Demokrasi
dan Kekerasan
Nusron
Wahid ; Ketua Umum Gerakan Pemuda Ansor
SUMBER
: KOMPAS,
28 Mei 2012
Kita mengenal demokrasi sebagai sistem
universal yang menghargai prinsip-prinsip hak asasi manusia. Sekalipun lahir di
Barat, sesungguhnya dia tumbuh di mana saja: Barat, Timur, Utara,
Selatan. Seperti cinta, demokrasi melewati segala batas. Seperti sepak bola,
demokrasi punya aturan jelas.
Dengan segenap kekurangannya, risiko sistem
demokrasi paling minimal. Salah satunya adalah pelanggaran terhadap
prinsip-prinsipnya. Pelanggaran ini terjadi di mana-mana, termasuk di
negara-negara Barat.
Pelanggaran Demokrasi
Di Perancis, Fatimah, gadis kecil keturunan
Aljazair, tak diperbolehkan memakai jilbab. Di Amerika Serikat, Ahmad Zamroni
yang asli Kudus berlama-lama di imigrasi bandara San Francisco karena beragama
Islam.
Di Texas, masih banyak warga yang sinis
terhadap perempuan imigran berjilbab asal Timur Tengah. Sikap tidak demokratis
juga sering ditujukan kepada orang- orang hitam dan imigran hispanik.
Namun, di Amerika Serikat pula pertumbuhan
Islam paling cepat. Bahkan, di Hawaii, 20 Oktober ditetapkan sebagai Hari
Islam. Di New York, aliran Thoriqah Haqqani tumbuh subur. Di Delf, Belanda, dan
Montreal, Kanada, banyak pengikut Abdul Qodir Jailani. Apa yang melindungi
tumbuhnya Islam di Barat? Jawabannya: demokrasi!
Bukan hanya terhadap Islam. Di Barat,
demokrasi melindungi orang Amerika-Afrika yang berkulit kelam, juga orang-orang
Karibia, Asia, bahkan Yahudi yang taat menjalankan ritualnya. Oleh karena itu,
kita perlu mengkaji ulang gambaran tentang demokrasi yang bengis dan jahat
terhadap Islam. Sikap mengecam demokrasi dan kebebasan sebagai antiagama dan
musuh Islam tak dapat dibenarkan.
Justru sebaliknya, Islam tumbuh karena
dilindungi oleh demokrasi. Sikap melanggar prinsip demokrasi, baik di Barat
maupun di Indonesia, justru akan menggerogoti Islam itu sendiri.
Demokrasi adalah permainan sepak bola, ada
aturan-aturan yang jelas dan fair. Tak boleh handball, tak boleh off-side, dan
aturan-aturan yang lain. Sebuah tim boleh memainkan tika-taka ala Barcelona
atau memasang pertahanan ala tembok China—dengan menaruh sebanyak-banyaknya
pemain belakang seperti yang pernah dilakukan Chelsea—tetapi pemain tetap tidak
dibenarkan menekel lawan, seperti Balotelli yang pemain City terhadap Alex
Song, pemain Arsenal.
Dalam sepak bola, orang dinilai berdasarkan
kemampuan, bukan berdasarkan agama atau rasnya, seperti dalam kasus Suarez dan
Patrice Evra. Semua mesti fair. Mau santri atau abangan, berambut hitam atau
pirang, semua berhak bermain.
Bak Sepak Bola
Oleh karena itu, kekerasan yang terjadi
belakangan ini sungguh memprihatinkan. Pelarangan kerudung dan atribut agama di
Perancis tidak berbeda dengan wasit yang tidak fair. Demikian pula pembubaran
diskusi di Yogyakarta adalah contoh permainan tidak fair. Persis seperti
Shawcross yang menekel Eduardo hingga Eduardo patah kaki, seperti Adebayor yang
menginjak muka Van Persie, atau seperti melarang Chelsea memainkan sistem
pertahanan ketat.
Setiap tim berhak mempunyai gaya dan siasat,
memenangi pertandingan. Demikian pula setiap kelompok berhak berpendapat dan
berdiskusi, berkeyakinan dan beribadah. Jika berbeda paham, ada jalan adu
argumentasi, penelitian, atau membuat permainan yang lebih indah. Biarkan
masyarakat yang menilai.
Sikap eksklusif dan fundamentalis dalam
beragama sungguh membahayakan karena membuat orang merasa eksepsional: paling
benar dan memaksa yang lain mengikuti kebenarannya. Sikap demikian semakin
berbahaya jika kebenarannya berusaha diimplementasikan dalam sistem masyarakat
dan aturan yang menata orang banyak.
Kehidupan berdemokrasi pun terganggu karena
ruang-ruang ekspresi, berpendapat, serta akses-akses lain mestinya terbagi dan
termanfaatkan merata di antara berbagai individu ataupun kelompok sosial dan
budaya. Ancaman kehidupan bermasyarakat yang demokratis memang masalah besar
bagi Indonesia.
Banyak yang meyakini Islam sebagai jawaban
final sehingga mereka berpandangan negara wajib menginstitusikan hukum Islam,
syariah. Hal ini tak bisa lepas dari rumusan para penafsir konservatif bahwa
Islam adalah ad-diin wa al-daulah, sebagai agama dan negara.
Sikap ekstrem dalam beragama dan pemaksaan
kebenaran ini makin sering muncul sekarang. Orang lupa bahwa negara dan bangsa
Indonesia lahir dari keberagaman: terdiri lebih dari 17.000 pulau, banyak
keyakinan dan cara pandang. Perbedaan adalah fitrah dan sunatullah.
Maka, menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi
dengan prinsip-prinsip menghargai hak manusia untuk berpendapat dan beribadah
merupakan keharusan. Bhinneka Tunggal Ika wajib dijaga. Ketidaksetujuan dan
perselisihan mesti diselesaikan dengan dialog dalam semangat kebersamaan.
Jalan damai selalu diajarkan oleh Islam.
Apalagi, Islam juga tidak pernah mengajarkan untuk memaksakan kehendak pada orang
lain. Maka, menutup ruang dialog dan diskusi merupakan bencana besar, sama saja
menutup pendapat setiap orang untuk saling berbagi. Dialog adalah cara yang
diajarkan Islam dalam berdakwah. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar