Masa
Depan yang Bagaimana?
JE Sahetapy ; Guru Besar Emiritus Bidang Hukum Pidana
di Universitas Airlangga,
Surabaya
SUMBER : SINAR
HARAPAN, 29 Mei 2012
Ervaring is per definitie nooit af-gesloten,
maar een voortgaan proses. - William James (1842-1910)
It is our task to explain rather than to
accuse. - Hermann Mannheim
Apakah dengan mengatakan kebenaran kepadamu,
aku telah menjadi musuhmu. - Galatia 4 : 16
Uraian ini tidak memuat semua problematik
yang ada di negara yang kita cintai ini. Saya hanya memilih beberapa
problematik secara “arbitrair” tanpa suatu parameter atau kriteria tertentu.
Untuk itu saya mohon “klemensi”. Jadi yang saya lakukan hanya berdasarkan
pengamatan yang saya pandang relevan sejak 1959, ketika untuk pertama kali saya
mulai menjadi pendidik atau pengajar di Fakultas Hukum Universitas Airlangga.
Kini dalam usia 80 tahun kurang satu bulan,
saya mengamati selama ini setumpuk problematik sosial-ekonomi-politik dan
kehidupan rakyat di akar rumput, serta berbagai subkultur di Indonesia tampak
semakin amburadul, terutama di semua lapisan birokrasi pemerintahan, dan di
semua jenjang implementasi penegakan hukum (kepolisian, kejaksaan, dan
pengadilan, serta kepengacaraan). Pendeknya, dalam segenggam dalam parafrasa
kriminologi-viktimologi, masyarakat sedang “sakit” (parah) atau semacam
“anomi,” ibarat kanker stadium akhir.
Kehidupan parpol dan para politikus (yang
baik) dan para politikus (yang buruk) merajalela sedemikian rupa yang
menyangkut moral, etika, dan korupsi, sehingga dapat dipertanyakan apakah
mereka itu wakil-wakil rakyat yang terhormat atau bukan. Mereka memang dipilih
rakyat, tetapi “ten koste van…”
(artinya: dengan harga …) dan “voor wat
hoort wat” (artinya: untuk itu tidak ada yang gratis alias ada pamrihnya).
Tidaklah mengherankan kalau sampai Sylvie
Rony dalam majalah Time (22/3/1999) menulis bahwa “politicians are like gangsters. Unless you catch them redhanded, you
never get them”.
Kenyataan ungkapan via media pers pusat dan
daerah sampai April 2012 untuk Indonesia sangat meresahkan, memalukan, dan
menyedihkan di mana kenyataan-kenyataan yang ada berbicara untuk dirinya
sendiri, dengan catatan bahasa hukum Belanda, bahwa “de uitzonderingen bevestigen de regel”, alias selalu ada
perkecualian. Kalaupun ada yang tersinggung maka berlaku pepatah Belanda: wie de schoen past, trekke hem aan alias
kalau sepatunya cocok silakan pakai.
Mengapa sampai bisa begitu? Ini persoalan
sejarah dan pembusukan (sub)kultur di semua bidang yang bertumpuk sedikit demi
sedikit menjadi bukit. Karena sumber air itu sejak mulanya sudah kotor dan
tidak dibersihkan, atau keadaan tidak memungkinkan karena tangan besi dan
ibarat Kaisar Nero, sudah terlambat bila ibunya dibunuh sendiri dan Kota Roma
dibakar dengan menuduh kelompok sektarian yang dibencinya. Voila, secara “mutatis mutandis” juga untuk Indonesia
begitu.
Tidak ada maksud dari saya untuk mencatat
semua kebusukan dan pembusukannya yang menyangkut semua aspek dan faset
kehidupan dan penghidupan. Itu saya serahkan kepada para ahli sejarah dengan
catatan, sejarah tidak pernah berbohong. Kalau ada pembohongan sejarah maka
sang penulisnyalah yang berbohong, entah karena pesanan, power by remote control, atau karena desakan sektarian atau
politik. Pendeknya, seperti ditulis Gunnar Myrdal,
“De
geschiedenis kan geschapen worden. Het is niet nodig haar als een zuiver
lotsbestemming te aanvaarden”, artinya: “Sejarah dapat diciptakan. Ia tidak
perlu diterima secara murni sebagai suatu penentuan nasib”.
Keluarga Terhormat
Memang para pelaku sejarah kemerdekaan pada
mula pertama berpendidikan Barat dengan disiplin moral dan etik yang tinggi.
Tetapi jangan lupa, mereka juga berasal dari keluarga-keluarga yang terhormat.
Pada waktu itu saya yakin bahwa ibu-ibu mereka telah ikut mengasah moral dan
etik mereka, juga hati nurani.
Itu saya saksikan dari film autobiografi Mahatma
Gandhi. Pernah Mahatma Gandhi menulis, “I
learned from my illiterate but wise mother that all rights to be deserved and
preserved came from duty well done”. Itu pun saya alami dan bisa
menyaksikan sendiri dari ibu saya yang tidak bersedia bekerja sama dengan
Belanda dan membuka sekolah sendiri semacam Taman Siswa tetapi berbahasa
Belanda di zaman kolonial Hindia Belanda di suatu pulau kecil (Saparua) yang
tidak terlihat di peta di Maluku Tengah. Sekolah tersebut sangat terkenal pada
waktu itu dengan nama Particuliere
Saparuasche School (PSS).
Belajar dari apa yang dinamakan Wilde Scholen Ordonnantie, saya risau
dan sedih melihat pendidikan di masa kini, terutama di zaman Orde Baru, dan apa
yang dinamakan Orde Reformasi dewasa ini. Bayangkan, untuk ujian (UN) dewasa
ini polisi harus ikut dalam rangka pengamanan soal-soal ujian. Di manakah
harkat, martabat, etik, dan moral para guru?
Bayangkan gara-gara satu kelas minta ikut
menyontek–semacam bibit korupsi–di Surabaya, karena putra keluarga yang sederhana
dan jujur itu berkeberatan, keluarga itu harus hijrah dari rumah mereka karena
dimusuhi kejujurannya. Belum lagi berita (Seputar Indonesia, 4 September 2008)
bahwa 60.000 dosen tidak layak atau dinilai belum memenuhi standar pendidikan
pengajar universitas.
Tiba-tiba ibarat kilat di siang hari bolong
ada instruksi dari Menteri casu quo
Dirjen bahwa para “calon sarjana di setiap strata wajib menulis di jurnal
ilmiah mulai Agustus nanti” (Tempo, 11 Maret 2012). “Bayangkan, rasio jumlah
mahasiswa dan jumlah jurnal sangat jomplang. Yang menjadi pertanyaan, apakah
mutu para dosen pembimbing sudah terjamin, dan apakah tersedia sarana
penerbitan, dengan catatan selalu ada perkecualian pada perguruan tinggi
tertentu. Dalam segenggam, kementerian pendidikan seperti dalam keadaan “fiasko”.
Tidaklah mengherankan kalau di kemudian hari
di zaman Orde Baru Soeharto ada dosen pelat hitam, pelat kuning, dan pelat
merah. Di era reformasi SBY ini digosipkan ada dosen ”prostitusi”. Di manakah
moral, etik, dan integritas para pendidik ini, sampai bahan-bahan ujian pun
harus diamankan kepolisian! Sungguh menyesakkan dada! Ibarat “de pot verwijt de ketel” alias pantat
kuali menuduh pantat belanga; dua-duanya sama hitamnya. Para pejabat di
kementerian itu ibarat “the frog in the
kettle”.
Mereka membuat peraturan yang tampaknya
indah, tetapi itu ibarat kulit hitam yang dibedaki pupur putih. Betapa banyak
lulusan bukan luar negeri yang mengalami kesulitan membaca dan bercakap bahasa
Inggris, dan tiba-tiba instruksi buat mahasiswa ibarat guru kencing berdiri,
murid kencing berlari.
Tidak semua perguruan tinggi negeri tidak
bermutu, namun mereka mau buat peraturan terselubung ibarat “Wilde Scholen Ordonnantie” di zaman
kolonial untuk perguruan tinggi swasta. Padahal ada perguruan tinggi swasta
yang lebih bermutu daripada perguruan tinggi negeri. Kebijakan mereka pun di
atas sana, acap kali tampak seolah-olah sektarian. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar