Lupakan
Kasus Soeharto?
Febri Diansyah ; Peneliti Hukum pada Indonesia Corruption Watch
SUMBER : KOMPAS, 31
Mei 2012
Mei 2012 hampir berakhir. Tahun ke-14 setelah
Orde Baru tumbang. Siapa di antara kita yang masih ingat kasus Soeharto? Mantan
Presiden RI yang lolos dari dakwaan korupsi oleh kejaksaan itu dinyatakan tidak
melakukan perbuatan melawan hukum oleh pengadilan hingga Mahkamah Agung.
Jika lembar sejarah dibalik, teriakan yang
paling berkumandang 14 tahun lalu adalah turunkan Soeharto dan berantas KKN.
Hingga akhirnya diterbitkan Tap MPR No XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan
Negara yang Bersih dari KKN.
Jika Tap MPR itu dibaca cermat, seharusnya
kita paham, salah satu amanat penting reformasi ternyata belum dikerjakan
dengan cukup baik. Pasal 3 dan 4 menyebutkan perlunya pemeriksaan kekayaan dan
pemberantasan korupsi secara tegas terhadap pejabat negara, mantan pejabat
negara, keluarga, dan kroninya maupun pihak swasta/konglomerat, termasuk mantan
Presiden Soeharto.
Bandingkan dengan apa yang terjadi di Mesir.
Hosni Mubarak, yang berkuasa 30 tahun di Mesir, dituntut hukuman mati. Dua
putranya pun ditahan dengan tuduhan korupsi saat sang ayah berkuasa. Mubarak
tetap dihadirkan di pengadilan meskipun berada di atas tempat tidur dorong
rumah sakit dan sel berjalan. Sayangnya, fenomena Indonesia belum seujung kuku
pun dibandingkan dengan proses hukum yang terjadi di Mesir atau bahkan
Filipina, Nigeria, dan Peru.
Tiga negara terakhir sempat masuk dalam
daftar Stolen Asset Recovery (StAR)
Inisiatif yang diluncurkan di markas PBB tahun 2007. Menurut StAR, data
perkiraan aset yang diduga diselewengkan pemimpin politik di dunia ”dimenangi”
oleh mantan Presiden Soeharto dengan nilai 15 miliar-35 miliar dollar AS.
Sebuah angka yang masih mencengangkan hingga saat ini. Di tempat berikutnya ada
Ferdinand Marcos (Filipina) senilai 5 miliar-10 miliar dollar AS; Mobutu Sese
Seko (Zaire, 5 miliar dollar AS); Sani Abacha (Nigeria, 2 miliar-5 miliar
dollar AS); dan Slobodan Milosevic (Serbia/Yugoslavia) dengan 1 miliar dollar
AS.
Angka-angka di atas mungkin belum tentu angka
dalam makna pembuktian hukum karena itu masih perlu dikejar dan dibuktikan.
Akan tetapi, keseriusan negara-negara yang asetnya pernah dicuri menjadi sangat
penting.
Beberapa negara, seperti Filipina, memberikan
harapan. Berusaha selama 18 tahun dengan Commision
on Good Government (PCGG), hingga tahun 2004 Filipina berhasil
mengembalikan aset Marcos dari Swiss senilai 624 juta dollar AS. Nigeria,
dengan menyewa kantor hukum profesional Monfrini & Partners, berhasil
merebut aset Sani Abacha sekitar 505,5 juta dollar AS. Bagaimana dengan proses
hukum di Indonesia?
Menggugat Yayasan
Apakah Indonesia pernah mencoba merebut
aset-aset yang ”dicuri” pada zaman Orde Baru? Ya, pernah. Namun, sayang, dakwaan
jaksa tumbang sebelum pembuktian dilakukan. Dengan alasan sakit permanen, hakim
menyatakan tidak menerima.
Gugatan perdata pun tak manjur. Bahkan,
hingga tingkat Mahkamah Agung dosa masa lalu seolah ”dicuci”. Soeharto justru
dinyatakan tidak melanggar hukum. Hanya Yayasan Supersemar, salah satu yayasan
yang dipimpin oleh Soeharto, yang dinyatakan bersalah dan wajib mengganti
kerugian 315 juta dollar AS dan Rp 139,229 miliar.
Jika ditelisik lebih jauh, ternyata salah
satu penyebab hambarnya putusan itu justru karena materi gugatan jaksa
pengacara negara itu sendiri. Soeharto tidak digugat sebagai presiden dengan
dugaan penyalahgunaan kekuasaan selama menjabat, tetapi hanya sebagai ketua
Yayasan Supersemar. Yayasan ini dinilai menyalahgunakan uang yang diberikan
oleh negara.
Sungguh janggal. Apalagi, di sana disebutkan
penerbitan PP No 15/1976 yang jadi asal muasal penyisihan laba bersih bank
pemerintah yang lalu diturunkan melalui Keputusan Menteri Keuangan
333/KMK.011/1978 dianggap sebagai sesuatu yang benar. Dikatakan, ”dalam
mencapai tujuan negara RI, penggugat menerbitkan PP 15/1976”. Artinya, Presiden
RI yang diwakili Jaksa Agung waktu itu membenarkan kebijakan Soeharto. Padahal,
bukan tak mungkin korupsi dilakukan dengan bungkus kebijakan dan aturan
sehingga seolah-olah ia benar secara hukum, tetapi busuk di dalam.
Kemudian, posisi Soeharto sebagai directing mind atau pengendali yayasan
gagal dibuktikan. Artinya, kecil kemungkinan kerugian yang harus diganti
yayasan bisa ditagih kepada Soeharto atau ahli warisnya. Lalu, berlebihankah
jika dikatakan gugatan tersebut justru merupakan gugatan ”memenangkan”
Soeharto?
Kini, 14 tahun telah berlalu. Apa yang bisa
dilakukan? Tindakan konkret terdekat yang bisa dilakukan adalah eksekusi
putusan MA dan menyelamatkan aset senilai 315 juta dollar AS—atau kira-kira Rp
2,9 triliun dalam kurs hari ini—dan Rp 139,229 miliar. Selain itu, kita menagih
janji Jaksa Agung untuk mengajukan gugatan perdata terhadap enam yayasan lain.
Tanpa Kewajiban
Gugatan perdata dilakukan berangkat dari
prinsip untuk pemulihan kerugian keuangan negara, sekaligus cara meluruskan
sejarah. Namun, perlu argumentasi yang lebih kuat untuk membuktikan bahwa
penyalahgunaan kewenangan sesungguhnya terjadi sejak peraturan diterbitkan.
Tantangannya adalah membuktikan bahwa kebijakan dijadikan bungkus untuk
merampok uang rakyat. Mampukah?
Ada sejumlah persoalan hukum yang perlu
didiskusikan, mulai dari kuasa yang dibutuhkan dari Presiden SBY, kedaluwarsa
gugatan perdata 30 tahun, hingga pembuktian adanya indikasi konflik kepentingan
ketika PP dan diturunkan dalam bentuk Keputusan Menteri Keuangan diterbitkan.
Hal ini mengingat Soeharto juga tercatat sebagai ketua dari yayasan yang
menikmati penyisihan laba bersih bank-bank pemerintah tersebut.
Satu diskusi di Yogyakarta dengan Prof
Ismiati Jenie memberikan inspirasi kemungkinan penggunaan ketentuan ”pembayaran
tak terutang” (onverschulddigde betaling)
di KUH-Perdata. Sesuai Pasal 1359 KUH-Perdata, setiap pembayaran yang sudah
dilakukan akan tetapi sesungguhnya tidak ada kewajiban atau utang, semua
pembayaran itu dapat dituntut kembali. Utang di sini tentu saja tak diartikan
secara sempit, tetapi lebih sebagai kewajiban hukum.
Tentu saja konsekuensi pembuktiannya lebih
berat karena penggugat perlu membuktikan bahwa pembayaran yang dilakukan oleh
bank-bank pemerintah, yang sesungguhnya menjadi hak rakyat Indonesia, cacat
hukum. Karena itu, seharusnya secara substansial tak ada kewajiban membayar
sejumlah uang kepada yayasan yang diketuai Soeharto tersebut meski ada dasar
peraturan pemerintah dan keputusan Menteri Keuangan.
Pertanyaan sederhana akhirnya kembali pada
apakah pemerintahan SBY yang menyatakan berkomitmen menjalankan agenda
reformasi dan pemberantasan korupsi ini masih ingat dan menganggap penting
penuntasan kasus Soeharto? Atau justru menjadi salah satu barisan yang ingin
menutup rapat skandal korupsi Orde Baru? Tulisan ini adalah bagian dari upaya
melawan lupa. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar