Kamis, 31 Mei 2012

Pancasila dan Nasionalisme Religius


Pancasila dan Nasionalisme Religius
Mohammad Nasih ; Pengajar di Program Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Indonesia (UI) dan FISIP Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ), Pengurus Dewan Pakar ICMI Pusat 
SUMBER :  SINDO, 31 Mei 2012


Kelahiran Pancasila sebagai dasar bagi negara Indonesia merdeka tidak bisa dilepaskan dari gagasan tentang konstruksi negara-bangsa (nation-state).

Itulah sebab para pengusul Pancasila sebagai dasar negara dalam sidang-sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), di antaranya Soekarno dan Hatta, disebut sebagai kalangan nasionalis. Kalangan nasionalis menjadi mitra debat kalangan islamis. Disebut kalangan islamis karena mereka menggagas konstruksi Indonesia merdeka sebagai negara-Islam (Islamic-state) atau Islam sebagai dasar negara.

Walaupun sebagian besar kalangan nasionalis juga beragama Islam, mereka tidak disebut sebagai kalangan islamis dalam konteks ini karena gagasan tentang konstruksi Indonesia merdeka tidak berorientasi “hanya kepada Islam”. Kalangan nasionalis mendapatkan gagasan tentang konsep negara-bangsa dari negaranegara Eropa yang telah terlebih dulu menggunakannya.

Latar belakang sejarah kelahiran konsepsi negara-bangsa di Eropa adalah penentangan kaum reformis terhadap konsep penyatuan (integralistik) antara gereja (Katolik) dan negara. Dengan kata lain, gagasan tentang negara-bangsa di Eropa muncul karena tuntutan pemisahan antara agama dan negara. Penyatuan antara keduanya telah menyebabkan berbagai bentuk penyelewengan kekuasaan.

Namun, alur berpikir kalangan nasionalis tersebut belum bisa ditangkap secara komprehensif oleh kalangan islamis sehingga menyebabkan kalangan islamis menolak habis-habisan konsep negarabangsa. Mereka berpandangan bahwa konsep negara-bangsa adalah konsepsi tentang konstruksi negara yang sekuler yang akan menyebabkan agama terpinggirkan dari negara.

Karakter negara-bangsa sebagai konstruksi Negara Republik Indonesia sesungguhnya berbeda secara sangat signifikan dengan konsepsi negara- bangsa yang lahir di Eropa. Dengan konsepsi negara-bangsa berdasarkan Pancasila yang sila pertamanya adalah Ketuhanan Yang Maha Esa, para pendukung gagasan negarabangsa di Indonesia tidak hendak memisahkan agama dan negara, sebagaimana terjadi di Eropa, melainkan hanya tidak menjadikan agama tertentu sebagai dasar negara Indonesia merdeka.

Keislaman seorang Soekarno yang pernah menjadi murid, bahkan juga pernah menjadi menantu,HOS Cokroaminoto itu tidak bisa diragukan.Keislaman Hatta, yang pemikiran-pemikiran ekonominya dipandang memiliki dasar pijakan yang kuat dari perspektif Islam, juga tidak dapat diragukan. Keduanya berpandangan bahwa dengan mengonstruksi Indonesia sebagai negara-bangsa tidak lantas akan menyebabkan agama Islam terpinggirkan.

Apalagi mayoritas penduduk Indonesia adalah Islam. Soekarno bahkan berpandangan simpel, tapi sangat logis bahwa jika Islam terpinggirkan dalam negara yang mayoritas penduduknya Islam, kaum muslim yang ada di dalamnya perlu ditingkatkan kualitasnya. Selain itu, kebangsaan yang dimaksud di Indonesia juga berbeda dengan konsepsi kebangsaan di Eropa sebab kebangsaan di Eropa disebabkan oleh kesamaan bangsa yang lebih disebabkan oleh garis keturunan yang sama.

Namun, di Indonesia perasaan sebagai satu bangsa lebih disebabkan oleh perasaan senasib yang disebabkan oleh faktor penjajahan walaupun mereka berbeda suku, adat, ras, dan agama (SARA). Karena itu, konsepsi negara-bangsa dalam konteks ini, sebagaimana dikatakan Soekarno, bukan hendak mengerdilkan agama, melainkan hendak menempatkan agama-agama yang ada dan dipeluk oleh warga negara Indonesia dalam posisi yang sama di hadapan negara.

Dalam konteks ini, nasionalisme Indonesia dengan dasar Pancasila adalah nasionalisme religius, yakni nasionalisme yang tetap menjadikan agama sebagai dasar. Namun, agama yang dimaksud di sini bukanlah satu agama tertentu, melainkan seluruh agama yang diakui oleh negara.

Regulasi Sekuler

Karena konstruksi Indonesia adalah negara-bangsa berdasarkan Pancasila, seluruh regulasi seharusnya tidak mengatasnamakan agama tertentu. Namun, itu bukan berarti nilai-nilai agama tidak boleh masuk ke dalam regulasi-regulasi yang ada. Sebagai negara yang religius, regulasi-regulasi yang dibuat juga seharusnya selalu mempertimbangkan moralitas agama-agama yang diakui oleh negara.

Setiap pemeluk agama memiliki kesempatan untuk memperjuangkan ajaran-ajaran agama yang diyakini untuk ditransformasikan sebagai regulasi negara. Namun, produk kebijakan politik kenegaraan tersebut tidak disebut dengan sebutan formal yang bisa mengasosiasikan kepada agama tertentu. Dengan demikian, regulasi tersebut bisa diterima oleh seluruh warga negara, tanpa pandang agama mereka.

Pelabelan sebuah regulasi dengan agama tertentu akan membuat regulasi tersebut bersifat eksklusif, hanya bisa diterima oleh kalangan agama tertentu, dan tidak bisa diterima oleh kalangan pemeluk agama lainnya. Dengan kata lain, pelabelan sebuah produk kebijakan politik di segala level struktur kenegaraan, akan menimbulkan “kecemburuan” dari kalangan pemeluk agama-agama lain karena merasa dianggap sebagai penduduk kelas kedua dan seterusnya.

Setiap regulasi dalam negara-bangsa berdasarkan Pancasila haruslah dianggap sebagai sesuatu yang sekuler walaupun sesungguhnya diinspirasi oleh ajaran-ajaran agama-agama yang ada dan diakui oleh negara. Dalam konteks ini, sebuah regulasi yang diinspirasi oleh ajaran agama harus dianggap sebagai salah satu bentuk interpretasi terhadap ajaran agama, bukan agama itu sendiri.

Sebab itu, regulasi tersebut bersifat tak ubahnya sebagai konsensus belaka yang sewaktu-waktu dapat berubah sesuai dengan perkembangan situasi dan kondisi. Dengan demikian, agama akan tetap berfungsi kontributif dalam memberikan rasa, bukan warna, kepada setiap pembuatan produk kebijakan politik kenegaraan. Ini sangat penting karena rasa bisa sama dalam warna yang berbeda. Wallahu a’lam bi al-shawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar