Corby
dan Gaga
Acep Iwan Saidi ; Ketua Forum Studi Kebudayaan ITB
SUMBER : KOMPAS, 30
Mei 2012
Di tengah lalu lalang politikus busuk, di
antara gentayangan perampok negara di sejumlah instansi pemerintah, dan di
sela-sela persoalan lain yang membukit di negeri ini, dalam pergaulan
internasional di manakah kita akan menyimpan muka?
Lihatlah, muka kita tercoreng kontroversi
Lady Gaga dan ratu narkoba Corby. Pada saat yang sama, tangan Taufik Hidayat cs
dipatahkan Jepang sehingga mimpi menggapai prestasi dan prestise bulu tangkis
remuk sudah. Hemat ungkap: isu Gaga membuat bangsa ini seolah tak punya budaya,
kekalahan Taufik bikin martabat olahraga terjun ke jurang, dan grasi SBY untuk
Corby menggenapkan kita sebagai bangsa yang hina.
Lantas, bagaimanakah semua itu mesti diurai?
Sepertinya kita telah susah mencari bahasa. Kita sudah melakukan banyak cara,
mulai dari yang santun hingga paling kasar. Pagar Gedung MPR/DPR/DPD telah
diruntuhkan, foto presiden telah acap dibakar, beberapa orang telah rela
dipenjara, yang lain bahkan mengorbankan diri dalam api (ingat kasus aktivis
Sondang Hutagalung!).
Mungkinkah kita sampai pada apa yang ditulis
Chairil Anwar: ”Ini kali tidak ada yang
mencari cinta/di antara gudang, rumah tua, pada cerita/tiang serta
temali/Kapal, perahu tiada berlaut/menghembus diri dalam mempercaya mau berpaut”.
Kiranya kita memang sudah tidak bisa lagi
menyusun kontrak dengan raja seperti dilakukan Chairil: ”Ayo, Bung Karno, kasi tangan mari kita bikin janji!”
Kini semua janji telah diingkari. Kita
tinggal rangka. Selebihnya, meminjam ungkapan tokoh Oscar Yakob dalam drama
Lawan Catur karya Kenneth Arthur, kita hanya melihat ”dusta dari puncak hingga ke dasar!”
Metafora
Kejahatan
Kesabaran ada batasnya, demikian ungkapan
klise, ”metafora mati”, kata Paul Ricoeur (1978). Namun, kiranya kini kita
memang sudah tidak bisa merangkai ”metafora hidup”. Kita sudah kehilangan
imajinasi. Tidak ada lagi dalam ingatan tentang tabiat penguasa yang ajek,
apalagi teladan. Tidak ada dalam kepala, sejarah politikus dan aparatur negara
yang amanah, apalagi sebagai panutan.
Rakyat hanyalah lahan mata pencarian yang
dikelola dengan mengatasnamakan penyelamatan ekonomi, penjaminan demokrasi,
bahkan penegakan hukum. Sebagai alibi, semuanya mati dalam bahasa. Dan, pada
titik inilah, pada saat kita tak mampu lagi menyusun metafora hidup, metafora
mati menjadi bumerang. Pada batasnya, kesabaran akan bangkit menjadi vampir
yang liar: people power!
Tentu kita tidak mau terus-menerus terpuruk
dalam jurang kenistaan, sekaligus menghindari penyelesaian oleh ”vampir
kesabaran”. Namun, bersamaan dengan hal itu, jika hanya berdiam diri
menyaksikan kebebalan demi kebebalan, kita pun ikut bebal. Hal paling
mengerikan dari tindak kejahatan adalah ketika aura kejahatannya hilang. Pun
ketika kita melihat kebebalan sebagai hal biasa.
Oleh sebab itu, di samping tindakan konkret
melalui lembaga semacam Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dua hal harus
terus-menerus dilakukan. Pertama, selalu mengartikulasikan kejahatan dan
kebebalan agar auranya terus terbarukan. Aura kejahatan korupsi, misalnya, akan
hilang jika tindakan itu terus-menerus disebut korupsi. Perlu diterakan
metafora lain, seperti perampok atau garong.
Kedua, ketika negara dalam keadaan harus
ditolong seperti sekarang, yang pertama mesti dilakukan adalah membantu
penguasa mendudukkan kepalanya pada posisi yang sehat.
Pada kasus grasi untuk Corby, misalnya, SBY
mungkin memiliki ”nalar jual beli bilateral” sehingga dengan itu grasi yang ia
berikan tidak gratis: ini sebuah transaksi yang boleh jadi menguntungkan.
Namun, SBY lupa—dan ini yang mesti diingatkan—bahwa di atas nalar jual beli
tersebut terdapat nalar lain yang jauh lebih penting, yakni nalar moralitas dan
martabat hidup berbangsa. Nalar ini memang tidak serta-merta membuahkan
”fulus”, tetapi pemilihannya adalah investasi tidak terbatas untuk jangka
panjang.
Pemimpin besar pastilah akan memilih nalar
ini. Sayang, SBY memilih nalar instan—yang bernafsu memanen padi petang hari
atas benih yang ditanam pagi harinya—menunjukkan bahwa ia bukan pemimpin
demikian.
Karakter
Berbangsa
Lantas Gaga. Sampai esai ini ditulis, sang
Lady belum lagi tiba di sini. Namun, kita tahu efek psikologisnya telah meledak
jauh-jauh hari. Mesti dipahami, kasus Gaga bukan melulu soal show artis
populer. Bukan pula sekadar isu pornografi dan pertunjukan hasrat di atas
panggung. Ini juga bukan cuma soal ketersinggungan agama. Ini soal karakter dan
sikap mental hidup berbangsa.
Kita boleh menyusun sejuta argumen tentang
budaya kontemporer, tetapi kita tetap tidak bisa mengelak bahwa identitas
berbangsa itu penting dan karenanya politik identitas menjadi harus. Jadi,
mula-mula soalnya bukan mengizinkan atau melarang, melainkan bagaimana sebagai
bangsa—melalui ketegasan pemimpinnya—kita memiliki sikap yang jelas dan
berwibawa untuk menerima atau menolak.
Berkali-kali dan oleh sejumlah pihak telah
disampaikan bahwa kita butuh pemimpin yang kuat, cerdas, berwibawa, dan bebas
dari kepentingan politik sesaat. Kini, lihatlah, tanpa pemimpin demikian,
negara tidak lagi memiliki ideologi sehingga tidak jelas ke mana langkah
mengarah. Bagaimana mau ajek berdiri jika tidak punya fondasi. Jangankan
membangun karakter, ngurus bulu tangkis saja tidak mampu.
Mesti dipahami, kalahnya Taufik cs oleh
Jepang pada perempat final Piala Thomas dan Uber bukan serta-merta kekalahan
kompetisi olahraga bulu ayam itu, melainkan representasi dari terus-menurus
terpuruknya pengelolaan kehidupan berbangsa. Ingatlah juga, bulu tangkis adalah
monumen yang telah susah payah dibangun sejarah.
Potret Taufik di Kompas, 24/5, adalah
tragedi. Berjalan membelakangi kamera, Taufik melambaikan tangan. Ia seperti
sedang berkata, ”Selamat jalan prestasi, selamat berpisah prestise, terpuruklah
negeriku!”
Lantas, ke manakah Taufik (kita) melangkah?
Sepanjang tidak punya pemimpin berkualitas, kita hanya akan bersimpuh di kaki
peradaban yang dibangun orang lain: macam Corby dan Gaga! ●
Tulisan yang bagus
BalasHapusmiris gan................:'(
BalasHapus