Menutup Kesenjangan Digital
untuk Percepatan Pembangunan
Paksi Walandouw; Peneliti LPEM UI
SUMBER : MEDIA
INDONESIA, 08 Mei 2012
DI
balik berbagai gemerlap kemajuan di bisnis telekomunikasi dan informatika atau
dikenal dengan istilah teknologi informasi dan komunikasi (TIK), ada persoalan
serius yang jika dibiarkan bisa menyebabkan bangsa ini masuk paradoks teknologi
informasi: di satu pihak ada kelompok yang benar-benar menikmati kemewahan
teknologi informasi, sementara di pihak lain masih banyak orang yang hidup
dalam zaman batu.
Indikasinya
kian terlihat jelas. Pelaku bisnis telekomunikasi masih lebih mengutamakan
daerah perkotaan ketimbang perdesaan. Orang kota pun kian jauh meninggalkan
orang desa. Pada gilirannya, sangat mungkin, kesenjangan teknologi informasi
dan digital bakal mempertajam kesenjangan sosial yang sekarang ini saja sudah
menganga lebar.
Memang,
kita tidak dapat menyalahkan para penyedia jasa telekomunikasi, baik itu para internet service provider atau para
operator seluler penyedia jaringan. Biaya pembangunan infrastruktur, sunk cost yang besar, serta kesulitan
penetrasi akibat keterbatasan penggelaran jaringan yang dapat menjangkau daerah
terpencil menjadi penyebab utama perbesaran gap
fasilitas TIK.
Dalam
Rencana Pembangunan Jangka Panjang 2005-2030, pemerintah telah menetapkan
sektor telekomunikasi merupakan salah satu sektor paling strategis untuk
mempercepat pembangunan, khususnya di daerah tertinggal (khususnya Indonesia
bagian timur). Kesenjangan digital (digital
divide) sangat dirasakan tidak saja dalam kaitan paradoks kota besar dan
kecil, kota dan desa, tetapi juga dalam suatu kota, terutama sejak penggunaan
internet secara luas dan meningkatnya arus informasi yang sangat dominan, yang
didukung platform teknologi dan
sistem informasi. Kesenjangan digital juga terkait dengan kesetaraan memperoleh
peluang.
Pada
praktiknya di Indonesia sering kali pengguna menemui keterbatasan dalam
menerima informasi dan berkomunikasi disebabkan terbatasnya jaringan bagi
perangkat-perangkat yang mereka gunakan.
Tren
dunia sejak 1994 ialah pengembangan TIK untuk mempercepat proses-proses dan
memperlancar aktivitasaktivitas yang tadinya dilakukan secara konvensional
menjadi dapat dilaksanakan secara elektronis. Lebih jauh lagi, TIK berfungsi
sebagai enabler dalam hampir setiap aspek kehidupan manusia meskipun
penggunannya dalam derajat yang berbeda-beda.
Bagaimana
di Indonesia? Penetrasi telepon seluler, memang berkembang sangat pesat, bahkan
mencapai quadrual digit growth--sekitar 2.150%! Angka yang fantastis memang.
Untuk kebutuhan layanan suara dan SMS, relatif sudah dapat memenuhi standar
kualitas jaringan dan layanan yang dipersyaratkan oleh pemerintah. Namun,
paradoks kembali menghantui. Kecepatan pertumbuhan tersebut tidak dapat diikuti
kecepatan perkembangan infrastuktur yang dibutuhkan untuk layanan broadband. Pertumbuhan pengguna internet
saat ini menunjukkan angka yang cukup tinggi. Hal ini merupakan berita baik
karena menunjukkan bahwa dari waktu ke waktu pengguna sudah mulai fasih dengan
penggunaan internet, walaupun jaringan yang tersedia belum merata secara
nasional.
Kemampuan
untuk terlibat secara efektif dalam revolusi jaringan informasi akan menentukan
masa depan kesejahteraan bangsa. Berbagai keadaan menunjukkan Indonesia belum
mampu mendayagunakan potensi teknologi telematika secara baik. Karena itu,
Indonesia terancam oleh digital divide sehingga semakin tertinggal dari
negara-negara maju. Kesenjangan prasarana dan sarana telematika antara kota dan
perdesaaan juga memperlebar ruang perbedaan sehingga terjadi pula digital divide di dalam negara kita
sendiri. Indonesia perlu melakukan terobosan agar dapat secara efektif
mempercepat pendayagunaan TIK yang potensinya sangat besar itu, untuk
meningkatkan kesejahteraan rakyat dan mempererat persatuan bangsa sebagai
landasan yang kukuh bagi pembangunan secara berkelanjutan.
Memang,
perangkat teknologi yang masuk ke Indonesia sama baik dengan perangkat di Eropa
ataupun Amerka. Namun, kurangnya infrastruktur membuat masyarakat seakan terus
memperbarui dan membeli ‘mobil’ yang mereka gunakan, tanpa adanya ‘jalan’ yang
memadai untuk dilalui.
Lantas
bagaimana memperkecil kesenjangan digital itu? Pertama dan yang terutama ialah
dukungan pemerintah dalam penciptaaan kebijakan publik yang meringankan beban
para penyelenggara jaringan dan jasa telekomunikasi untuk bebas merencanakan
teknologi yang mereka gunakan. Kebijakan itu dikenal sebagai netral teknologi.
Di
negara-negara lain di Asia seperti Jepang, Thailand, Malaysia, dan Singapura
penggunaan netral teknologi berkembang seiring dengan efisiensi penggunaan
sumber daya (frekuensi, akses jaringan, biaya, serta kapasitas). Itu mungkin
jawaban atas kebutuhan pelanggan untuk mengakses informasi dan berkomunikasi
tanpa batasan tempat, waktu, jaringan, perangkat, dan didukung sambungan tanpa
jeda.
Beberapa
upaya memang sudah dilakukan regulator, tecermin dengan adanya perkenalan akan
netral teknologi di dalam beberapa kebijakan. Menteri Komunikasi dan
Informatika Tifatul Sembiring pun pernah mengemukakan, “Pembukaan netral teknologi merupakan langkah yang diambil pemerintah
dalam mempercepat adopsi teknologi di Indonesia. Hal pasti yang akan terjadi
ialah secara hukum pemerintah akan merestui agar Indonesia dapat memiliki
teknologi yang sesuai dengan kebutuhan pelanggan dan geografis.“ Namun, hal
itu belum secara optimal diimplementasikan. Pemerintah baik pusat maupun daerah
perlu memberi dukungan kemudahan penggelaran jaringan dan meminimalkan
biaya-biaya perizinan yang tidak perlu.
Tidak
hanya itu, baik regulator maupun operator akan menerima manfaat yang signifi kan
dengan penerapan netral teknologi seperti percepatan informasi dan pembangunan,
khususnya bagi daerah-daerah yang sulit dijangkau, kepastian untuk berinvestasi
jangka panjang.
Singkat
kata, netral teknologi dapat disimpulkan sebagai opsi yang memberikan manfaat
menyeluruh bagi seluruh pemangku kepentingan di industri telekomunikasi
seluler, baik masyarakat luas, konsumen, regulator, maupun operator.
Konsep
netral teknologi itu merupakan konsepsi pembangunan sektor telekomunikasi
strategis dan berorientasi jangka panjang harus diwujudkan melalui revolusi
pembangunan infrastruktur telekomunikasi yang tidak sekadar ‘kring’, tetapi
berdaya selancar di dunia maya segera dilakukan di kantongkantong produktif di
seluruh Indonesia.
Hanya dengan demikian-dengan memberikan
kesempatan bagi teknologi untuk memimpin--kita persempit kesenjangan dan
menciptakan Indonesia yang lebih maju. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar