Menyongsong
Zaman Baru Mesir
Chusnan Maghribi ; Alumnus Hubungan Internasional FISIP
Universitas
Muhammadiyah Yogyakarta
SUMBER : SUARA
MERDEKA, 29 Mei 2012
"Jika
Mohammed Mursi unggul atas Ahmed Shafiq, makin mantaplah bangsa Mesir menjalani
zaman baru"
PILPRES Mesir menyedot perhatian publik dunia
bukan saja karena pemilu itu bersejarah dan siapa pun pemenangnya dipastikan
menghadapi tantangan berat, baik dalam konteks internal (dalam negeri) maupun
eksternal (luar negeri), melainkan juga karena pilpres putaran pertama
memunculkan kejutan. Mantan Sekjen Liga Arab dan mantan Menlu Amr Mussa,
kandidat independen, yang semula diperkirakan banyak pihak lolos, ternyata
tidak masuk dua besar perolehan suara pemilih.
Posisi dua besar ditempati kandidat dari
Partai Keadilan dan Kemerdekaan (FJP) —sayap politik Ikhwanul Muslimin (IM)— Dr
Mohammed Mursi yang meraup 25,3 persen suara, dan kandidat independen Marsekal
(Purn) Dr Ahmed Shafiq yang meraih 24,9 persen suara, disusul calon independen
lain Dr Abdel Moneim Abol Fotouh, dan Hamdeen Sabahy (SM, 27/05/12). Jika
hingga penghitungan akhir posisi itu tidak berubah, dipastikan Mursi dan Shafiq
lolos ke final pilpres 16-17 Juni mendatang.
Di tengah euforia mayoritas masyarakat Mesir
menikmati era transisi, dari otoriter-diktator ke demokrasi, besar kemungkinan
nanti Mursi mengungguli Shafiq. Terlebih, dalam pemilu parlemen (majelis
rendah) akhir tahun lalu, FJP sudah membuktikan sebagai partai paling populer
karena paling banyak dipilih rakyat. Waktu itu, partai itu meraih 41 persen
dari 498 kursi parlemen.
Probabilitas itu menjadi lebih besar bila
masyarakat muslim Salafi (pendukung Partai Al-Nour yang menduduki 21 persen
kursi parlemen) mengalihkan dukungannya kepada Mursi. Pada putaran pertama,
Salafi mendukung pencalonan Abdel Moneim Abol Fotouh yang menggaet 20 persen
suara.
Rezim
Lama
Namun Mohammed Mursi Issa Al-Ayyat, kelahiran
Al-Sharqiyah, tidak boleh lengah apalagi meremehkan Shafiq. Keberhasilan Shafiq
mendulang perolehan suara pemilih hingga 23 persen harus dibaca sebagai isyarat
masih kuatnya pendukung rezim sekuler. Hal ini mengingat sebagian masyarakat
Mesir masih merindukan rezim Hosni Mubarak, yang selama 30 tahun berkuasa
dianggap bisa memakmurkan kehidupan rakyat, menyusul perekonomian Mesir tak
kunjung membaik setelah 16 bulan menjalani reformasi saat ini (BBC.com).
Mesir di bawah pemerintahan transisi sekarang
mengalami krisis ekonomi serius. Di samping harga barang-barang kebutuhan pokok
masyarakat melambung dan tingkat pengangguran tinggi, negara itu mengalami
krisis finansial. Perbankan di negeri berluas wilayah 997.739 km2 dan kini
berpopulasi sekitar 81 juta jiwa itu terguncang hebat, cadangan devisanya
anjlok dari 36 miliar dolar pada Desember 2010 menjadi 16 miliar dolar AS
(Januari 2012), dan pemerintah sementara di bawah Dewan Agung Militer pimpinan
Jendral Hussein Tantawi mengalami kekurangan fiskal.
Meski Shafiq maju sebagai capres independen,
de facto pria kelahiran Kairo, November 1941 itu representasi kandidat dari
kubu sekuler. Dia bekas mantan pendukung Hosni Mubarak. Setelah menjabat
Komandan Angkatan Udara 1996-2992 dan Menteri Penerbangan Sipil (2002-2010), ia
menjabat perdana menteri sampai ambruknya pemerintahan Partai Nasional Demokrat
(NDP) di bawah Mubarak Februari tahun lalu.
Shafiq maju sebagai capres mendapat dukungan
penuh dari militer yang setia pada sekularisme dan tampaknya tidak menginginkan
IM bersama FJP-nya mengontrol semua lembaga pemerintahan paling berkuasa di
Mesir. Karenanya, pilpres sekarang sejatinya selain menggambarkan
pertarungan antara kubu reformis dan pendukung rezim lama, serta antara
ideologi Islam dan sekuler, juga memperlihatkan perang antara sipil dan
militer.
Pertarungan itu diperkirakan berlangsung
ketat dalam final pilpres pertengahan Juni mendatang. Jika Mohammed Mursi
unggul atas Ahmed Shafiq, makin mantaplah bangsa Mesir menjalani zaman baru. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar