Ketahanan
Pangan
Khudori ; Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik
Indonesia (AEPI),
Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan
Pangan Pusat (2010-2014)
SUMBER : REPUBLIKA,
29 Mei 2012
Kinerja
produksi pangan strategis Indonesia belum stabil. Dalam beberapa tahun terakhir,
ada kecenderungan produksi terus menurun. Pada 2011, semua produksi pangan
strategis (beras, jagung, kedelai, dan gula) menurun.
Produksinya
belum bisa memenuhi pertambahan permintaan pangan dalam negeri. Laju produksi
beras turun 1,6 persen, jagung turun enam persen, kedelai turun empat persen,
dan gula turun 1,8 persen. Target surplus beras 10 juta ton serta target
swasembada gula dan kedelai pada 2014 akan amat sulit dicapai.
Hal
ini terjadi bukan saja karena degradasi kualitas lahan dan lahan kian kelelahan
(soil fatique), yang keduanya membuat
produktivitas pangan melandai. Akan tetapi, juga karena konversi lahan
pertanian ke non-pertanian berlangsung kian massif.
Rentang
1992-2002, laju tahunan konversi lahan baru 110 ribu hektare dan periode
2002-2006 melonjak menjadi 145 ribu hektare per tahun. Ironinya, semakin tahun
laju konversi lahan kian besar.
Rentang
2007-2010, di Jawa saja laju konversi rata-rata 200 ribu hektare per tahun.
Lahan (sawah beririgasi teknis, nonteknis, dan lahan kering) di Jawa pada 2007
masih 4,1 juta hektare, tapi kini hanya tinggal 3,5 juta hektare.
Salah
satu persoalan besar bangsa ini di masa depan adalah bagaimana menjamin
ketersediaan pangan yang cukup bagi perut semua warga. Jika KB berhasil, pada
2030 penduduk Indonesia mencapai 425 juta jiwa.
Agar
semua perut kenyang, dibutuhkan 59 juta ton beras. Karena, luas tanam padi
sekarang 12 juta hektare, pada saat itu diperlukan tambahan luas tanam baru
11,8 juta hektare. Itu baru kebutuhan beras. Belum termasuk jagung, gula,
kedelai, umbi-umbian dan sayuran.
Berbagai
terobosan telah dilakukan pemerintah. Misalnya, pengembangan lahan pangan skala
(food estate) besar di Merauke, Merauke Integrated Food Estate. Program
ini mandek. Sampai sekarang antara pemerintah dan pengusaha belum menemukan
titik temu: siapa mengerjakan apa dan siapa dapat apa?
Demikian
pula program produksi pangan dengan melibatkan BUMN. Semua terobosan itu belum
menunjukkan hasil berarti. Mungkin karena itu, Menteri BUMN berencana membentuk
BUMN Pangan. Masih jadi pertanyaan besar apakah rencana Menteri Dahlan Iskan
bisa menjadi jawaban.
Tentu
berbagai terobosan itu mesti diapresiasi. Masalahnya, tanpa penambahan lahan
pangan dan mempertahankan lahan pangan yang ada sekarang, mustahil berbagai
terobosan itu bisa menyelesaikan masalah permintaan pangan di negeri ini yang
terus meningkat.
Laju
permintaan pangan di Indonesia sekitar 4,87 persen per tahun. Ini hasil
perkawinan laju pertumbuhan penduduk 1,49 persen, pertumbuhan pendapatan 6,5
persen, dan elastisitas pendapatan terhadap pangan 0,52 (Arifin, 2012).
Artinya,
laju suplai pangan harus di atas lima persen agar bisa mengimbangi laju
permintaan. Padahal, sejarah membuktikan sangat tidak mudah mendongkrak
produksi pangan dengan laju sekitar lima persen per tahun.
Kemampuan
pemerintah mencetak sawah baru yang dibiayai oleh APBN amat terbatas: hanya
40.000 hektare per tahun. Selain perlu meningkatkan kinerja pencetakan lahan
pangan baru, yang tak kalah penting adalah pengendalian konversi lahan pangan.
Tanpa usaha serius mengerem konversi, lahan pertanian, terutama di Jawa,
terancam punah.
Meskipun
terus mengalami tekanan, selama ini sekitar 56-60 persen produksi padi masih
bertumpu pada sawah-sawah subur di Jawa. Dengan dukungan irigasi teknis, sawah
di Jawa memiliki produktivitas yang tinggi (51,87 kuintal/hektare) ketimbang
sawah di luar Jawa (39,43 kuintal/hektare ), sehingga Jawa menghasilkan surplus
beras.
Jika
konversi lahan tak terkendali, surplus pangan, terutama beras, tidak akan
terjadi. Rawan pangan meruyak. Tenaga kerja di sektor pertanian kehilangan
pekerjaan, jumlah penganggur meningkat. Ini akan menimbulkan kerawanan sosial.
Arus urbanisasi tidak terbendung lagi. Ini akan membiakkan masalah baru di
kota.
Secara
politik, rawan pangan juga bisa membuat politik terguncang. Diakui atau tidak,
jatuhnya Presiden Soekarno dan Presiden Soeharto dari singgasana kekuasaan
dipercepat karena masalah pangan. Harga-harga pangan yang melambung dan tidak
terbeli oleh kantong memicu penjarahan di mana-mana. Saat perut lapar, orang
tidak takut, dengan mesiu sekalipun.
Sebetulnya,
kita sudah memiliki payung hukum yang kuat untuk mencegah konversi lahan
pertanian, yaitu UU No 41/2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan
Berkelanjutan. Agar operasional, UU ini juga sudah dilengkapi dengan sejumlah
Peraturan Pemerintah. Kenyataannya, konversi lahan pertanian masih terus
terjadi. Sulit membantah bahwa UU No 41/2009 mandul.
Seperti
yang sudah-sudah, pendekatan legalistik semacam ini tidak bisa menyelesaikan
masalah karena tidak menyentuh jantung persoalan. Sebagian besar petani yang
mengonversi lahan karena terdesak kepentingan ekonomi.
Ini terjadi karena lahan sempit tak cukup memenuhi kebutuhan hidup mereka.
Dari
sisi petani, agar bisa keluar dari kemiskinan, tanah, modal, pengetahuan dan
teknologi, serta akses pasar menjadi kebutuhan primer. Tidak cukup dengan
redistribusi tanah (landreform).
Sejarah
mengajarkan, karena tidak didukung infrastruktur penunjang, redistribusi tanah
ternyata menyebabkan produksi menurun beberapa tahun. Makanya, perlu program
penunjang, program plus, yakni perkreditan, penyuluhan, pendidikan, latihan,
teknologi, pemasaran, manajemen, dan infrastruktur.
Inilah
landreform plus atau reforma agraria.
Tanpa usaha mengentaskan petani dari kemiskinan, bisa dipastikan berbagai usaha
untuk mencegah konversi lahan akan menemui jalan buntu. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar