Menata
Daerah Otonom
Djohermansyah Djohan ; Direktur
Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri
SUMBER
: KOMPAS,
29 Mei 2012
Pembentukan daerah otonom baru secara masif,
mencapai 205 daerah otonom dalam satu dasawarsa (1999-2009), telah mengantarkan
Indonesia mengukir rekor dunia sebagai negara dengan pertambahan daerah otonom
terbanyak dalam jangka waktu pendek. Sayangnya, prestasi tersebut berbanding
terbalik dengan tujuan pembentukan sebuah daerah otonom baru.
Jika dilihat hasil evaluasi kinerja daerah
otonom baru itu, tercatat sebesar 80 persen di antaranya masih berkinerja
buruk. Bahkan, sejumlah daerah di antaranya bisa dianggap gagal karena
pelayanan publik tidak bertambah baik dan tidak berhasil pula memilih kepala
daerah.
Opini harian Kompas tanggal 4 Mei 2012
berjudul ”Melikuidasi Daerah Bangkrut”, secara gamblang menggambarkan
kompleksitas persoalan yang terjadi pada banyak daerah otonom pasca-kebijakan
pemekaran daerah yang tidak terencana secara baik. Dan, akhirnya bermuara pada
hadirnya daerah-daerah otonom bangkrut serta lambatnya
pencapaian tujuan
kesejahteraan masyarakat di daerah.
Upaya menata ulang kembali kebijakan
pemekaran daerah agar kehadirannya benar-benar dapat meningkatkan kesejahteraan
masyarakat dan membuat pelayanan publik menjadi lebih baik agaknya masih
panjang dan berliku jika tidak diiringi dengan komitmen yang kuat dari semua
pemangku kepentingan, terutama DPR dan penyelenggara pemerintahan daerah.
Payung Hukum Moratorium
Walaupun sejak 2009 telah diterapkan
kebijakan moratorium pembentukan daerah otonom baru oleh pemerintah, hingga Mei
2012 ini Kementerian Dalam Negeri telah menerima 183 usulan pembentukan daerah
otonom baru, baik yang diusulkan oleh pemerintah daerah maupun yang
mengatasnamakan aspirasi masyarakat, terdiri atas usulan 33 provinsi baru, 133
kabupaten baru, dan 17 kota baru. Artinya, kebijakan moratorium yang telah
diambil pemerintah belum dipahami secara utuh oleh pihak-pihak terkait.
Hal ini dapat dipahami karena belum
tersedianya payung hukum yang kuat sebagai dasar kebijakan moratorium itu.
Menyikapi tuntutan dan usulan pemekaran
daerah yang demikian besar, sangatlah penting bagi pemerintah untuk menyusun
konsep perencanaan penataan daerah yang relevan dengan filosofi hierarki
pemerintahan sebagaimana ditegaskan Pasal 4 Ayat (1) UUD 1945 bahwa ”Presiden
Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut UUD”.
Melalui pasal ini, secara filosofis
menyiratkan bahwa presiden beserta seluruh jajarannya memiliki legitimasi yang
kuat untuk merencanakan serta menata struktur pemerintahan mulai dari tingkat
pusat hingga daerah sehingga pemerintah daerah benar-benar mampu menjalankan
tugas dan fungsinya untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat.
Perencanaan terhadap pembentukan daerah
otonom baru sesungguhnya telah dimulai oleh pemerintah dengan mengevaluasi 205
daerah otonom baru, baik terhadap pelaksanaan prinsip tata kelola pemerintahan
yang baik (good governance), pelayanan publik, daya saing daerah, maupun
tingkat kesejahteraan masyarakat. Dari perspektif pembiayaan, pembentukan 205
daerah otonom baru sesungguhnya telah membebani APBN, terutama pada dana
alokasi umum tahun 2010 yang mencapai Rp 47,9 triliun.
Di samping itu, Kementerian Dalam Negeri
telah menyusun Desain Besar Penataan Daerah (Desartada) di Indonesia tahun
2010-2025 sebagai dokumen perencanaan penataan daerah dan acuan bagi kebijakan
penataan daerah otonom secara lebih komprehensif dan berkelanjutan.
Perencanaan dan penataan daerah baru harus
dimulai dengan kebijakan makro yang jelas serta alternatif langkah-langkah
implementasi tindak lanjutnya sebagaimana diungkapkan oleh Marquis (1998) bahwa
perencanaan dapat dipandang sebagai suatu hierarki, dengan perencanaan pada
puncak hierarki memengaruhi semua perencanaan yang mengikutinya. Dalam konteks
ini, Desartada tahun 2010-2025 harus
menjadi acuan bagi kebijakan pemekaran daerah pada masa depan, termasuk
penghapusan dan penyesuaian daerah otonom.
Kebijakan Pokok
Penataan daerah pada masa mendatang, yang
selaras dengan Desartada di Indonesia
tahun 2010-2025, secara garis besar dapat digambarkan melalui beberapa
kebijakan pokok sebagai berikut.
Pertama, pembentukan daerah otonom baru harus
didahului dengan membentuk daerah persiapan sebagai prosedur dan mekanisme yang
harus dilakukan bagi semua daerah yang akan dimekarkan. Pembentukan daerah
persiapan ini dilegalkan melalui peraturan pemerintah (PP) untuk selanjutnya
akan dilakukan proses pembinaan dan evaluasi dalam kurun waktu tiga hingga lima
tahun.
Bilamana daerah persiapan ini menunjukkan
hasil dan kinerja yang baik serta memenuhi parameter pembentukan daerah otonom
baru oleh Kementerian Dalam Negeri, baru dapat dilanjutkan dengan penyampaian
RUU tentang pembentukan daerah otonom baru.
Kedua, wujud penataan daerah otonom ke depan,
antara lain, dapat berbentuk penghapusan, penggabungan, dan penyesuaian daerah
otonom. Melalui evaluasi yang telah dilakukan, diketemukan daerah otonom yang
berkinerja buruk sehingga berpotensi untuk dihapus atau digabung kembali dengan
daerah induknya. Namun, tentu saja sebelumnya dilakukan pembinaan,
pembimbingan, dan penguatan kapasitas.
Ketiga, penataan daerah otonom, antara lain,
juga berbentuk pengaturan terhadap daerah otonom kawasan yang memiliki karakter
khusus, misalnya kawasan pelabuhan bebas, daerah otonom berbasis kepulauan, dan
daerah otonom dengan kawasan konservasi laut. Kebijakan ini dimaksudkan untuk
menjamin terjaganya kepentingan strategis nasional, baik dalam aspek integrasi
nasional, pembangunan ekonomi, pengelolaan lingkungan, maupun penguatan
pelayanan publik.
Keempat, melakukan estimasi yang jelas
tentang batasan jumlah maksimal daerah otonom di Indonesia dalam kurun waktu
2010-2025. Estimasi ini dimaksudkan untuk mengetahui gambaran jumlah daerah
otonom di Indonesia dalam kurun waktu sampai dengan tahun 2025, dengan
memperhatikan dimensi geografis, demografis, dan dimensi kesisteman. Dari
estimasi tersebut, diproyeksikan jumlah provinsi sampai dengan tahun 2025 akan
bertambah dari 33 provinsi menjadi 44 provinsi. Sementara itu, jumlah daerah
kabupaten/kota juga akan meningkat dari 491 daerah menjadi 545 daerah
kabupaten/kota.
Perencanaan terhadap daerah otonom
sebagaimana di rumuskan di dalam Desartada di Indonesia tahun 2010-2025
tersebut, dapat dimaknai sebagai langkah alternatif yang cukup komprehensif
untuk mencegah dan meminimalisir permasalahan yang muncul akibat pertumbuhan
daerah otonom secara masif dan tidak terkendali dengan segala dampak
negatifnya.
Namun demikian, karena Desartada ini belum
mempunyai payung hukum yang kuat, sementara progres revisi terhadap
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah saat ini masih
berlangsung, maka substansi Desartada ini terlebih dahulu harus dituangkan ke
dalam RUU tentang pemerintah daerah yang tengah dibahas antara pemerintah dan
DPR-RI.
Kita optimistis bahwa kehadiran Desartada di
Indonesia tahun 2010-2025 sebagai bagian dari konten revisi RUU Pemerintahan
Daerah akan menjadikan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah, khususnya
penataan terhadap daerah otonom di Indonesia, akan menjadi lebih terencana,
terkendali, dan terstruktur. Dengan demikian, mampu berkontribusi bagi
terwujudnya pemerintahan daerah yang lebih efektif dan stabil serta dapat
mewujudkan tujuannya untuk menyejahterakan masyarakat. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar