Evaluasi
HAM dan Kedewasaan Indonesia
Rafendi
Djamin ; Direktur Eksekutif Human Rights Working Group;
Koordinator Masyarakat Sipil Indonesia untuk Sidang UPR Indonesia 2012
di Geneva, Swiss
SUMBER
: KOMPAS,
28 Mei 2012
Indonesia mendapat sorotan masyarakat
internasional terkait pelaksanaan hak asasi manusia dalam sidang berkala Dewan
HAM PBB, 23 Mei 2012.
Dalam sidang Universal Periodic Review (UPR)
itu, Pemerintah Indonesia sulit mempertahankan citranya di mata dunia karena
pada saat yang sama pelanggaran HAM terus terjadi.
Mengacu kepada rekomendasi UPR tahun 2008,
Pemerintah Indonesia sebenarnya telah didorong antara lain untuk meratifikasi
konvensi internasional, melindungi pembela HAM, menghapus impunitas, melindungi
warga negara, dan membangun kapasitas aparat negara.
Pelaksanaan rekomendasi-rekomendasi itulah
yang dipertanyakan Dewan HAM PBB dan sejumlah negara yang terlibat dalam sidang
UPR 2012. Selain itu, sidang juga banyak menyoroti kondisi HAM di Indonesia
dalam empat tahun terakhir, seperti kebebasan beragama dan berkeyakinan,
kebebasan berekspresi, pemenuhan hak ekonomi sosial dan budaya, termasuk buruh
migran dan pengelolaan sumber daya alam.
Pencitraan dan Perubahan
Sebagai salah satu pilar PBB, HAM menjadi
salah satu tolok ukur kesejahteraan warga pada setiap negara. Tak terkecuali
Indonesia yang juga menjadi salah satu anggota Dewan HAM sejak 2011 setelah
terpilih untuk ketiga kalinya. Capaian-capaian konkret sungguh diharapkan agar
dapat memanusiakan manusia melalui tangan pemerintah.
Sebuah pertanyaan kemudian mengemuka, yaitu
apakah Pemerintah Indonesia masih sekadar memosisikan HAM sebagai alat
pencitraan atau betul-betul telah berupaya memberikan perubahan positif di
level nasional? Tentu tak mudah menjawab pertanyaan tersebut, tetapi setidaknya
rekomendasi UPR 2008 di atas dapat menjadi tolok ukur implementasi HAM di
Indonesia dalam empat tahun terakhir.
Pemerintah memang telah mencoba bergerak
untuk berubah, misalnya berkomitmen mengundang beberapa Pelapor Khusus HAM PBB
ke Indonesia. Praktik ini tentu saja membawa pencitraan yang baik Indonesia di
mata internasional, apalagi dibarengi dengan pelbagai usaha positif pemerintah
mengembangkan mekanisme HAM di level ASEAN dan OKI.
Namun, perubahan tersebut belum terasa
signifikansinya dalam dinamika HAM di level nasional. Bahkan, pemerintah
terlihat gagal menjamin kemerdekaan setiap orang untuk beragama dan
berkeyakinan secara baik dan maksimal, seperti kasus GKI Taman Yasmin, Syiah,
dan beragam kasus kekerasan lain.
Belum lagi permasalahan Papua dan konflik
tambang dan perkebunan sawit. Komitmen pemerintah semakin tak terasa dan absen
dalam persoalan impunitas, seperti penyelesaian kasus Munir, Trisakti, dan
Semanggi I dan II.
Dalam konteks ini citra Indonesia sebagai
bangsa merdeka di tengah pergaulan internasional cukup baik, tetapi sayang
perubahan dan capaian citra tersebut belum dibarengi oleh perubahan di tingkat
nasional. Padahal, seharusnya sasaran dan tujuan utama politik internasional
adalah perubahan yang dapat dinikmati langsung oleh masyarakat atau warga
negara tanpa terkecuali.
Evaluasi dan Kedewasaan
Mekanisme UPR merupakan sebuah mekanisme yang
baru berjalan satu periode sejak 2008. Tahun ini merupakan kali kedua Indonesia
dievaluasi, bersama dengan Bahrain, Aljazair, Tunisia, Maroko, Filipina,
Inggris, dan India.
UPR sama sekali bukan sebuah mekanisme
penghakiman atau penghukuman terhadap kondisi HAM suatu negara. Sebaliknya,
mekanisme ini dibuat untuk memajukan dan mendorong pelaksanaan Deklarasi
Universal HAM di level nasional.
Semua negara anggota PBB berkewajiban untuk
terlibat dalam proses evaluasi dan melaporkan kondisi HAM-nya secara berkala
empat tahunan, dengan menyampaikan kemajuan positif, tantangan, dan kemunduran
pelaksanaan HAM.
Untuk itu, seharusnya Indonesia juga memaknai
forum ini sebagai sebuah proses perbaikan dan evaluasi pemajuan HAM, bukan
justru menganggap forum tersebut sebagai ancaman yang akan membuat Indonesia
bercitra buruk di mata internasional. Dengan mengedepankan semangat kerja sama,
obyektif dan terbuka, Indonesia hendaknya mengungkap kondisi nyata penegakan
HAM, menjawab rekomendasi-rekomendasi UPR 2008 secara obyektif sembari
mengemukakan kemajuan-kemajuan, hambatan, dan rencana konkret menyelesaikan
berbagai masalah yang dihadapi.
Dengan begitu, HAM tidak hanya menjadi
komoditas politik pencitraan pemerintah di mata internasional, tetapi juga
lebih memberikan manfaat bagi perlindungan, penghormatan, dan kemajuan HAM di
tataran nasional yang dapat dinikmati oleh setiap orang di Indonesia tanpa
terkecuali.
Kedewasaan bangsa kita menerima masukan,
kritikan, dan rekomendasi bersama dalam UPR mencerminkan bagaimana kita telah
melangkah 14 tahun terakhir ini dalam era Reformasi. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar