Parpol
vs Independen
Setyo Pamuji ; Peneliti pada Pusat Kajian
Filsafat dan Politik IAIN Sunan Ampel
SUMBER : SUARA
KARYA, 29 Mei 2012
Di tengah menurunnya pamor partai politik (parpol), menjadi wajar
jika ada yang mencalonkan diri menjadi pemimpin dari perseorangan dan
non-parpol (independen). Walaupun bukan suatu keharusan, cara untuk mendapatkan
kekuasaan di negeri ini terkesan menjadi keharusan melalui parpol. Tanpa
parpol, mana bisa memperoleh suara memuaskan. Jangankan calon independen, calon
dari parpol yang sudah berkampanye menghabiskan dana begitu fantastik, belum
tentu mendapatkan suara seperti yang diinginkan.
Seseorang yang mempunyai minat menjadi pejabat negara, lagislatif
maupun eksekutif harus mempunyai dana sangat besar. Mulai dari modal awal,
apalagi dengan mendirikan parpol hingga sosialisasi parpol, akan mengeluarkan
biaya ekstra untuk semua lini kegiatannya.
Selama ini memang terbentuk mind set bahwa untuk menjadi pemimpin,
presiden, gubernur, bupati/ walikota harus melalui parpol. Hal tersebut dapat
dilihat dari menjamurnya parpol di negeri ini. Apalagi, tidak pernah ada
pejabat negara, lebih khusus presiden, setelah adanya pemilu, berasal dari
calon independen. Ini tentu kian menguatkan paradigma masyarakat bahwa jalan
satu-satunya untuk dapat menang dalam pemilu adalah dengan media politik,
berupa parpol. Akan tetapi, seiring berjalannya waktu, citra parpol kian
menurun. Stigma buruk parpol akibat ulah oknumnya, telah melekat dalam diri
masyarakat. Janji-janji elite parpol telah menjadi bumerang bagi dirinya
sendiri. Masyarakat telah menyadari bahwa kebaikan ekstra dari parpol menjelang
pemilu adalah sebuah kebohongan. Rakyat dirangkul, namun hanya sekali lima
tahun. Atau, dalam buku bertajuk Politikus
Busuk karya Zainuddin Maliki (2004) disebut dengan virtual reality. Yakni, istilah Featherstone
untuk menyebut bahwa dunia perpolitikan kita menjadi dunia seolah-olah (virtual reality).
Selain janji-janji busuk, minim bahkan tak ada realisasinya, citra
buruk parpol kian bertambah ketika tersiar kabar bahwa oknum-oknum parpol
banyak yang melakukan korupsi. Korupsi sendiri dilansir sebagai akibat dari
balas dendam mereka, calon pejabat yang mengusung partai, terkait dana yang
telah mereka keluarkan saat promosi parpolnya.
Logikanya, parpol yang telah banyak mengeluarkan dana, bahkan
sampai dana untuk politik uang, akan berimplikasi buruk bagi dirinya sendiri
maupun orang lain. Ketika calon pejabat atau presiden tersebut gugur, dalam
arti tidak terpilih, akan terjadi frustasi berat. Bagaimana tidak? Harta-benda
mereka telah habis terkuras untuk dana pencalonannya, tetapi tidak terpilih.
Tidak jarang, ada calon pejabat yang mengalami gangguan jiwa saat
tak terpilih dalam pencalonannya. Sedangkan, ketika calon pejabat yang memakai
cara politik uang terpilih, ia akan berusaha secepat mungkin untuk
mengembalikan dana yang ia keluarkan waktu kampanye. Hal ini menjadi pemicu
munculnya korupsi.
Momentum jatuhnya nama parpol ini menjadi peluang masuk bagi calon
independen. Di tengah ketidakpercayaan masyarakat pada parpol, calon independen
menjadi harapan baru. Calon pejabat yang tak berafiliasi dengan golongan
tertentu (parpol) tersebut menjadi tumpuan akan terwujudnya pemimpin yang tidak
hanya memihak pada golongan tertentu, namun menjadi pengayom bagi semua
golongan.
Sikap Ksatria
Jika fenomena pasangan independen menyeruak dalam Pemilihan
Gubernur DKI Jakarta, maka tak menutup kemungkinan bahwa pada 2014, akan muncul
juga calon presiden dari kalangan independen. Namun, perlu diwaspadai juga
ketika calon independen ini tidak independen. Dalam arti, mereka yang
menyatakan independen sendiri sebenarnya telah membuat golongan sendiri, yakni
golongan independen.
Tak mustahil, jika calon independen ini menang dan menjabat di
pemerintahan, apalagi menjadi presiden akan mementingkan golongan independen.
Pasalnya, para calon independen juga bermain politik. Mereka akan balas dendam
pada lawan politik mereka, tidak terkecuali pada mereka yang diusung parpol
untuk tujuan itu. Sehingga, keinginan untuk memiliki pemimpin yang berdiri di
atas semua golongan menjadi sirna.
Dalam bukunya, Emotional
Spiritual Quetient (ESQ), Ary Ginanjar Agustian menceritakan sebuah bukti
ilmiah. Bahwa, pikiran kelompok bisa jauh lebih cerdas daripada pikiran orang
perorangan. Bukti itu dikutip dari Howard Gardner, seorang pakar terkemuka dari
Harvard University yang menyatakan, tidak ada keraguan bahwa pikiran kelompok
bisa jauh lebih cerdas.
Howard sampai pada kesimpulan itu setelah melakukan penelitian
terhadap sejumlah mahasiswa. Dalam sebuah eksperimen tentang mahasiswa belajar
dan bekerja dalam kelompok untuk suatu mata kuliah, diperoleh hasil, 97 persen
dari uji yang dilakukan menunjukan skor kelompok ternyata lebih tinggi dari
skor terbaik untuk perorangan.
Jika direfleksikan pada bangsa ini, maka akan terlihat jelas
kenapa bangsa ini begitu sulit untuk maju. Alasannya gampang, bangsa ini dahulu
selalu kalah menghadapi penjajah karena kuatnya kedaerahan atau enggan bersatu.
Begitu pun, jika saat ini masih terus dimunculkan sifat kedaerahan kontemporer,
berupa ego golongan, atau ego parpol maka mustahil bangsa ini dapat maju secara
signifikan.
Agar maju, sudah saatnya kembali bersatu dalam ikatan NKRI.
Kemukakan jiwa besar dalam persaingan. Sikap mau menerima keunggulan orang
lain, baik antar parpol, parpol dengan independen, atau sebaliknya itulah sikap
ksatria pemimpin. Pihak yang kalah harus memberikan dukungan pada pemenang
karena ia terpilih menjadi pemimpin. Ini formula dasar untuk menuju kehidupan
yang lebih baik. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar