Perlukah
Pemerintah Menambah Utang?
A
Tony Prasetiantono ; Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik,
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
SUMBER
: KOMPAS,
28 Mei 2012
Dalam banyak kasus krisis ekonomi di sejumlah
negara, faktor utang menjadi penyebab yang paling krusial. Kali ini Yunani yang
terkena. Akumulasi utang pemerintahnya bahkan sudah menyalip produk domestik
brutonya, dengan rasio 160 persen. Tahun 1998, Indonesia pernah mengalami
kejadian yang mirip. Namun, rasio utang terhadap produk domestik bruto masih di
bawah 100 persen, belum separah Yunani saat ini.
Perbedaan kasus Yunani (2012) dan Indonesia
(1998) terletak pada upaya penyelamatan ekonomi melalui skema pemberian
talangan (bailout). Yunani segera mendapatkan talangan sekitar 230 miliar
dollar AS dalam dua kali injeksi. Yunani berhak menerima hak istimewa ini
karena statusnya sebagai anggota zona euro.
Sementara pada 1998, Indonesia hanya diberi
injeksi kecil-kecilan oleh Dana Moneter Internasional senilai 1 miliar dollar
AS setiap bulan, melalui mekanisme surat pernyataan kesanggupan (LoI) yang
ribet. Dosis injeksi ini jelas terlalu kecil sehingga pemulihan ekonomi
berjalan amat lambat.
Namun, Yunani punya kompleksitas yang lain.
Negara ini tidak memiliki diskresi untuk mengelola sendiri mata uangnya. Mata
uang euro yang digunakannya (sebelumnya mata uang drachma) tak bisa mengalami depresiasi besar, sebagaimana kebutuhan
suatu negara yang terkena krisis. Padahal, jika mata uang Yunani terdepresiasi,
mereka bisa mendorong ekspor, menekan impor, dan menikmati surplus perdagangan
lebih besar, sebagai pembuka jalan menuju pemulihan ekonomi.
Krisis Yunani belum ketahuan ujungnya. Apakah
Yunani bisa diselamatkan dengan cara keluar dari zona euro? Ataukah tetap di
zona euro, tetapi Jerman dan Perancis harus lebih banyak menguras dana untuk
menolongnya? Keduanya sama-sama berisiko, dan tidak ada yang murah. Apalagi
Yunani bukan satu-satunya pasien. Kini di Eropa muncul terminologi baru
”Grexit” (Greece exit), ”Porxit”,
”Spaxit”, dan ”Ixit”, yang artinya bukan cuma Yunani yang berpotensi keluar
dari zona euro, melainkan juga Portugal, Spanyol, dan Irlandia yang sama-sama
bermasalah (The Economist, 19-25 Mei
2012).
Di Indonesia, isu utang pemerintah kini
kembali menjadi sorotan. Dibandingkan dengan Yunani, posisi Indonesia saat ini
memang berbeda. Utang Indonesia saat ini Rp 1.903 triliun, sementara produk
domestik bruto (PDB) sekitar Rp 7.500 triliun. Hal ini berarti rasio utang
pemerintah terhadap PDB hanya 25 persen, atau jauh di bawah level Yunani (160
persen). Berarti posisi Indonesia aman dari kriteria ini.
Mari kita coba menganalisis dengan kriteria
lain. Menurut data BI, utang luar negeri kita per Maret 2012 sebesar 228 miliar
dollar AS, yang terdiri dari utang pemerintah dan BI 118 miliar AS serta utang
swasta 110 miliar dollar AS (Kompas, 22 Mei 2012). Sementara itu, cadangan
devisa kita sekarang 110 miliar dollar AS. Posisi ini jauh lebih baik
dibandingkan 1998, ketika cadangan devisa kita hanya 20 miliar dollar AS,
sedangkan akumulasi utang luar negeri 130 miliar dollar AS, yang terdiri dari
65 miliar dollar AS utang pemerintah dan 65 miliar dollar AS utang swasta.
Berdasarkan statistik itu, Indonesia dalam
posisi yang jauh lebih baik dibandingkan saat krisis 1998, serta dibandingkan
Yunani saat ini. Adapun saat krisis subprime mortgage 2008-2009, cadangan
devisa Indonesia baru mencapai 60 miliar dollar AS, berbanding utang pemerintah
85 miliar dollar AS.
Kini pemerintah berencana mendapatkan utang
siaga senilai 5 miliar dollar AS sebagai cadangan bagi pembiayaan defisit
anggaran negara. Dalam keadaan krisis ekonomi, sesungguhnya wajar jika defisit
APBN agak diperlonggar. Untuk ukuran negara selevel Indonesia, dalam kondisi
normal defisit APBN yang ditoleransi adalah 2 persen. Ini merupakan konsensus
para ekonom AS saat menyikapi krisis utang luar negeri di Amerika Latin pada
medio 1980-an, yang kemudian dikenal sebagai Washington Consensus (John
Williamson, The Political Economy of Policy Reform, 1994). Belakangan, para
ekonom dunia memberi kelonggaran defisit menjadi 3 persen terhadap PDB saat
menghadapi krisis.
Alokasi Secara Produktif
Pemerintah merencanakan defisit APBN 2012
sebesar 2,23 persen terhadap PDB. Ini artinya masih dalam batas toleransi yang
direkomendasikan para ekonom dunia. Yang jadi masalah adalah, bagaimana agar
setiap tambahan defisit (baca: tambahan utang pemerintah) benar-benar
dialokasikan secara produktif, jangan sampai salah sasaran.
APBN 2012 terutama ”berdarah-darah” karena
bertambahnya subsidi BBM. Namun, kini, tekanan kenaikan harga minyak cenderung
mereda. Harga minyak Brent yang menjadi patokan harga minyak Indonesia (ICP)
kini 109 dollar AS per barrel. Padahal, harga Brent pernah mencapai 128 dollar
AS pada Maret 2012, sedangkan rekor tertinggi 147 dollar AS (Juli 2008).
Penyebabnya adalah krisis di zona euro diindikasikan semakin berat sehingga
akan tertransmisikan ke seluruh dunia. Akibatnya, permintaan minyak dunia kini
melemah seiring dengan pesimisme penyelesaian krisis Yunani dan zona euro.
Selanjutnya, harga minyak dunia terkoreksi tajam.
Kemungkinan harga minyak naik hanya terletak
pada potensi konflik politik yang terkait dengan proyek nuklir Iran. Namun,
seiring dengan perhatian terhadap krisis ekonomi yang lebih besar daripada
memelihara konflik politik, maka isu Iran pun kini cenderung mengempis.
Skenario ini akan meredakan tekanan terhadap
APBN 2012. Implikasinya, urgensi untuk menarik utang baru 5 miliar dollar AS
menjadi tidak lagi tinggi. Kalaupun komitmen utang baru itu dilaksanakan,
pemerintah harus membelanjakannya untuk kegiatan- kegiatan yang produktif agar
bisa menghasilkan dampak berganda yang tinggi.
Di bawah tekanan eksternal yang besar,
pertahanan terbaik yang bisa kita lakukan adalah terus mendorong stimulus
fiskal. APBN didorong untuk berbelanja lebih banyak. Utang dari Bank
Dunia—sejauh bunganya lebih rendah daripada imbal hasil (yield) obligasi pemerintah di pasar finansial—tidak masalah kita
terima asalkan alokasinya tepat untuk menambah belanja infrastruktur.
Utang bukanlah hal yang tabu asalkan tidak
dibelanjakan secara sembrono seperti Yunani. Atas nama welfare state, pemerintah Yunani terlalu ”royal” memberikan
santunan kepada para penganggur, pensiunan, dan kelompok kurang produktif pada
umumnya. Kebijakan ini semula dianggap baik, tetapi lambat laun menjadi seperti
”ninabobo” yang membuat terlena. Kesalahan inilah yang tidak boleh ditiru oleh
otoritas fiskal kita. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar