Intoleransi
& Hate Crimes
Romli Atmasasmita ; Guru Besar Emeritus Hukum Pidana Internasional
Universitas Padjadjaran (Unpad); Anggota Dewan Pakar Partai NasDem
Universitas Padjadjaran (Unpad); Anggota Dewan Pakar Partai NasDem
SUMBER : SINDO, 30
Mei 2012
Laporan
beberapa negara mengenai kondisi hak asasi manusia (HAM) di Indonesia
memberikan isyarat bahwa telah terjadi intoleransi dalam kehidupan bangsa ini.
Bahkan banyak terjadi peristiwa yang merupakan derivatif dari intoleransi.
Peristiwa-peristiwa
tersebut diidentikkan sebagai“hate crimes”; ke-jahatan yang terjadi dan
dilakukan dan diiringi dengan motivasi kebencian atas dasar perbedaan etnis,
ras, agama, dan kelompok. Tuduhan tersebut memang amat mudah digulirkan
terhadap Indonesia dengan peristiwa kekerasan oleh kelompok agamais tertentu
atau sosial tertentu.
Karena letak geografi, pluralisme masyarakat Indonesia baik atas dasar suku, etnis, agama, sosial, maupun budaya lebih majemuk dibandingkan dengan strata sosial di negara-negara di Eropa dan Amerika Serikat yang relatif bersifat homogen. Sejatinya jika ahli-ahli negara maju itu datang dan meneliti beberapa daerah di Indonesia, mereka akan temukan toleransi masyarakat yang telah membudaya sejak lama seperti di Manado dan di Ambon.
Pembangunan gereja dilakukan oleh warga masyarakat beragama Islam, begitu pula sebaliknya dalam pembangunan masjid. Toleransi juga tampak ketika ber-Hari Raya Idul Fitri dan Hari Raya Natal, Hindu, Buddha, dan Konghucu. Justru toleransi terbesar hanya ada di Indonesia dibandingkan dengan bangsa lain yang relatif sangat sedikit perbedaan baik dalam bidang agama, politik, sosial, dan budaya.
Jumlah partai politik saja di negara maju tidak lebih dari tiga partai, begitu pula agama hanya bisa dihitung dengan dua jari saja tidak termasuk sekte-sektenya. Sikap intoleransi itu sejatinya bukan kepribadian bangsa Indonesia yang telah diikat oleh nilai luhur Pancasila dan terpatri di dalam Konstitusi NKR, melainkan sikap yang tumbuh dan berkembang dalam sejarah peradaban bangsa AS dan di beberapa negara Eropa seperti masa perbudakan yang tidak pernah dikenal sejak zaman kerajaan di Indonesia.
Sejak penjajahanBelandadanJepanglah yang memperkenalkan kepada bangsa ini cara-cara perbudakan dalam bentuk kerja rodi dan kerja paksa dan tanam paksa dengan upah yang jauh di bawah standar hidup rakyat yang layak. Jika begitu persoalannya, lalu siapa yang paling berpengalaman dalam kehidupan berintoleransi?
Siapa pula pengekspor utama konsep intoleransi tersebut sehingga dimunculkanlah konsep “hate crime”dan cenderung akan “dipaksakan” diterapkan dalam sistem hukum pidana Indonesia yang belum tentu cocok dengan rasa keadilan bangsa ini? Penegakan hukum terhadap intoleransi dan “hate crimes” bukan satu-satunya solusi, apalagi dipandang sebagai suatu kelemahan bangsa ini.
Karena dalam menghadapi persoalan tersebut, justru penguatan budaya bangsa dan nilai Pancasila lebih banyak maslahat daripada mudaratnya. Saya setuju dengan pendapat Menlu Marty Natalegawa dalam menyikapi laporan beberapa negara kepada Dewan HAM PBB.Tetapi,tidak cukup hanya menyatakan bahwa kondisi intoleran hanya bersifat kasuistis tidak dapat digeneralisasi menjadi sikap/ budaya bangsa.
Sejatinya aspek sejarah dan budaya bangsa ini tidak pernah melahirkan budaya intoleransi,apalagi melahirkan “hate crimes” sebagai embrio kriminalisasi baru dalam sistem hukum pidana Indonesia.Sebaliknya, sejarah dan budaya bangsa ini telah meletakkan nilai-nilai agamais dan nilai sosial kolektivisme serta solidaritas sosial yang tinggi dalam kebaikan, bukan dalam keburukan sejak dahulu sampai sekarang.
Nilai toleransi dalam sejarah bangsa ini justru mulai terkoyak- koyak di tengah kita menjalani masa reformasi. Sikap antipenjajahan sejak awal kemerdekaan telah melemahkan daya juang elemen bangsa untuk tidak toleran terhadap pengaruh kekuatan asing baik dalam bidang politik, ekonomi,hukum,maupun budaya asing.
Intoleransi muncul juga karena kekeliruan kita sebagai bangsa menerjemahkan perubahan. Perubahan di bidang sosial dipersepsikan secara keliru sebagai revolusi dan kekerasan. Perubahan di bidang ekonomi dipersepsikan sebagai adopsi sistem ekonomi liberalisme kapitalisme. Perubahan di bidang hukum dipersepsikan sebagai transplantasi hukum asing tanpa adaptasi. Perubahan di bidang budaya juga dipersepsikan dengan paham postmodernisme.
Seluruh perubahan yang berbau asing yang berkelindan dengan kekuatan “hard power” berbalut “soft power” telah sedemikian merasuk memasuki relung-relung baik fisik maupun psikis seluruh elite politik dan elemen sosial bangsa ini. Hal itu melemahkan kekuatan filter demokrasi politik, sosial, ekonomi, budaya, dan hukum yang bersumber pada Pancasila sebagai landasan filosofi kehidupan bangsa ini.
Kesemuanya itu menghasilkan gerakan masyarakat sipil tanpa visi dan misi yang jelas arah perjalanan bangsa ini 20- 25 tahun ke depan. Kondisi kian diperparah dengan belum hadirnya pemimpin nasional yang berwawasan sejarah dan budaya bangsa kecuali hanya bersifat adhoc. Lantas diperparah dengan sikap pimpinan pusat dan daerah serta jajaran birokrasi yang korup dan berpihak pada hedonisme daripada kesejahteraan sosial.
Awal kerusakan budaya bangsa sejatinya adalah lepas kendalinya elite pemimpin bangsa ini dan jajarannya dari Pancasila.Padahal sebagai nilai kesusilaan tinggi dan telah diletakkan sebagai fondasi bangunan NKRI. Gejala itu bisa dilihat terutama sejak Era Reformasi yang terbukti telah mengunggulkan konsep dan pemikiran ahli asing atau negara maju daripada mencari dan menemukan jati diri bangsa baik dalam pembangunan bidang sosial, ekonomi, budaya, politik, dan hukum.
Contoh pembangunan bidang hukum dalam RJPMN/RPJMP masih mengutip dan mengakomodasi konsep sistem hukum Lawrence Friedman daripada konsep hukum Mochtar Kusumaatmadja dan Alm Satjipto Rahardjo telah membuktikan bahwa dalam bidang hukum nasional masih tersisa cermin “bangsa koeli” (Soekarno). ●
Karena letak geografi, pluralisme masyarakat Indonesia baik atas dasar suku, etnis, agama, sosial, maupun budaya lebih majemuk dibandingkan dengan strata sosial di negara-negara di Eropa dan Amerika Serikat yang relatif bersifat homogen. Sejatinya jika ahli-ahli negara maju itu datang dan meneliti beberapa daerah di Indonesia, mereka akan temukan toleransi masyarakat yang telah membudaya sejak lama seperti di Manado dan di Ambon.
Pembangunan gereja dilakukan oleh warga masyarakat beragama Islam, begitu pula sebaliknya dalam pembangunan masjid. Toleransi juga tampak ketika ber-Hari Raya Idul Fitri dan Hari Raya Natal, Hindu, Buddha, dan Konghucu. Justru toleransi terbesar hanya ada di Indonesia dibandingkan dengan bangsa lain yang relatif sangat sedikit perbedaan baik dalam bidang agama, politik, sosial, dan budaya.
Jumlah partai politik saja di negara maju tidak lebih dari tiga partai, begitu pula agama hanya bisa dihitung dengan dua jari saja tidak termasuk sekte-sektenya. Sikap intoleransi itu sejatinya bukan kepribadian bangsa Indonesia yang telah diikat oleh nilai luhur Pancasila dan terpatri di dalam Konstitusi NKR, melainkan sikap yang tumbuh dan berkembang dalam sejarah peradaban bangsa AS dan di beberapa negara Eropa seperti masa perbudakan yang tidak pernah dikenal sejak zaman kerajaan di Indonesia.
Sejak penjajahanBelandadanJepanglah yang memperkenalkan kepada bangsa ini cara-cara perbudakan dalam bentuk kerja rodi dan kerja paksa dan tanam paksa dengan upah yang jauh di bawah standar hidup rakyat yang layak. Jika begitu persoalannya, lalu siapa yang paling berpengalaman dalam kehidupan berintoleransi?
Siapa pula pengekspor utama konsep intoleransi tersebut sehingga dimunculkanlah konsep “hate crime”dan cenderung akan “dipaksakan” diterapkan dalam sistem hukum pidana Indonesia yang belum tentu cocok dengan rasa keadilan bangsa ini? Penegakan hukum terhadap intoleransi dan “hate crimes” bukan satu-satunya solusi, apalagi dipandang sebagai suatu kelemahan bangsa ini.
Karena dalam menghadapi persoalan tersebut, justru penguatan budaya bangsa dan nilai Pancasila lebih banyak maslahat daripada mudaratnya. Saya setuju dengan pendapat Menlu Marty Natalegawa dalam menyikapi laporan beberapa negara kepada Dewan HAM PBB.Tetapi,tidak cukup hanya menyatakan bahwa kondisi intoleran hanya bersifat kasuistis tidak dapat digeneralisasi menjadi sikap/ budaya bangsa.
Sejatinya aspek sejarah dan budaya bangsa ini tidak pernah melahirkan budaya intoleransi,apalagi melahirkan “hate crimes” sebagai embrio kriminalisasi baru dalam sistem hukum pidana Indonesia.Sebaliknya, sejarah dan budaya bangsa ini telah meletakkan nilai-nilai agamais dan nilai sosial kolektivisme serta solidaritas sosial yang tinggi dalam kebaikan, bukan dalam keburukan sejak dahulu sampai sekarang.
Nilai toleransi dalam sejarah bangsa ini justru mulai terkoyak- koyak di tengah kita menjalani masa reformasi. Sikap antipenjajahan sejak awal kemerdekaan telah melemahkan daya juang elemen bangsa untuk tidak toleran terhadap pengaruh kekuatan asing baik dalam bidang politik, ekonomi,hukum,maupun budaya asing.
Intoleransi muncul juga karena kekeliruan kita sebagai bangsa menerjemahkan perubahan. Perubahan di bidang sosial dipersepsikan secara keliru sebagai revolusi dan kekerasan. Perubahan di bidang ekonomi dipersepsikan sebagai adopsi sistem ekonomi liberalisme kapitalisme. Perubahan di bidang hukum dipersepsikan sebagai transplantasi hukum asing tanpa adaptasi. Perubahan di bidang budaya juga dipersepsikan dengan paham postmodernisme.
Seluruh perubahan yang berbau asing yang berkelindan dengan kekuatan “hard power” berbalut “soft power” telah sedemikian merasuk memasuki relung-relung baik fisik maupun psikis seluruh elite politik dan elemen sosial bangsa ini. Hal itu melemahkan kekuatan filter demokrasi politik, sosial, ekonomi, budaya, dan hukum yang bersumber pada Pancasila sebagai landasan filosofi kehidupan bangsa ini.
Kesemuanya itu menghasilkan gerakan masyarakat sipil tanpa visi dan misi yang jelas arah perjalanan bangsa ini 20- 25 tahun ke depan. Kondisi kian diperparah dengan belum hadirnya pemimpin nasional yang berwawasan sejarah dan budaya bangsa kecuali hanya bersifat adhoc. Lantas diperparah dengan sikap pimpinan pusat dan daerah serta jajaran birokrasi yang korup dan berpihak pada hedonisme daripada kesejahteraan sosial.
Awal kerusakan budaya bangsa sejatinya adalah lepas kendalinya elite pemimpin bangsa ini dan jajarannya dari Pancasila.Padahal sebagai nilai kesusilaan tinggi dan telah diletakkan sebagai fondasi bangunan NKRI. Gejala itu bisa dilihat terutama sejak Era Reformasi yang terbukti telah mengunggulkan konsep dan pemikiran ahli asing atau negara maju daripada mencari dan menemukan jati diri bangsa baik dalam pembangunan bidang sosial, ekonomi, budaya, politik, dan hukum.
Contoh pembangunan bidang hukum dalam RJPMN/RPJMP masih mengutip dan mengakomodasi konsep sistem hukum Lawrence Friedman daripada konsep hukum Mochtar Kusumaatmadja dan Alm Satjipto Rahardjo telah membuktikan bahwa dalam bidang hukum nasional masih tersisa cermin “bangsa koeli” (Soekarno). ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar