Kekuatan
pada yang Terlemah
Adiwarman A Karim ; Peneliti di Center for Indonesian Political Studies (CIPS)
Yogyakarta
SUMBER : REPUBLIKA,
28 Mei 2012
Pekan
ini Presiden Dewan Eropa, Herman van Rompuy, akan mengundang 27 kepala negara
Uni Eropa dalam KTT khusus membahas perlunya pakta pertumbuhan. Pertemuan ini
terasa sangat relevan melihat perkembangan terakhir gejolak ekonomi yang
terjadi di negara-negara Uni Eropa, khususnya negara-negara di zona Euro. Kekuatan
mereka terletak pada mata rantai yang terlemah. Bila mata rantai terlemah ini
putus, hilanglah arti kekuatan keseluruhan rantai.
Yunani
merupakan mata rantai terlemah di antara negara zona Euro. Bila Yunani gagal
mengatasi persoalannya, ada dua hal yang akan terjadi. Pertama, dampak langsung
berupa kekacauan sementara akibat keluarnya Yunani dari zona euro, Kedua, efek
domino yang akan menyeret negara-negara terlemah berikutnya seperti Portugal,
Irlandia, Spanyol. Bila hal itu terjadi, bahkan negara sekuat Jerman dan
negara-negara zona eropa anggota 20 Besar ekonomi dunia (G20) tidak akan
sanggup menanganinya.
Transaksi
derivatif merupakan mata rantai terlemah transaksi keuangan. JP Morgan yang
memiliki aset 2,32 triliun dolar AS, dapat bertahan melalui krisis subprime
bahkan mengambil alih Washington Mutual
pada tahun 2008, ternyata kewalahan menangani transaksi derivatif. Sejak akhir
Maret 2012 JP Morgan mengalami rugi besar senilai 2 miliar dolar AS hanya dalam
enam pekan terakhir.
Secara
faktual kekuatan ekonomi domestik dan sektor riil Cina memang luar biasa, namun
banyak pihak mempermasalahkan sistem mata uang Yuan yang dinilai tidak
menggambarkan nilai tukar pasar yang sebenarnya. Mata uang Yuan Cina merupakan
mata rantai terlemah ekonomi Cina. Di satu sisi mata uang Yuan yang tidak di
perdagangkan bebas melindungi dari fluktuasi dan ketergantungan pada dolar AS
sebagai mata uang dunia, namun di sisi lain merupakan titik lemah perekonomian
Cina.
Mata
uang yang tidak diperdagangkan bebas kesulitan menentukan nilai tukarnya, salah
satu cara yang lazim menentukan nilai tukarnya adalah dengan menggunakan
instrumen derivatif nondeliverable
forward (NDF), yaitu penyelesaian transaksi berjangka diantara dua pihak.
Kekuatan keuangan counter party lah
yang akhirnya menjadi titik terlemah penentu nilai tukar.
Fenomena
ini menjadi pelajaran yang sangat berharga bagi pengembangan keuangan syariah.
Ide menyatukan industri keuangan syariah berbagai negara menjadi satu kekuatan
ekonomi global tanpa memahami mata rantai terlemah akan membawa keseluruhan
industri terjebak pada masalah global yang mungkin tidak relevan bagi
masing-masing negara, namun bila diabaikan akan membawa efek domino.
Persoalan
yang dihadapi Yunani tidak identik dengan persoalan yang dihadapi Spanyol, juga
tidak identik dengan yang dihadapi Irlandia. Bertambah runyam lagi karena
prioritas-prioritas ekonomi yang tersedia dan dipilih oleh masing-masing negara
juga berbeda. Keadaan inilah yang mendorong munculnya rasa frustasi akan
kebersamaan yang dibangun, sehingga timbul kaidah cuius regio euis religio, biarlah masing-masing negara membangun
aturannya sendiri.
Produk
komoditi murabahah yang sangat
populer di Timur Tengah memang tepat untuk keadaan mereka yang memiliki banyak
uang petro dolar namun tidak memiliki cukup pengusaha yang membutuhkan
pembiayaan.
Kelebihan
suplai dana ini sangat tepat diinvestasikan di bursa-bursa komiditi di London
dan New York melalui instrumen komoditi murabahah.
Bagi industri keuangan syariah Timur Tengah ketergantungan pada bursa komiditi
di negara-negara Barat ini merupakan mata rantai terlemahnya.
Namun
produk ini menjadi tidak relevan bagi Indonesia yang memiliki pengusaha dengan
permintaan pembiayaan yang berlimpah dibandingkan dengan ketersediaan suplai
dana. Bagi Indonesia yang paling tepat adalah mengembangkan industri keuangan
syariah untuk segmen ritel dan berbasis pengembangan sektor riil.
Perkembangan
industri keuangan syariah di Malaysia yang sangat ditopang oleh kebijakan
pemerintah, memang tepat untuk keadaan mereka yang keadaan politiknya tidak
sedinamis Indonesia. Bagi Malaysia, dukungan pemerintah ini menjadi mata rantai
terlemahnya.
Bagi
Indonesia dengan keadaan politik yang begitu dinamis, maka bergantung kepada
dukungan pemerintah bukan merupakan pilihan yang tepat karena pertumbuhan
industri keuangan syariah akan pasang surut mengikuti dinamika politik.
Mata
rantai terlemah Indonesia adalah pada dukungan masyarakat, bukan pada dukungan
pasar yang dikuasai oleh segelintir pemain besar. Itu sebabnya adalah sangat
penting bagi industri keuangan syariah di Indonesia mengembangkan basis nasabah
seluas-luasnya. Ibarat pondasi cakar ayam, semakin luas penampang pondasinya
semakin stabil dan kokoh berdiri diatas lahan yang masih sangat dinamis
bergerak. Bertumpu pada beberapa pilar besar di lahan yang dinamis bergerak
bukan pilihan yang tepat.
Bila
mata rantai terlemah ini kuat menahan beban bangunan industri keuangan syariah
yang semakin besar dan dinamika lahan dibawahnya, maka bangunan itu akan kokoh
dan stabil.
Di
masa awal Islam, budak adalah strata terlamah dalam struktur budaya Arab
Jahiliyah. Bilal bin Rabah, seorang budak, yang tetap bertahan pada keimanannya
walaupun disiksa secara luar biasa, menggambarkan kekuatan mata rantai terlemah
ummat Islam ketika itu. Amr bin Yasir, yang disiksa dan dipaksa melihat
penyiksaan luar biasa terhadap orang tua nya, namun tetap bertahan dalam
keimannya, itulah gambaran kekuatan mata rantai terlemah para sahabat
Rasulullah saw ketika itu. Bila yang terlemah saja demikian kuatnya, dapat
dibayangkan betapa dahsyatnya kekuatan ummat Islam ketika itu.
Sebagian
besar nasabah industri keuangan syariah di Indonesia adalah masyarakat kecil
yang tidak memiliki akses keuangan seluas nasabah menengah besar. Masyarakat
kecil ini bahkan bersedia membayar lebih mahal daripada nasabah menengah besar
asalkan mendapat akses keuangan yang sangat mereka perlukan. Merekalah mata
rantai terlemah industri keuangan syariah. Bila mereka memilih keuangan syariah
dengan segala keterbatasan yang mereka miliki, itulah gambaran kekuatan
penetrasi keuangan syariah.
Membangun
kembali ekonomi syariah di Indonesia bukanlah membangun gedung menjulang tinggi
ke angkasa, bukan pula membangun exhibition
hall besar dengan beberapa tiang pancang besar yang belum teruji oleh gempa
dan pergeseran lempengan benua. Membangun ekonomi syariah di Indonesia adalah
menguatkan mata rantai terlemah.
Memperbesar basis nasabah akan menurunkan
biaya, menaikkan pendapatan, dan menyebar risiko. Kearifan lokal dengan
mengambil hikmah dari perjuangan Rasulullah saw dalam mengembangkan ekonomi
syariah akan jauh lebih baik daripada terpesona dengan kemilau ekonomi syariah
di negara lain yang ibarat gedung-gedung pencakar langit dan exhibition hall. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar