Membunuh
Generasi
M Bashori Muchsin ; Guru Besar dan Direktur Program Pascasarjana
Universitas Islam Malang
SUMBER : MEDIA
INDONESIA, 31 Mei 2012
PASAL
28 I UUD 1945 menyebutkan hak hidup merupakan hak yang tidak bisa dikurangi
dalam keadaan apa pun, yang ketentuannya menunjukkan fundamentalnya hak hidup.
Hak hidup tak bisa ditawar, dipermainkan, atau dijadikan objek bargaining.
Dalam kondisi apa pun, negara berkewajiban melindungi dan bukan mengalahkan
atau mengorbankannya. Masalahnya, apakah negara memang benar-benar paham dengan
kewajiban sakral itu?
Sayangnya,
negara tidak selalu paham dengan kewajibannya. Hak untuk hidup bagi setiap
orang tidak mesti dijadikan sebagai aktivitas wajib. Terbukti, pengedar atau
produsen narkoba masih dimanjakan dengan keputusan yang tidak bijak. Keputusan
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam memberikan grasi kepada Corby dinilai
banyak pihak sebagai keputusan yang tidak menghormati hak hidup.
Secara
umum, sebanyak 51 ribu pecandu narkoba di Indonesia meninggal setiap tahun; 41
pecandu meninggal setiap hari atau 2 orang meninggal setiap 2 jam karena
narkoba. Dalam kurun waktu 30 tahun, angka pengguna narkoba naik pesat,
meningkat 1,9% dari jumlah penduduk. Penyalah guna narkoba bervariasi. Ada
pelajar, mahasiswa, orang tua, pekerja, pejabat negara, dan anggota DPR. Daerah
penyebaran narkoba tidak hanya kota-kota besar, pelosok desa pun tak luput dari
jangkauan barang haram yang berefek samping merusak susunan saraf pusat itu.
Narkoba memiliki tiga efek samping, yakni stimulan,
depresan, dan halusinogen.
Stimultan
bermaknakan menstimulasi kegiatan di sistem saraf pusat dan mempercepat proses
mental atau membuat lebih bersemangat. Penyebabnya ialah mengonsumsi kafein,
nikotin, amfetamin, dan kokain. Depresan berarti menekan atau menurunkan
kegiatan di sistem saraf pusat, membuat pemakai lebih rileks dan kesadarannya
berkurang. Itu disebabkan kandungan analgesik, alkohol, benzodiazepin, serta obat keras seperti heroin, morfin, dan metadon. Adapun efek samping halusinogen
antara lain berupa pengaruh yang membuat pemakainya berhalusinasi. Pengguna
narkoba akan mengalami salah persepsi terhadap segala sesuatu di sekelilingnya.
Ia seolah melihat atau mendengar sesuatu yang sebetulnya tidak ada. Itu dipicu
meska lin atau ganja. Dari situlah proses pembunuhan generasi b berlangsung.
Kondisi
tersebut merupakan bentuk kriminalisasi hak hidup, yang meminjam istilah Ketua
Mahkamah Konstitusi Mahfud MD lebih jahat jika dibandingkan dengan terorisme.
Apa yang dilakukan pengedar atau produsen narkoba merupakan bentuk penghancuran
massal yang tersistem dan meluas, yang mengakibatkan alur sejarah kehidupan
generasi bisa terputus. Generasi muda yang semestinya bisa diandalkan mengisi
posisi strategis di lingkungan pemerintahan akhirnya tidak bisa diandalkan
akibat dirinya sudah berpenyakitan atau integri tas moralnya `terbunuh'.
Selain
itu, Pasal 9 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia ayat
(1) menyebutkan setiap orang berhak untuk hidup dan mempertahankan hidup dan
meningkat kan taraf kehidupannya. Kalau berpijak pada instrumen HAM itu, jelas
bahwa penyelundup atau pengedar narkoba merupakan pelanggar utama hak hidup
manusia Indonesia, khususnya komunitas generasi muda.
Negara
ini seharusnya paham bahwa hak hidup (dalam konstitusi) juga tak dapat
dilepaskan dari perjanjian internasional HAM yang mengatur non-derogable rights
alias hak yang tidak dapat dikurangkan dalam keadaan apa pun juga. Salah satu
hak yang tak dapat dikurangi itu ialah hak hidup. Dalam kondisi apa pun,
perlindungan hak hidup tetap wajib ditegakkan.
Ketentuan
itu, dalam hukum internasional, dikenal melalui doktrin fundamental Pasal 4
ayat (1) International Covenant on Civil
and Political Rights (ICCPR). Secara ringkas disebutkan, dalam keadaan
tertentu, negara peserta ICCPR dapat menunda maupun mengurangi penikmatan hak-hak
yang ada di dalam ICCPR, terkecuali hak untuk hidup. Hak untuk hidup (rights for life) merupakan hak istimewa
setiap manusia.
Keadaan
yang dimaksud Pasal 4 ayat (1) itu ialah ketika negara dalam keadaan darurat,
keadaan mana harus dilaporkan negara yang bermaksud melakukan penundaan itu
kepada semua negara pihak ICCPR melalui Sekretaris Jenderal PBB. Tidak semua
keadaan genting dapat menjadi pembenar adanya penundaan atau pengurangan HAM.
Hanya jika memang dikehendaki keadaan, suatu hak tertentu bisa dikurangi
penikmatannya. Hak untuk hidup merupakan hak fundamental dan sakral yang
membuat setiap negara peserta ICCPR tidak boleh mereduksi, apalagi mempermainkan
atau menganggap ‘tak penting’.
Dalam
Alquran surah Al-Maidah ayat 32
disebutkan, ‘Oleh karena itu kami
tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil bahwa: barang siapa yang membunuh
seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan
karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh
manusia seluruhnya. Dan barang siapa yang memelihara kehidupan seorang manusia,
maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. Dan
sesungguhnya telah datang kepada mereka rasul-rasul Kami dengan (membawa)
keterangan-keterangan yang jelas, kemudian banyak di antara mereka sesudah itu
sungguhsungguh melampaui batas dalam berbuat kerusak an di muka bumi’.
Dalam
doktrin (QS Al-Maidah; 32) tersebut, setiap manusia atau pengelola negara
dilarang menjerumuskan dirinya dalam kehancuran dan sebaliknya, diwajibkan
menjaga atau melindungi diri nya dari bahaya atau penyakit yang membahayakan
atau dan mengancam nyawanya. Mengedarkan dan memproduksi narkoba merupakan akar
penyebab utama yang mengakibatkan terjadinya eksplosi (ledakan) pembunuhan.
Negara
dilarang keras berbuat `melampaui batas'
seperti menoleransi praktik-praktik yang mendorong kecondongan melakukan
pembunuhan. Pengedar atau produsen narkoba merupakan kekuatan kriminal yang
mengarah ke penghalalan dan bahkan pengabsolutan pembunuhan demi mewujudkan
ambisi mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya. Negara selayaknya konsisten
menjaga prinsip yang selama ini dikampanyekan, bahwa narkoba adalah musuh
bersama (common enemy).
Negara
semestinya bisa berpikir dan bersikap seperti dokter yang melakukan diagnosis
terhadap pasien, yang diagnosisnya tidak berusaha menghalalkan, apalagi
mempercepat pembunuhan pada pasien meski pasien itu dinilainya tidak akan
bertahan lama atau hak hidupnya akan berakhir. Dokter bahkan meminta pasien dan
keluarganya untuk berupaya mencari alternatif lain guna menjaga agar hak
keberlanjutan hidupnya tetap terlindungi dan bermanfaat bagi kehidupan manusia,
dan bukannya seperti Corby atau sindikatnya yang menyebarkan zat-zat pembunuh.
Negara
seharusnya benar benar mampu menerjemahkan pengedar dan produsen narkoba
sebagai mesin bunuh yang tidak dapat pembunuh yang tidak dapat dan tidak boleh
ditoleransi. Apa yang dilakukan pada Corby merupakan model politik `pemaaf' yang barangkali hanya berguna
secara politik eksklusif, tetapi dengan harga mahal mempertaruhkan nasib
generasi muda. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar