Gubernur
Berani Hidup
SM Doloksaribu ; Dosen dan Ketua Lembaga Penelitian, Pengabdian
kepada Masyarakat dan Pengembangan Bisnis Universitas Kristen Indonesia,
Jakarta
SUMBER : KORAN
TEMPO, 30 Mei 2012
Sumber daya alam kita, seperti udara, air, makanan,
materi, dan energi, sepenuhnya diambil serta digali dari alam, dan kemurahan
alam secara umum memenuhi kebutuhan itu dengan baik. Apa yang menjadi soal
dalam berkebutuhan itu? Manusia dalam hampir semua hal tidak memiliki prioritas
yang baik atas jenjang kebutuhannya. Kita memahami bahwa udara yang absolut
harus ada setiap detik, dan kalau tidak ada, kita mati dalam ukuran menit.
Tapi, karena udara dianggap tersedia secara cuma-cuma, kita tidak pernah peduli
terhadap keadaannya. Karena kita merasa lebih penting berkendara lebih cepat,
aman, dan nyaman dibanding udara yang bersih serta sehat, kecenderungannya
adalah semua tidak peduli terhadap pencemaran udara.
Kebijakan publik kita lebih memilih
menumbuhkan kendaraan pribadi daripada menyediakan angkutan umum yang baik,
aman, teratur, dan sedikit nyaman. Jakarta mencoba memulai infrastruktur
kendaraan umum yang lebih masif, sayang tidak sepenuh hati. Jaringan bus
Transjakarta dengan lajur khusus (busway)-nya sudah memakan badan jalan,
tapi tanpa armada yang cukup dan sangat tidak memadai. Pelayanannya bahkan
tidak memiliki jadwal, dan lebih sulit lagi, frekuensinya tidak memadai. Kalau
bus lewat, apalagi pada jam puncak hariannya, pagi dan sore, bus kelihatan
penuh sesak tidak manusiawi. Sementara itu, Pemerintah Provinsi DKI sibuk
memikirkan pembangunan jalan layang, yang sesungguhnya bukanlah jalan keluar
terbaik untuk mengatasi kemacetan dan pencemaran udara Jakarta.
Di banyak kota besar di dunia, ide membangun
jalan layang di dalam kota dianggap semakin tidak bersahabat dan merusak karena
dua hal. Pertama, separasi bagian kota, yang sebelumnya masyarakat dapat
berkomunikasi dengan jaringan jalan yang ada, menjadi terbelah, karena jalan
layang menjadikan masyarakat secara sosial terbagi. Kedua, yang lebih dahsyat,
terjadi penyebaran cemaran udara sepanjang jalan dengan jarak sebar yang lebih
luas. Sebaran ini akan memperburuk lingkungan kota. Wajah kota yang sudah kusam
akan semakin buram dengan kehadiran jalan layang.
Dalam luas yang sama, penambahan ruas jalan
ke atas dan ke dalam tanah secara teknis bisa saja dilakukan, tapi dampak
sosial dan lingkungannya membuat kota lebih suram. Bahaya pencemaran udara di
permukiman kiri-kanan jalan layang semakin nyata. Jika panjang jalan bertambah
dengan kehadiran jalan layang, tidak otomatis memperbaiki daya tampung alir
jalan secara keseluruhan, karena daya tampung alir memerlukan penataan lain.
Kemacetan tidak hanya terjadi karena fungsi panjang jalan, tapi faktor
perlambatan dalam mengalirkan kendaraan sepanjang jalan lebih menentukan.
Persimpangan, penyempitan jalan, dan kondisi
permukaan jalan yang tidak baik atau rusak menjadi masalah yang sangat nyata di
Jakarta. Disiplin pengendara yang buruk sering berujung kecelakaan. Perhatikan
lalu lintas di jalan tol lingkar dalam yang sering macet. Kata orang, bebas
hambatan, tapi tidak bebas macet. Ini salah hitung jumlah kendaraan, panjang
jalan, kecepatan kendaraan, percepatan dan perlambatan, kondisi jalan,
persimpangan, penyempitan, serta faktor lain.
Kebijakan menambah ruas jalan, terutama
dengan membangun jalan layang baru, jalan terowongan, dan pelebaran jalan,
adalah kebijakan publik yang mendorong konsumsi kendaraan lebih jauh atau
menambah jumlah kendaraan pribadi. Kebijakan ini tidak menambah daya alir jalan
secara nyata. Konsumsi kendaraan pribadi yang lebih banyak akan memberi dampak
sosial dan lingkungan yang tidak mendukung kehidupan warga yang lebih baik.
Kebijakan ini patut diuji kebenaran serta keakuratannya dalam mengurangi
kemacetan, dan tentu saja mengurangi pencemaran udara. Kalau terbukti tidak
memecahkan masalah kemacetan dan pencemaran udara, hentikan program mahal ini
serta beralihlah ke program yang lebih konsepsional hulu-hilir sistem
transportasi Jakarta.
Kebijakan Prokehidupan
Jakarta, yang berstatus kota dengan kondisi
udara terburuk nomor 3 di dunia, saatnya berbenah. Dalam kesempatan pemilihan
umum kepala daerah sekarang, calon pemimpin Jakarta hingga beberapa periode
mendatang diharuskan memiliki kemauan yang jelas dan kuat terkait dengan mutu
udara Jakarta. Udara Jakarta tidak mungkin disulap dengan berbagai tindakan
yang bersifat tambal sulam. Dibutuhkan rencana yang matang dan baik, yang
diikuti dengan regulasi, pelaksanaan, serta aksi yang baik dan konsisten, tidak
mudah berubah hanya karena bisnis perizinan. Ini jauh lebih penting daripada
pemerintah provinsi sekadar mempunyai banyak uang dari pajak kendaraan
bermotor, tapi warga mengalami kesulitan hidup, menghadapi masalah kemacetan,
dan menghirup udara kotor.
Entah dia ahli, entah setengah ahli, atau
sama sekali tidak memiliki keahlian tentang kota, pastikan pemimpin DKI Jakarta
yang akan datang adalah mereka yang berani memulai, secara sederhana memahami
jenjang kebutuhan manusia, dan bergeraklah dari situ ke arah penentuan
prioritas kebijakan publik yang dibutuhkan untuk kehidupan warga. Aksi dan
tindakan berikutnya tentulah mengajak warga memahami kebutuhan dan jenjang
kebutuhan itu, hingga mereka ada dalam gerak, aksi, dan tindakan menyehatkan
untuk menghidupkan Jakarta. Janji membenahi Jakarta saja tidak memadai.
Sungguh dibutuhkan gubernur yang berani
hidup. Gubernur yang mau menata kota dan kawasan, serta distribusi peruntukan
permukiman, perdagangan, industri, dan lain-lain, dengan transportasi yang baik
dan jelas memiliki sistem, tidak sangat parsial seperti sekarang. Jakarta tidak
dapat hidup sendiri dengan kondisi Jabodetabek. Hulu dari semua ini tentulah
pembangunan ekonomi yang mengundang pertumbuhan penduduk yang tidak terkendali.
Jika sekitar 2 juta komuter, orang yang lalu-lalang dari kawasan sekitar,
dipaksa sistem berkendaraan pribadi mobil atau sepeda motor, ditambah dengan
kendaraan pribadi yang sudah ada di Jakarta, segera Jakarta akan menjadi kota
mati. Mati karena pencemaran udara yang semakin tinggi, yang tidak memungkinkan
lagi orang hidup sehat. Mati karena gerakan warga menjadi terbengkalai dan
terbatas serta kelelahan setiap hari didera kemacetan.
Untuk menghindari Jakarta menjadi kota mati,
tidak ada pilihan kecuali keberpihakan kepada warga. Warga ditempatkan pada
prioritas utama sebagai subyek pembangunan. Sekali lagi, bukan kas daerah yang
harus diutamakan menjadi segemuk-gemuknya, melainkan perbaikan kualitas udara
Jakarta saat ini dan mendatang, bukan sekadar tambal sulam, dan menata metabolisme
Jakarta bersama pemerintah daerah Jabodetabek, serta menata aliran pertukaran
manusia, materi, energi, jasa, dan limbah keluar-masuk kawasan. Hanya dengan
upaya seperti itu, Jakarta masih mempunyai peluang hidup, dan kurang dari itu,
akan mati. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar