Warna
Polisi Kita
Budi Hatees ; Peneliti di Matakata Institute
SUMBER : KORAN
TEMPO, 29 Mei 2012
Jika
warna dijadikan tanda untuk menyebut sesuatu, warna yang cocok untuk menandai
eksistensi Kepolisian RI adalah abu-abu. Hitam bukan, putih pun tidak. Warna
yang suram. Warna dari sesuatu yang tak jelas sikapnya.
Soal
warna Polri ini belakangan kembali menyeruak. Korps Bhayangkara disorot sangat
tajam, dikritik sangat kejam. Institusi yang berada di bawah Presiden Republik
Indonesia ini diposisikan sebagai satu-satunya institusi yang sikapnya tidak
pernah jelas.
Tapi
publik selalu mendengar klaim keberhasilan atas nama Polri. Mulai urusan
eksternal sampai internal, Polri selalu mengkampanyekan diri telah sukses
melakukan banyak program, terutama program-program berkaitan dengan semangat
reformasi Polri yang didengungkan sejak dulu. Padahal realitas yang ada
menunjukkan hal yang bertolak belakang, karena polisi masih saja seperti dulu.
Perkembangan
reformasi Polri hanya klaim. Di satu sisi, polisi mengklaim tahap pertama Grand
Strategy Polri 2005-2025 sukses mengembalikan kepercayaan publik (trust
building) terhadap institusi Polri. Sukses ini karena reformasi Polri
berhasil mengedepankan paradigma baru sebagai polisi sipil. Bahkan grand
strategy pembangunan Polri tahap kedua berupa peningkatan kerja sama dengan
ragam stakeholder (partnership building) selama masa 2010-2014
diklaim juga memperlihatkan kemajuan yang signifikan.
Tapi,
di sisi lain, publik melihat pendekatan keamanan yang dilakukan polisi dalam
menjalankan tugas dan tanggung jawabnya lebih berorientasi pada kepentingan
negara dan mengabaikan faktor-faktor kemanusiaan. Bahkan hubungan Polri dengan stakeholder
lain, seperti aparat penegak hukum lainnya, justru mempertontonkan hal yang
sangat memalukan. Pertarungan polisi dengan hakim terkait dengan penegakan
hukum terhadap pelaku tindak pidana korupsi, seperti yang terjadi dalam kasus
korupsi dana anggaran pendapatan dan belanja daerah oleh mantan Bupati Lampung
Tengah serta mantan Bupati Lampung Timur jauh dari hubungan partnership
building itu. Konon pula, kerja sama Polri dengan stakeholder
lainnya, seperti Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), yang pengurus barunya,
periode 2012-2016, baru saja ditetapkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Paradigma
baru sebagai polisi sipil yang melayani publik dan menjadikan dirinya sebagai public
service organization sesungguhnya hanya ada dalam Grand Strategy
Polri 2005-2025 dan Rencana Strategis Polri 2010-2014. Dalam keseharian, polisi
justru semakin menjauh dari kepentingan publik. Polisi lebih dekat sebagai
penjaga kepentingan negara, sehingga mindset polisi terhadap tugas dan
tanggung jawab sebagai penjaga keamanan serta ketertiban masyarakat justru
memposisikan masyarakat sebagai entitas yang harus diawasi dan diamankan.
Sukar
mengharapkan Korps Bhayangkara akan tampil sebagai bagian yang inheren dari
kehidupan masyarakat. Pasalnya, kultur kerja di lingkungan Polri dibangun dalam
sistem birokrasi yang tidak dipersiapkan untuk melayani publik. Selain itu,
setiap anggota Polri “dipaksa” oleh sistem yang ada untuk tidak terlalu
memikirkan soal kompetensi, karena pemimpin dalam manajemen “dipaksa” oleh
kondisi untuk mengabaikan persoalan kompetensi itu.
Akibatnya,
prestasi kerja di lingkungan Korps Bhayangkara bukan hal utama. Yang terpenting
adalah kepatuhan anggota terhadap kesatuan sebagaimana menjadi Kode Etik
Profesi Polri. Kepatuhan itu sekaligus dapat diartikan sebagai kesetiaan
terhadap pemimpin, sehingga seorang pemimpin akan selalu menjadi teladan bagi
anggotanya. Begitu juga halnya dengan unsur pimpinan di lingkungan Polri,
selalu akan menjadikan pemimpinnya sebagai teladan.
Kode
Etik Profesi Polri sangat mengikat setiap anggota dalam kultur tugas untuk
selalu menghormati para komandan. Besar kemungkinan penegakan disiplin di
lingkungan Polri hanya akan tajam terhadap para anggota di level bawah, tapi
tumpul jika berhadapan dengan anggota Polri yang pangkatnya ada di level atas.
Pasalnya,
stratifikasi sosial di lingkungan Polri sangat ketat. Levelitas berlaku dalam
segala situasi dan kondisi. Mereka yang berada di level paling bawah, sejak
pertama kali masuk sebagai anggota Korps Bhayangkara, sudah menjatuhkan
pilihannya untuk tetap berada di level paling bawah. Mereka yang ingin mencapai
level atas harus berjuang keras dengan mengikuti sejumlah tingkatan pendidikan
di lingkungan Polri, yang ternyata juga tidak mudah bagi setiap anggota Polri
untuk masuk ke dalam lingkungan pendidikan itu.
Karena
itu, sangat beralasan jika polisi diam saja saat menyaksikan organisasi
kemasyarakatan melakukan tindak kekerasan, seperti pembubaran diskusi dan
peluncuran buku Allah, Liberty and Love karya Irshad Manji di Teater
Salihara, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, beberapa waktu lalu. Mungkin polisi
condong menafsirkan kegiatan diskusi dan peluncuran buku itu dapat merugikan
kepentingan negara, meskipun publik tak pernah memahami kepentingan seperti apa
yang dimaksud.
Hal
seperti ini akan terus berulang dilakukan polisi jika orientasi institusi ini
dalam menjalankan tugas bukan untuk kepentingan kemanusiaan. Maka institusi
Polri tidak bisa dibiarkan bekerja sendiri mengurusi institusinya. Polri
membutuhkan campur tangan stakeholder lainnya, yang bertujuan
memperbaiki profesionalitas insan Bhayangkara.
Dalam
banyak kesempatan, Presiden Yudhoyono mengharapkan Korps Bhayangkara bermitra
dengan Kompolnas. Tapi harapan ini tampaknya tidak akan membawa hasil
signifikan, mengingat persoalan sesungguhnya ada pada sistem yang telah
membentuk kultur kepolisian kita. Kultur di lingkungan Polri memaksa anggota
Korps Bhayangkara lebih mempercayai lingkungan internalnya, sehingga eksistensi
Kompolnas bagi Polri hampir tidak mendapat pengakuan.
Kompolnas
sendiri hanya sebuah lembaga yang lebih banyak bekerja sebagai ombudsman untuk
memberi saran kepada Presiden berkaitan dengan kinerja Polri. Komisi itu hanya
lembaga “pembisik” dan penyampai saran-saran terkait dengan cara mereformasi Polri
sehingga tampil seperti keinginan segenap lapisan masyarakat.
Artinya,
Kompolnas “bermitra” dengan presiden, bukan dengan Polri. Saran-saran dari
Kompolnas menyangkut eksistensi dan kredibilitas Polri, termasuk kapasitas dan
kompetensi sumber daya manusia Korps Bhayangkara, hanya bisa disampaikan kepada
presiden. Jika ternyata output dari saran-saran Kompolnas itu tidak ada,
tak berarti Kompolnas tidak melakukan tugas dan tanggung jawabnya, tapi karena
eksekusi atas saran-saran itu ada di tangan Presiden Republik Indonesia.
Akibatnya,
Kompolnas selalu disudutkan. Peran yang dimainkan Kompolnas selama ini
dipandang tak bisa mengubah citra Polri menjadi lebih baik di mata publik.
Sinergisitas antara Polri dan Kompolnas tidak kunjung membawa perubahan berarti,
karena Kompolnas tidak punya wewenang memastikan ada-tidaknya eksekusi atas
laporan tersebut.
Selain
itu, eksistensi Kompolnas sebagai lembaga yang berdiri sendiri masih berada di
bawah bayang-bayang Polri. Terutama berkaitan dengan anggaran untuk kinerja
Kompolnas yang masih menginduk pada anggaran Polri dalam Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara, sehingga tingkat ketergantungan Kompolnas kepada Polri
sangat tinggi. Selama anggaran Kompolnas masih menginduk pada anggaran untuk
Polri, sulit mengharapkan Kompolnas mampu bekerja profesional sebagaimana
seharusnya. ●
mantap,,,,tulisannya,,,,ijin komandan kalau copy paste,,,,,,www.jalurberita.com
BalasHapus