Putusan
MA dan Perintah Penahanan
Trimoelja D Soerjadi; Advokat
SUMBER : KOMPAS, 30
Mei 2012
Courts can be empowered to act in the
interests of fairness and may be allowed to reach a contra legem decision at
the discretion of the judge.
BE Smith
BE Smith
Berita ”Putusan Mahkamah Agung Tak Dapat
Dieksekusi” (Kompas, 18/5) dan ”Perintah Penahanan Tidak Diperlukan” (Kompas,
19/5) berkenaan dengan sinyalemen ketua Komisi III DPR tentang sejumlah putusan
Mahkamah Agung yang tak dapat dieksekusi karena cacat hukum, antara lain,
karena tak ada perintah untuk menahan.
Dicontohkan dalam berita itu, putusan MA
terhadap Parlin Riduansyah, Dirut PT Satui Bara Tama, yang dipidana tiga tahun
penjara.
Namun, dalam putusannya, MA tak mencantumkan
norma yang diatur KUHAP dalam Pasal 197 (1) huruf k, antara lain, berbunyi
bahwa putusan pemidanaan memuat perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap
dalam tahanan atau dibebaskan.
Selanjutnya Pasal 197 (2), antara lain,
berbunyi bahwa tidak dipenuhinya ketentuan dalam Ayat 1 huruf k ini
mengakibatkan putusan batal demi hukum.
Djoko Sarwoko, Ketua Muda Pidana Khusus MA,
mengatakan, sebenarnya sudah jamak putusan hakim tanpa disertai perintah
penahanan, bahkan sejak KUHAP berlaku. Putusan semacam itu sah secara hukum.
Mengapa
Tak Benar
Benarkah pendapat bahwa putusan pidana MA
yang amarnya tak memuat perintah menahan terdakwa tak dapat dieksekusi? Ada
sejumlah alasan mengapa pendapat itu tak benar.
Pertama, putusan MA merupakan putusan akhir
otomatis yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap dan demi hukum sudah
mempunyai kekuatan eksekutorial (dapat dieksekusi) sejauh putusan itu
mencantumkan irah-irah ”Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Irah-irah itu merupakan titel eksekutorial
dari putusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap. Kalaupun
putusan pidana MA mencantumkan perintah penangkapan terdakwa, putusan itu tak
dapat dilaksanakan jika alpa mencantumkan irah-irah itu. Benar atau salah, adil
atau tak adil, putusan itu harus dilaksanakan.
Kedua, kewenangan menahan atau tidak menahan
merupakan kewenangan diskresioner. Jadi, tidak ada ketentuan yang mengharuskan
atau mewajibkan agar tersangka/terdakwa ditahan.
Pasal 20 (3) KUHAP menentukan bahwa untuk
kepentingan pemeriksaan, hakim di sidang pengadilan dengan penetapannya
berwenang melakukan penahanan. Selanjutnya Pasal 28 (1) KUHAP menentukan,
antara lain, bahwa hakim MA guna kepentingan pemeriksaan kasasi berwenang
mengeluarkan surat perintah penahanan.
Redaksi Pasal 20 (3) dan 28 (1) KUHAP jelas
menunjukkan bahwa (1) kewenangan untuk menahan itu sifatnya diskresioner dan
(2) hanya selama diperlukan untuk kepentingan pemeriksaan.
Putusan MA merupakan putusan akhir dan tak
ada upaya hukum biasa bisa membatalkannya dan, karena itu, putusan MA langsung
mempunyai kekuatan hukum tetap dan harus segera dilaksanakan (Pasal 197 [3]
KUHAP).
Hal itu juga bisa disimpulkan dari ketentuan
tentang permohonan peninjauan kembali (PK) yang diatur dalam KUHAP. Permohonan
PK yang merupakan upaya hukum luar biasa terhadap putusan pengadilan yang sudah
mempunyai kekuatan hukum tetap tidak menangguhkan eksekusi putusan tersebut
(Pasal 268 [1] KUHAP).
Yang harus dicermati di sini adalah bahwa
menurut ketentuan Pasal 20 (3) jo Pasal 28 (1) KUHAP, perintah penahanan oleh
hakim dikeluarkan sejauh hal itu menurut penilaian hakim perlu untuk
kepentingan pemeriksaan di sidang. Ketika hakim MA sudah mengetokkan palu
sewaktu menjatuhkan pidana, pemeriksaan sudah selesai.
Oleh karena itu, sungguh sangat tak logis
atau tak nalar ke- tika pemeriksaan di sidang sudah selesai, begitu hakim MA
mengetokkan palu memidana terdakwa, amar putusan harus mencantumkan perintah
agar terdakwa ditahan.
Apa kepentingannya, apa urgensinya atau
relevansinya hakim MA dalam putusannya memerintahkan penahanan terdakwa ketika
pemeriksaan di sidang sudah selesai, padahal Pasal 20 (3) jo Pasal 28 (1) KUHAP
jelas menyebutkan bahwa untuk kepentingan pemeriksaan, hakim berwenang
melakukan/memerintahkan penahanan terdakwa?
Ketiga, putusan hakim menciptakan hukum. Acap
kali ketentuan dalam undang-undang tidak atau tidak jelas mengatur sesuatu.
Oleh karena hakim tidak boleh menolak perkara
dengan alasan karena UU tidak atau tidak jelas mengatur sesuatu, hakim wajib
karenanya memeriksa dan mengadili semua perkara yang diajukan kepadanya.
Hakim dengan putusannya dalam hal itu,
melalui penafsiran, telah melengkapi kekurangan atau kevakuman dalam UU. Itu
sebabnya dikatakan putusan hakim menciptakan hukum.
Hukum tak hanya sekadar terdiri atas UU atau
peraturan perundang-undangan tertulis lain. Hukum adat sejauh masih merupakan
hukum yang hidup dan dihayati masyarakat adat yang bersangkutan dapat diadopsi
sebagai norma hukum dalam putusan pengadilan.
Bahkan, dalam praktik dan teori hukum
berkembang dan diakui sebagai hukum apa yang dinamakan ius contra legem, hukum
yang bertentangan dengan UU.
Beberapa kali, misalnya, MA telah mengabulkan
PK yang diajukan Kejaksaan. Dikabulkannya PK yang diajukan Kejaksaan
jelas-jelas bertentangan dengan ketentuan dalam Pasal 263 (1) KUHAP yang
menentukan bahwa yang dapat mengajukan PK: terpidana atau ahli warisnya.
Ketentuan itu limitatif, artinya a contrario
hal itu harus dan wajib ditafsirkan bahwa selain terpidana atau ahli warisnya,
tak ada orang lain yang berhak mengajukan PK.
Penulis tak setuju dengan putusan MA yang
memberi hak kepada Kejaksaan mengajukan PK, tetapi kenyataannya dalam praktik,
meskipun kontroversial, MA telah menciptakan hukum yang bertentangan dengan UU
dengan mengabulkan PK ajuan Kejaksaan.
Contoh lain dari hukum yang bertentangan
dengan UU. Beberapa kali MA di tingkat kasasi dalam kasus korupsi menjatuhkan
pidana di bawah ancaman pidana minimal yang ditetapkan dalam UU No 31/1999 jo
UU No 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Meskipun putusan MA itu kontroversial, tak
bisa dikatakan bahwa putusan MA yang bersangkutan batal demi hukum.
Penjelasan MA adalah bahwa akan dirasakan
sangat tidak adil, koruptor yang terbukti melakukan korupsi Rp 10 juta ex Pasal
12 UU No 20/2001 harus dipidana empat tahun penjara: minimal ancaman pidana
untuk pelanggaran pasal itu, sedangkan koruptor lain yang terbukti melakukan
korupsi yang sama sebesar Rp 5 miliar, misalnya, juga diganjar
empat tahun penjara.
Oleh karena itu, sudah jamak putusan
pengadilan yang dalam amarnya tak mencantumkan perintah menahan terdakwa
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 197 (1) KUHAP, seperti yang telah
dikemukakan Ketua Muda Pidana Khusus MA di sini, harus dimaknai bahwa hakim
telah menciptakan hukum yang bertentangan dengan UU.
Putusan MA yang tak mencantumkan perintah
menahan terdakwa karenanya tidak batal demi hukum dan konsekuensinya: putusan
itu harus segera dilaksanakan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar