain.
Kedua,
mode berpikir atomistik yang mendominasi kebudayaan Islam masa lampau telah
mengadang para ahli fikih klasik untuk melakukan kontekstualisasi atas teks.
Para ahli fikih klasik masih sangat terwarnai oleh teologi superior.
Ketiga,
pada umumnya sebuah sistem nilai yang normatif entah itu agama atau ideologi
tak dapat mengelakkan sumber yang bersifat eksklusif. Setiap sistem normatif
menuntut komitmen pada pengikutnya dan memberikan sanksi bagi pembangkangan
terhadap doktrin. Dasar komitmen itu adalah keyakinan bahwa ketaatan terhadap
sistem akan membawa pada keuntungan moral dan material yang tak dapat dicapai
tanpa menaati sistem normatif.
Kita
perlu kembali pada prinsip umum ajaran Islam (maqhashid al-syari'ah) tentang eksistensi agama lain, yakni
pengakuan terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan keabsahan de facto dan de jure
sebagai bagian integral dari sebuah komunitas. Hubungan Muslim dengan pemeluk
agama lain wajib dipandang sebagai anggota yang memiliki tanggung jawab
terhadap keutuhan komunitas. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar