Pedang
Rakyat bagi Pelaku Korupsi
Marwan Mas ; Guru
Besar Ilmu Hukum Universitas 45, Makassar
SUMBER : SUARA
KARYA, 30 Mei 2012
Proses penanganan kasus korupsi di negeri ini, selain menimbulkan
kejutan juga menuai kecaman publik. Korupsi kelas kakap yang melibatkan elite
politik dan kekuasaan begitu sulit tersentuh hukum, hanya dijadikan mainan
politik dan dipolemikkan di ruang publik. Itu yang membuat rakyat semakin muak
dan marah. Kalaupun diproses hukum, hanya menyentuh pelaku pinggiran dan tidak pernah
sampai pada pelaku sesungguhnya.
Padahal, korupsi selalu melibatkan banyak
orang dan bergerak secara sistematis.
Baru-baru ini, kemarahan rakyat diperlihatkan oleh seorang lelaki
bernama Deddy Sugarda dengan membacokkan pedang kepada terdakwa Sistoyo usai
menjalani sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Bandung, Rabu (29/02).
Sistoyo yang bertugas di Kejaksaan Negeri Cibinong, Bogor ditangkap tangan oleh
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menerima suap Rp 100 juta dari terdakwa
kasus penipuan dan penggelapan yang ditanganinya. Peristiwa ini telah menandai
betapa rakyat yang diwakili Deddy begitu marah pada perilaku korupsi aparat
hukum yang seharusnya menegakkan hukum.
Deddy membacok lantaran sakit hati kepada aparat penegak hukum
yang melakukan korupsi (menerima sogok), tak ubahnya pengkhianat terhadap
rakyat dan negara. Malah sebelumnya, ia pernah merencanakan hal yang sama
terhadap Cirus Sinaga, jaksa yang didakwa dalam kasus pemalsuan surat rencana
tuntutan terhadap Gayus Tambunan. (Media Indonesia, 1/3/2012)
Kasus di atas disebut Satjipto Rahardjo (Alm), Sang Begawan
Sosiologi Hukum sebagai upaya masyarakat "mereferendum hukum" dalam
bentuk menghakimi sendiri pelaku kejahatan akibat tidak percaya pada proses
hukum dan putusan hakim.
Ringannya vonis hakim dibanding tuntutan penuntut umum terhadap
terdakwa korupsi, tak pelak menimbulkan antipati rakyat. Memang, sudah banyak
yang dijatuhi pidana penjara, tetapi anehnya tidak menimbulkan efek jera atau
membuat rasa takut bagi calon koruptor lain yang antri di berbagai instansi
pemerintahan. Mereka tinggal menunggu kesempatan mewujudkan niatnya lantaran
hukuman yang dijatuhkan tidak setimpal dengan besarnya uang rakyat yang
dikorup.
Pedang yang digunakan Deddy untuk membacok terdakwa adalah benar-benar
pedang, bukan "pedang hukum". Deddy mungkin sadar bahwa pedang hukum
yang sedang berjalan di pengadilan tidak akan mampu melahirkan keadilan
substantif, sehingga harus memakai pedang rakyat. Koruptor tidak mungkin
diberantas dengan pedang hukum yang tumpul terhadap elite negara dan aparat
hukum, tetapi tajam terhadap rakyat kecil.
Jaksa dan hakim yang bergulat di ruang pengadilan, tak ubahnya
seperti panggung sandiwara yang mengelabui rakyat. Sederet kasus bagaimana
hakim dan jaksa bermuka ganda mudah ditemui. Begitu garang saat memimpin sidang
atau menuntut terdakwa korupsi yang ditanganinya, tetapi begitu lembek saat
melihat lembaran rupiah yang disodorkan penyuap. Apa karena gaji dan tunjangan
yang diberikan negara tidak mencukupi kebutuhannya, atau memang karena sudah
terjerat kehidupan konsumtif, atau bahkan karena serakah? Renumerasi dan
kenaikan gaji berkala setiap tahun tidak membuat mereka bersyukur. Tampaknya
mereka tidak mau melihat ke bawah pada pekerja pabrik atau kuli bangunan yang bekerja
dengan cucuran keringat dengan gaji sangat rendah.
Sudah waktunya berani memaknai kultur sebagian masyarakat yang
acapkali latah meniru suatu tindakan demi menolong diri sendiri (self help). Sebuah model perilaku yang
boleh jadi akan terus terjadi, misalnya, ada hakim dan jaksa dilempari sepatu
oleh terdakwa atau pengunjung sidang. Fenomena ini akan dengan mudah ditiru
oleh mereka yang sudah kehabisan kesabaran. Sehingga, ulah Deddy yang nekat
membacok terdakwa korupsi boleh jadi akan ditiru orang lain jika tidak ada
perbaikan secara serius dalam penegakan hukum yang berpihak pada kebenaran dan
keadilan.
Salah satu contoh pengadilan rakyat yang saya urai dalam disertasi
saya, adalah peradilan korupsi di Desa Keboromo, Kecamatan Tayu, Kabupaten
Pati, Jawa Tengah sekitar tahun 2003. Rakyat mengadili sendiri kepala desa,
perangkat desa, Ketua Badan Perwakilan Desa (BPD) yang diduga melakukan korupsi
atas uang ganti rugi tanah proyek jalan lingkar Kota Tayu. Rakyat menunjuk
Soehirman, tokoh masyarakat sebagai "hakim tunggal", dan atas
ketegasan hakim sesuai kehendak rakyat menuntut pelaku mengembalikan semua uang
ganti rugi sebesar Rp 89,8 juta.
Setelah uang dikembalikan, memang warga menganggap persoalan untuk
bantuan desa sudah selesai, tetapi tetap menyerahkan kepada kepolisian untuk
diproses sesuai hukum yang berlaku. Uang yang dikembalikan itu disita penyidik
sebagai barang bukti dan diproses di pengadilan sampai para terdakwa dijatuhi
hukuman antara 4-5 tahun.
Mengkaji peradilan rakyat ini tentu tidak dibenarkan dalam sistem
peradilan. Tetapi, warga menilai uang hasil korupsi bisa menguap jika
diserahkan pada peradilan formal. Diserahkannya kembali pada proses hukum
setelah uang dikembalikan, sebetulnya sejalan dengan Pasal 4 UU Nomor 31/1999
tentang Tindak Pidana Korupsi, bahwa pengembalian uang negara yang dikorupsi
tidak menghapuskan pemidanaan.
Pengadilan rakyat merupakan reaksi kritis untuk menolong diri
sendiri tanpa mengikuti perintah dari atas, meskipun tetap diserahkan ke polisi
setelah uang hasil korupsi dikembalikan. Betapa tidak, hakim tunggal yang
ditunjuk warga bisa bersikap adil dan mampu menunjukkan ketegasannya sehingga
dalam jangka waktu empat hari, uang yang diselewengkan dikembalikan.
Berkaca pada tindakan Deddy, tentu tidak sulit untuk dimengerti
karena yang diperangi ternyata teman sendiri. Tetapi, hal ini tidak boleh
dibiarkan terus terjadi, dengan catatan seruan jihad melawan korupsi bukan
hanya slogan. Negeri ini harus dibuat "neraka
bagi para koruptor". ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar