Corby-tralia
(Korban Makan Tuan)
Arswendo Atmowiloto; Budayawan,
Guru Besar STF Driyarkara dan Universitas Indonesia
SUMBER : SINDO, 29
Mei 2012
Corby,
si ratu ganja, sebenarnya sudah terselamatkan nyawanya ketika dijatuhi hukuman
20 tahun penjara. Cewek Australia penyelundup ganja—yang pasti dilakukan secara
sengaja––berada dalam zona aman.
Hukuman
20 tahun berat, tapi masih menyimpan harapan lebih dibandingkan hukuman seumur
hidup atau apalagi hukuman mati. Karena dua jenis hukuman terakhir ini,
kalaupun mendapat remisi, tak bisa diperhitungkan sebagai pengurang. Kini
dengan pengurangan hukuman selama lima tahun, karena memperoleh grasi dari
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, tahun baru 2014 dia bisa di luar penjara.
Atau setidaknya pada Januari 2014 bisa pulang ke negerinya atau bahkan
coba-coba bawa ganja lagi.
Makan Tuan
Pemberian remisi oleh Presiden ternyata reaksi tidakmenguntungkan. Kalau niat kemanusiaan ini dijadikan senjata diplomatik, ternyata malah berbalik menjadi senjata makan tuan. Sang pemberi remisi dan lembaga-lembaga yang mendukungnya menjadi bulan-bulanan selama beberapa bulan atau malah catatan sepanjang zaman. Bahwa ada narapidana kasus narkoba mendapat remisi, bahwa bahaya narkoba yang ganas justru dibarengi pengampunan yang salah sasaran, salah waktu dan salah tempat.
Kesalahan yang sebenarnya tak perlu terjadi karena selama ini pemerintah negeri kita telah sangat berbaik hati dengan durjana, penjahat bernama Schapelle Leigh Corby. Baik dengan hukuman 20 tahun saja serta yang terutama dengan segala jenis remisi yang diterimanya. Artinya sudah berlaku cukup baik dalam memberi keringanan hukuman. Dengan kata lain, kalau Corby sekarang sudah menjalani hukuman selama delapan tahun kalender, pengurangan hukuman menjadikan seolah sudah menjalani 10 tahun.
Demikian juga dalam menjalani sisanya, menjalani secara fisik satu tahun, bisa sedikitnya satu tahun tiga bulan dalam perhitungan. Belum lagi jalan yang ditempuh melalui asimilasi atau pembebasan bersyarat. Secara sederhana, berdasarkan perhitungan resmi dan tanpa menyalahi aturan yang ada pun,Corby sudah mendapatkan kemudahan yang luar biasa. Tanpa ekstrabonus bernama grasi pun, Corby tak perlu menjalani secara pelek, bulat, penuh, selama 20 tahun.
Perhitungan yang bisa dilakukan siapa pun, berdasar peraturan yang ada, tidak akan menimbulkan perdebatan sengit dan mendasar soal campur tangan pemerintah. Pemerintah telah campur tangan secara legal, benar, dan baik adanya. Kalau demikian halnya,grasi yang menusuk perasaan, yang menunjukkan ketidakpekaan perasaan geram masyarakat atas kejahatan luar biasa yang diperangi, tak dilakukan pun, pemerintah sudah memberi citra yang baik.
Makan Hati
Grasi telah diberikan dan reaksi tak berhenti. Ibarat persoalannya telah mengubah nasi menjadi bubur—dan bubur tak bisa diubah sebagai nasi kembali. Kebetulan ini bukan bubur yang enak. Sikap membuat repot diri sendiri, yang tak perlu ini, dalam idiom Jawa dikenal dengan legan golek momongan. Lajang yang mencari anak untuk diemong, yang akhirnya akan merepotkan diri sendiri.
Baik karena belum siap atau merusak tatanan yang bisa terjadi dengan sendirinya. Hal yang kurang lebih sama terjadi ketika ada wacana penghentian (moratorium) remisi untuk koruptor. Gagasan keras untuk menjerakan koruptor dalam menegakkan pemberantasan korupsi menjadi terombangambing karena wacana yang berkembang membelok ke fokus lain. Padahal bahkan melaksanakan dengan tegas, jelas, tetap bisa dilakukan tanpa surat keputusan yang khusus.
Payung hukum kadang menelikung dan buntung ketika dilakukan dengan arogansi, dan atau dalam kasus lain untuk pencitraan belaka. Maksud baik bisa berbalik dan menikam. Masalahnya menjadi makin pelik ketika para pakar hukum memberi tafsiran bertentangan atas pasal dan ayat yang sama. Apa yang terjadi dengan grasi untuk Corby kali ini menunjukkan secara jelas. Dari pihak Menteri atau Wakil Menteri Hukum dan HAM saling memberikan alasan dengan kubu yang berseberangan.
Agaknya juga kita tak pernah belajar bersama atas kasus-kasus yang terjadi sehingga setiap kali mengulangi dari awal lagi. Salah satu jalan keluar dari perbebatan ala “tralala-tralili” yang terus dan tak segera terhapus adalah menegakkan tata krama pelaksanaan hukum yang selama ini sudah diatur. Bagaimana seharusnya narapidana, termasuk Corby, diperlakukan dan memperlakukan diri sehingga keringanan dalam bentuk remisi atau kemudahan lain-lain akan terlaksana dengan adil dan baik adanya.
Ini semua bisa menjadi landasan penegakan hukum secara keseluruhan. Putusan mana pun tidak membuat yang mendengar— pelaku langsung atau penonton—makan hati. Dengan demikian, kita bisa tak perlu bertanya, “Ngapain juga kasih remisi untuk Corby, iseng amat ya?” Dan tak perlu repot menjawabnya. ●
Makan Tuan
Pemberian remisi oleh Presiden ternyata reaksi tidakmenguntungkan. Kalau niat kemanusiaan ini dijadikan senjata diplomatik, ternyata malah berbalik menjadi senjata makan tuan. Sang pemberi remisi dan lembaga-lembaga yang mendukungnya menjadi bulan-bulanan selama beberapa bulan atau malah catatan sepanjang zaman. Bahwa ada narapidana kasus narkoba mendapat remisi, bahwa bahaya narkoba yang ganas justru dibarengi pengampunan yang salah sasaran, salah waktu dan salah tempat.
Kesalahan yang sebenarnya tak perlu terjadi karena selama ini pemerintah negeri kita telah sangat berbaik hati dengan durjana, penjahat bernama Schapelle Leigh Corby. Baik dengan hukuman 20 tahun saja serta yang terutama dengan segala jenis remisi yang diterimanya. Artinya sudah berlaku cukup baik dalam memberi keringanan hukuman. Dengan kata lain, kalau Corby sekarang sudah menjalani hukuman selama delapan tahun kalender, pengurangan hukuman menjadikan seolah sudah menjalani 10 tahun.
Demikian juga dalam menjalani sisanya, menjalani secara fisik satu tahun, bisa sedikitnya satu tahun tiga bulan dalam perhitungan. Belum lagi jalan yang ditempuh melalui asimilasi atau pembebasan bersyarat. Secara sederhana, berdasarkan perhitungan resmi dan tanpa menyalahi aturan yang ada pun,Corby sudah mendapatkan kemudahan yang luar biasa. Tanpa ekstrabonus bernama grasi pun, Corby tak perlu menjalani secara pelek, bulat, penuh, selama 20 tahun.
Perhitungan yang bisa dilakukan siapa pun, berdasar peraturan yang ada, tidak akan menimbulkan perdebatan sengit dan mendasar soal campur tangan pemerintah. Pemerintah telah campur tangan secara legal, benar, dan baik adanya. Kalau demikian halnya,grasi yang menusuk perasaan, yang menunjukkan ketidakpekaan perasaan geram masyarakat atas kejahatan luar biasa yang diperangi, tak dilakukan pun, pemerintah sudah memberi citra yang baik.
Makan Hati
Grasi telah diberikan dan reaksi tak berhenti. Ibarat persoalannya telah mengubah nasi menjadi bubur—dan bubur tak bisa diubah sebagai nasi kembali. Kebetulan ini bukan bubur yang enak. Sikap membuat repot diri sendiri, yang tak perlu ini, dalam idiom Jawa dikenal dengan legan golek momongan. Lajang yang mencari anak untuk diemong, yang akhirnya akan merepotkan diri sendiri.
Baik karena belum siap atau merusak tatanan yang bisa terjadi dengan sendirinya. Hal yang kurang lebih sama terjadi ketika ada wacana penghentian (moratorium) remisi untuk koruptor. Gagasan keras untuk menjerakan koruptor dalam menegakkan pemberantasan korupsi menjadi terombangambing karena wacana yang berkembang membelok ke fokus lain. Padahal bahkan melaksanakan dengan tegas, jelas, tetap bisa dilakukan tanpa surat keputusan yang khusus.
Payung hukum kadang menelikung dan buntung ketika dilakukan dengan arogansi, dan atau dalam kasus lain untuk pencitraan belaka. Maksud baik bisa berbalik dan menikam. Masalahnya menjadi makin pelik ketika para pakar hukum memberi tafsiran bertentangan atas pasal dan ayat yang sama. Apa yang terjadi dengan grasi untuk Corby kali ini menunjukkan secara jelas. Dari pihak Menteri atau Wakil Menteri Hukum dan HAM saling memberikan alasan dengan kubu yang berseberangan.
Agaknya juga kita tak pernah belajar bersama atas kasus-kasus yang terjadi sehingga setiap kali mengulangi dari awal lagi. Salah satu jalan keluar dari perbebatan ala “tralala-tralili” yang terus dan tak segera terhapus adalah menegakkan tata krama pelaksanaan hukum yang selama ini sudah diatur. Bagaimana seharusnya narapidana, termasuk Corby, diperlakukan dan memperlakukan diri sehingga keringanan dalam bentuk remisi atau kemudahan lain-lain akan terlaksana dengan adil dan baik adanya.
Ini semua bisa menjadi landasan penegakan hukum secara keseluruhan. Putusan mana pun tidak membuat yang mendengar— pelaku langsung atau penonton—makan hati. Dengan demikian, kita bisa tak perlu bertanya, “Ngapain juga kasih remisi untuk Corby, iseng amat ya?” Dan tak perlu repot menjawabnya. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar