Toleransi
Gagal Lady Gaga
DP
Budi Susetyo ; Dosen Fakultas
Psikologi Unika Soegijapranata Semarang
SUMBER
: SUARA
MERDEKA, 28 Mei 2012
LADY Gaga, diva pop Amerika
Serikat menyita perhatian publik Indonesia sehubungan rencana konsernya di di
Stadion Gelora Bung Karno Jakarta, 3 Juni 2012, yang akhirnya batal.
Sosok penyanyi itu telah menjadi idola baru kalangan muda seantero dunia,
termasuk kawula muda Indonesia. Hal itu terbukti dengan banyaknya orang
Indonesia yang ingin menyaksikan langsung. Penolakan keras dari sebagian
kalangan membuat promotor membatalkan konser itu.
Sebelum ada keputusan itu pun, Lady Gaga membelah Indonesia menjadi dua pendapat, pro dan kontra, menghadapkan sesama warga negara Indonesia. Mengapa ada yang mati-matian membela dan ada yang habis-habisan membenci? Seberapa bahayakah konsernya bagi keberlangsungan budaya dan peradaban kita?
Sebelum ada keputusan itu pun, Lady Gaga membelah Indonesia menjadi dua pendapat, pro dan kontra, menghadapkan sesama warga negara Indonesia. Mengapa ada yang mati-matian membela dan ada yang habis-habisan membenci? Seberapa bahayakah konsernya bagi keberlangsungan budaya dan peradaban kita?
Bandingkan dengan beragam
ancaman yang nyata-nyata menggerogoti Indonesia. Korupsi merajalela hampir di
semua lini, ibarat kanker stadium akhir. Tiap hari ada orang meninggal sia-sia
karena mengonsumsi narkoba. Belum lagi ancaman disintegrasi bangsa akibat
konflik dan kerusuhan yang bisa memecah-belah Indonesia, dan ancaman AIDS yang
mematikan banyak orang.
Jika mengaitkannya dengan tuduhan penyebaran ajaran sesat, pemuja setan, dan berbagai stigma negatif lain yang menyudutkan, hal itu masih dapat diperdebatkan. Tatkala sebagian kalangan mengharamkan kemunculannya, Ketua Umum PBNU Said Aqil Siradj dalam sebuah kesempatan mengatakan,’’ Sejuta Lady Gaga yang datang ke Indonesia tak akan mampu menggoyahkan iman warga NU.’’
Pernyataan itu menunjukkan bahwa fenomena Lady Gaga hanyalah persoalan sudut pandang. Itulah sebenarnya yang harus kita prihatinkan. Ketika persoalan yang sebenarnya lebih kental dengan perbedaan cara pandang maka dialog menjadi cara elegan yang semestinya ditempuh, bukan lewat cara memaksakan kemauan.
Jika mengaitkannya dengan tuduhan penyebaran ajaran sesat, pemuja setan, dan berbagai stigma negatif lain yang menyudutkan, hal itu masih dapat diperdebatkan. Tatkala sebagian kalangan mengharamkan kemunculannya, Ketua Umum PBNU Said Aqil Siradj dalam sebuah kesempatan mengatakan,’’ Sejuta Lady Gaga yang datang ke Indonesia tak akan mampu menggoyahkan iman warga NU.’’
Pernyataan itu menunjukkan bahwa fenomena Lady Gaga hanyalah persoalan sudut pandang. Itulah sebenarnya yang harus kita prihatinkan. Ketika persoalan yang sebenarnya lebih kental dengan perbedaan cara pandang maka dialog menjadi cara elegan yang semestinya ditempuh, bukan lewat cara memaksakan kemauan.
Toleransi telah menjadi
karakter Indonesia dalam menyikapi keberagaman ketika menerima tamu-tamu yang
mampir. Lalu dalam kasus ini, mengapa rasa toleransi itu terbelah dan kita
menebar benci kepada tamu?
Rumah Multikultural
Bukankah perjalanan panjang Indonesia ini selalu bersinggungan dengan beragam bangsa, agama, etnis, dan budaya? Mereka yang datang ke Indonesia dengan motivasinya masing-masing telah menorehkan keberagaman. Itulah sebabnya berbagai bentuk akulturasi menjadi penanda dan mudah kita jumpai di sekitar kehidupan kita. Indonesia adalah rumah multikultural karena siapa pun yang masuk dan datang akan diterima dan diberi tempat sebagaimana mestinya.
Bukankah tidak ada apa pun atau siapa pun yang terbebas dari pengaruh keberagaman tersebut? Hal itu karena rasa toleransi yang tinggi dari bangsa ini untuk menyikapi keberagaman. Mengapa kita seolah tergagap-gagap dengan rencana konser Lady Gaga yang dampaknya belum tentu negatif seperti kita pikirkan?
Rumah Multikultural
Bukankah perjalanan panjang Indonesia ini selalu bersinggungan dengan beragam bangsa, agama, etnis, dan budaya? Mereka yang datang ke Indonesia dengan motivasinya masing-masing telah menorehkan keberagaman. Itulah sebabnya berbagai bentuk akulturasi menjadi penanda dan mudah kita jumpai di sekitar kehidupan kita. Indonesia adalah rumah multikultural karena siapa pun yang masuk dan datang akan diterima dan diberi tempat sebagaimana mestinya.
Bukankah tidak ada apa pun atau siapa pun yang terbebas dari pengaruh keberagaman tersebut? Hal itu karena rasa toleransi yang tinggi dari bangsa ini untuk menyikapi keberagaman. Mengapa kita seolah tergagap-gagap dengan rencana konser Lady Gaga yang dampaknya belum tentu negatif seperti kita pikirkan?
Mungkin saja fenomena ini
sarat muatan konflik kepentingan seperti politik, ideologi, ataupun hanya
sekadar persaingan bisnis. Mungkin saja mencari kambing hitam untuk memudarkan
nilai toleransi. Hikmah yang patut kita petik dari persoalan ini adalah
bagaimana mengatasi dan menyikapi perbedaan ini dengan cara yang lebih santun
dan beradab.
Artinya, bukan dengan cara antitoleransi seperti menebar intimidasi dan provokasi yang justru bisa mengancam rasa toleransi. Jika virus antitoleransi dibiarkan berkembang tak terbendung, ancamannya bisa melebihi dahsyatnya bahaya narkoba yang bisa memorakporandakan kesatuan. Bila pentas Lady Gaga sekadar urusan bisnis hiburan, mengapa kita menjadi terlalu tegang dan ngotot satu sama lain?
Artinya, bukan dengan cara antitoleransi seperti menebar intimidasi dan provokasi yang justru bisa mengancam rasa toleransi. Jika virus antitoleransi dibiarkan berkembang tak terbendung, ancamannya bisa melebihi dahsyatnya bahaya narkoba yang bisa memorakporandakan kesatuan. Bila pentas Lady Gaga sekadar urusan bisnis hiburan, mengapa kita menjadi terlalu tegang dan ngotot satu sama lain?
Konser Lady Gaga batal dan
publik berarti urung menyaksikan aksi ekspresi budaya yang mungkin bisa
mengasah dan mematangkan rasa toleransi itu. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar