“Operasi Plastik” Birokrasi
Ikhsan Darmawan; Pengajar Departemen Ilmu Politik, FISIP UI
SUMBER : KOMPAS, 08
Mei 2012
Gerald Caiden (1991) pernah mengungkapkan
bahwa reformasi sistem administrasi —termasuk reformasi birokrasi—tidak pernah
mencapai inti permasalahan, tetapi hanya formalitas semata. Tak hanya itu,
reformasi tersebut juga tidak cukup luas dan mendalam.
Pendapat Caiden itu masih relevan sampai saat
ini. Pemerintah sedang giat menggembar-gemborkan bahwa reformasi birokrasi
merupakan prioritas pertama dari 11 prioritas pembangunan 2010-2014. Penempatan
reformasi birokrasi sebagai prioritas pertama menyiratkan, keberhasilan 10
program lainnya amat bergantung pada keberhasilan reformasi birokrasi.
Sebagai landasan hukum, dikeluarkan sejumlah
kebijakan, yaitu Peraturan Presiden Nomor 81 Tahun 2010 tentang Grand Design
Reformasi Birokrasi 2010-2025 dan Keputusan Presiden Nomor 14 Tahun 2010
tentang Pembentukan Komite Pengarah Reformasi Birokrasi Nasional. Tak hanya
itu, untuk mengatur di tataran teknis, Kementerian Pendayagunaan Aparatur
Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN dan RB) mengeluarkan Peraturan Menteri
Nomor 10 Tahun 2010 tentang Road Map Reformasi Birokrasi 2010-2014 serta
sembilan peraturan lain. Sebutlah soal penataan jumlah dan distribusi PNS.
Di samping itu, pada Agustus 2011 telah
dikeluarkan pula kebijakan moratorium (penundaan sementara) penerimaan calon
PNS. Peraturan itu berlaku mulai 1 September 2011 sampai 31 Desember 2012.
Sampai di sini kelihatannya pemerintah serius
mengurus reformasi birokrasi. Namun, fakta bicara sebaliknya. Program penataan
jumlah PNS justru diwujudkan dengan bertambahnya jumlah PNS. Meski data di
Kementerian PAN dan RB menyebutkan pertumbuhan PNS cenderung turun, jumlah PNS
setiap tahun selalu bertambah. Sampai 2011, jumlah PNS mencapai 4.646.351 orang
atau naik dari sebelumnya 4.598.100 orang.
Begitu juga belanja pegawai. Di tingkat
pusat, tahun ini belanja pegawai lebih dari Rp 212 miliar dari Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara senilai lebih dari Rp 1.500 triliun. Belanja
pegawai itu belum termasuk biaya perjalanan dinas yang berkisar Rp 18 triliun
serta biaya fasilitas, seperti rumah dinas dan mobil.
Di daerah, belanja pegawai menyedot Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah. Rata-rata Di daerah, belanja pegawai menyedot
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Rata-rata belanja pegawai 51 persen
dari APBD kabupaten/kota di Indonesia. Sebanyak 293 (61 persen) dari 497
kabupaten/kota menghabiskan lebih dari 50 persen APBD untuk belanja pegawai.
Bahkan, ada daerah yang menggunakan 77 persen APBD untuk gaji dan honor
(Kompas,3/5).
Sebab
Wajah buruk reformasi birokrasi tak bisa
dilepaskan dari setidaknya tiga sebab. Pertama, reformasi birokrasi dimaknai
secara sempit, misalnya diartikan secara sederhana dengan remunerasi birokrasi.
Kebijakan remunerasi birokrasi diklaim berko relasi positif dengan peningkatan
kemampuan pelayanan para birokrat.
Padahal, remunerasi birokrasi tidak selalu
otomatis berbanding lurus dengan moncernya kinerja birokrasi melayani masyarakat.
Selain itu, reformasi birokrasi mesti diterjemahkan secara lebih komprehensif.
Reformasi birokrasi harus meliputi perubahan sistem politik dan hukum secara
menyeluruh, perubahan sikap mental dan budaya birokrat dan masyarakat, serta
perubahan pola pikir pemerintah dan partai politik (Prasojo dan Kurniawan,
2008).
Kedua, kecenderungan pergantian kebijakan
dari satu pemimpin ke pemimpin lain. Pengalaman menunjukkan, ada kecenderungan
kebijakan penataan birokrasi berubah setiap berganti pemimpin (Dwiyanto, 2011).
Misalnya, konsep zero growth pada
masa Menteri PAN dan RB Feisal Tamin digunakan untuk mengendalikan jumlah
pegawai negeri sipil menjadi jungkir balik ketika ia diganti. Taufik Effendi
sebagai penggantinya membuat kebijakan pengangkatan pegawai honorer, baik guru
maupun non-guru, menjadi PNS.
Ketiga, ketidaksinkronan dengan kebijakan
lain. Kebijakan reformasi birokrasi yang sampai di tingkat daerah hendaknya
juga sejalan dengan kebijakan otonomi daerah. Salah satunya adalah kebijakan
penataan daerah.
Pada praktiknya, kebijakan penataan daerah
sering dimaknai hanya sebagai pemekaran daerah. Dan, pemekaran daerah berarti
membutuhkan bukan hanya perangkat utama pemerintah daerah, seperti kepala
daerah dan DPRD, melainkan juga birokrasi yang mendukung. Artinya, kebijakan
otonomi daerah juga dapat tidak kompak dengan kebijakan merampingkan birokrasi.
Akhirnya, hendaknya pemerintah perlu
memikirkan ulang persoalan kebijakan reformasi birokrasi dan implementasinya.
Tujuannya tak lain agar reformasi birokrasi jangan sampai hanya sebatas
”operasi plastik” birokrasi yang hanya memperbaiki bagian-bagian terluar dari
birokrasi yang ada. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar