Lady
Gaga dan Diplomasi RI
Darmansjah Djumala ; Diplomat
Indonesia, Saat Ini Bertugas di Polandia
SUMBER
: KOMPAS,
29 Mei 2012
Akhirnya ingar-bingar pro dan kontra konser
Lady Gaga di Jakarta usai sudah. Melalui pihak promotor di Indonesia, Big Daddy Entertainment, manajemen Lady
Gaga membatalkan konser karena alasan tidak adanya jaminan keamanan.
Diungkapkan dalam pernyataannya, pembatalan
konser itu didasarkan pada observasi atas perkembangan protes kelompok tertentu
yang menjurus pada ancaman dan kekerasan (Kompas.com, 27 Mei 2012). Bukan hanya
keamanan sang bintang yang terancam, melainkan juga keamanan calon penonton
yang diperkirakan 50.000 orang.
Secara umum, argumen pihak-pihak yang pro dan
kontra terhadap konser Lady Gaga berpusar pada dua kutub pandangan. Di satu
pihak lebih mengedepankan moralitas, di pihak lain lebih mengutamakan
penghargaan atas kebebasan berekspresi.
Galibnya negara demokratis dan pluralistik,
pro-kontra terhadap satu masalah mesti diberi hak hidup karena ia adalah sebuah
keniscayaan. Namun, ketika keputusan pembatalan itu disebabkan oleh ancaman dan
kekerasan, fenomena Lady Gaga ini membentangkan ruang ramifikasi permasalahan
yang sangat luas. Bagaimana membaca fenomena ini dari perspektif politik luar
negeri dan diplomasi?
Diplomasi Pencitraan
Setelah pulih dari krisis pada 1998,
diplomasi Indonesia difokuskan pada upaya pencitraan di luar negeri. Diplomasi
pencitraan bagi sebuah negara mutlak perlu sebagai upaya untuk memperoleh
kepercayaan dunia.
Dalam dunia yang penuh persaingan, citra dan
kepercayaan seakan jadi mantra politik dalam menjalin hubungan internasional.
Namun, citra apa yang hendak diproyeksikan?
Setidaknya ada tiga citra utama yang saat ini
diusung oleh politik luar negeri dan diplomasi RI. Pertama, citra sebagai
negara demokratis. Francis Fukuyama dalam The
End of History and the Last Man (1992) meramalkan, setelah ambruknya
komunisme dunia akan bicara dengan bahasa yang nyaris sama: demokrasi dan
pasar. Demokrasi dan ekonomi pasar, dengan segala varian kebijakannya, telah
jamak jadi parameter dalam menakar peningkatan hubungan antarnegara.
Dalam suasana kebatinan dunia seperti inilah
Indonesia memainkan citranya sebagai negara demokratis. Di tengah keraguan
dunia bahwa Islam sulit menerima demokrasi, justru Indonesia memberi contoh:
Islam dan demokrasi tak perlu dipertentangkan, malah saling mengisi.
Kedua, citra Indonesia sebagai negara
mayoritas Muslim moderat. Sentimen politik internasional pasca-tragedi Menara
Kembar di New York telah mengerek wacana Islam ke puncak agenda global. Ketika
Barat menuduh dan Islam menjawab dengan radikalisme, diplomasi Indonesia tampil
dengan sikap moderat. Citra Muslim moderat ini telah memungkinkan Indonesia
berperan sebagai jembatan bagi dua pihak yang saling menyalahkan.
Ketika dunia menatap Islam penuh curiga
sebagai biang terorisme, kita menyampaikan pesan kepada dunia: masih banyak
Muslim di Indonesia yang menentang radikalisme agama. Moderasi politik Islam
Indonesia seperti inilah yang membuat dunia percaya bahwa Islam Indonesia bukan
ancaman.
Ketiga, citra sebagai negara pluralistik.
Jika masyarakat menjunjung tinggi demokrasi, ia akan menjauhi sikap radikal dan
menonjolkan sikap moderat. Jika sudah moderat, ia akan menghargai keberagaman
dan perbedaan. Sifat pluralistik yang menghargai kebinekaan merupakan resultan
dari karakter demokratis dan moderat suatu bangsa.
Ketiga citra itu—demokratis, moderat, dan
pluralistik—telah menempatkan Indonesia ke dalam arus utama pergaulan
internasional. Tak sulit kemudian menjelaskan mengapa Iran, yang GDP-nya masuk
20 besar dunia, tak diajak dalam G-20. Dalam takaran akseptabilitas
internasional, Indonesia jelas lebih baik daripada Iran. Juga Thailand, yang
GDP-nya lebih besar daripada Afrika Selatan yang anggota G-20, tak diundang
dalam forum ekonomi bergengsi itu. Singkat kata, yang membedakan Indonesia dan
Afrika Selatan dengan Thailand dan Iran adalah demokrasi, moderat, dan
pluralistik.
Diplomasi pun Tercederai
Namun, diplomasi pencitraan dengan tiga ciri
itu tidak bergerak dalam ruang kosong. Ketiga citra itu dikembangkan justru di
tengah masyarakat yang sedang bertransformasi jadi lebih transparan dan
partisipatif, buah dari demokrasi itu sendiri.
Fareed Zakaria (The Future of Freedom, 2003) mengingatkan, ada dua implikasi
gelombang demokratisasi: berubahnya struktur kekuasaan dan kontrol negara serta
merosotnya wibawa negara. Gonjang-ganjing Lady Gaga di satu pihak telah
mempertontonkan negara tidak mampu menjamin keamanan dari ancaman kelompok
tertentu seperti diungkapkan promotor konser. Di pihak lain, ada kelompok
tertentu di masyarakat yang belum bisa menerima keberagaman.
Ancaman dan kekerasan dalam memperjuangkan
aspirasi jelas mencederai diktum demokrasi yang menghargai keberagaman. Ancaman
dan kekerasan yang mewarnai konser Lady Gaga mencederai diplomasi pencitraan RI
di luar negeri.
Teori diplomasi klasik mengajarkan,
pelaksanaan politik luar negeri dan diplomasi merupakan cerminan politik dalam
negeri. Seturut dengan ini, diplomasi pencitraan di luar negeri semestinya
mencerminkan kenyataan politik di dalam negeri.
Oleh karena itu, konsistensi antara tema yang
diusung dalam diplomasi pencitraan di luar negeri dan karakter masyarakat di
dalam negeri harus dijaga. Jika ingin tetap menjaga citra Indonesia yang demokratis,
moderat, dan pluralistik di luar negeri, Indonesia harus mendidik bangsanya
untuk menghargai nilai-nilai demokrasi, bersikap luwes, dan menghargai
keberagaman. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar