Pengintegrasian
UN dan Seleksi Masuk PTN
Darmaningtyas ; Penulis Buku Manipulasi Kebijakan Pendidikan
SUMBER : KORAN
TEMPO, 30 Mei 2012
Hasil
ujian nasional (UN) untuk sekolah menengah tingkat atas (sekolah menengah atas
dan sekolah menengah kejuruan) telah diumumkan dengan hasil yang variatif dan
tingkat kelulusan di atas 90 persen. Nusa Tenggara Timur merupakan daerah yang
memiliki tingkat kelulusan terendah, yaitu 94,5 persen, disusul Provinsi
Gorontalo (95,76 persen), sedangkan Jawa Timur memiliki tingkat kelulusan
tertinggi (99,93 persen) dan disusul Sulawesi Utara (99,91 persen). Wilayah DKI
Jakarta justru menduduki posisi ke13 dengan tingkat kelulusan 99,62 persen dan
DI Yogyakarta, yang dikenal sebagai Kota Pelajar, justru menduduki posisi ke22
dengan tingkat kelulusan 99,29 persen.
Keragaman
tingkat kelulusan tersebut mencerminkan kompleksitasnya persoalan UN. Mengapa
NTT meraih nilai UN terburuk dibanding Maluku atau Papua dan Papua Barat?
Secara geografis, NTT mengalami masalah yang sama dengan daerah-daerah
Indonesia timur lainnya: keterbatasan infrastruktur transportasi dan komunikasi
yang dapat menunjang kelancaran belajar-mengajar. Tapi, dari sumber daya alam,
NTT termasuk daerah yang miskin sumber daya alam, sehingga NTT termasuk daerah
termiskin di Indonesia. Mayoritas wilayah NTT adalah daerah kering dan panas
sehingga kurang nyaman untuk belajar. Kondisi alam yang panas, miskin sumber
daya alam, serta ditopang dengan infrastruktur transportasi dan komunikasi yang
buruk membuat orang malas belajar karena tidak memiliki harapan dengan
bersekolah. Wajar bila kemudian hasil UN mereka jelek. Bahkan tingkat kelulusan
di atas 90 persen itu pun, menurut penulis, sudah terlalu bagus.
Adapun
menyangkut kelulusan di wilayah DKI Jakarta, yang kalah dibanding daerah-daerah
lain, menurut dugaan penulis, sumbangan tingkat ketidaklulusan yang tinggi
berasal dari sekolah-sekolah swasta pinggiran yang menampung anak-anak kaum
miskin, seperti anak sopir, buruh informal, pedagang kecil, dan penganggur.
Sekolah tersebut tidak memperoleh dukungan sama sekali dari Pemerintah Provinsi
DKI Jakarta, karena fokus perhatian pemerintah DKI Jakarta pada sekolah-sekolah
negeri saja. Anakanak miskin itu terpaksa membiayai pendidikannya sendiri. Dan
karena mengeluarkan biaya sendiri, sedangkan kemampuannya terbatas, secara
otomatis proses belajar-mengajarnya terhambat. Anak-anak tersebut juga tidak
bisa mengikuti bimbingan belajar di luar sekolah seperti anak orang kaya pada
umumnya. Wajar bila kemudian pada saat UN, di antara mereka banyak yang tidak
lulus, termasuk ketidaklulusan 100 persen yang pernah terjadi pada UN
sebelumnya, yang juga berasal dari sekolah pinggiran.
Dilihat
dari jenis mata pelajaran yang dianggap sulit, seperti tahun-tahun sebelumnya,
pelajaran matematika dan bahasa Indonesia dianggap paling sulit, sehingga
berkontribusi besar pada kegagalan UN 2012 dan sebelumnya. Tentu saja, sulitnya
pelajaran matematika dapat dipahami, karena mayoritas pelajar Indonesia lemah
dalam matematika. Tapi kesulitan pada pelajaran bahasa Indonesia sungguh
mengherankan, mengingat bahasa Indonesia merupakan bahasa sehari-hari dan
sekaligus bahasa nasional. Pelajar Indonesia sekarang sejak kecil sudah
berbahasa Indonesia melalui televisi, sehari-hari berkomunikasi dengan bahasa
Indonesia, dan diajar dalam bahasa Indonesia. Tapi, begitu dilakukan tes untuk
mata pelajaran bahasa Indonesia, ternyata hasilnya tidak otomatis lebih bagus
dibanding pelajaran bahasa Inggris. Wajar bila jebloknya mata pelajaran bahasa
Indonesia ini menjadi keprihatinan kita bersama.
Ada
dua kemungkinan jebloknya nilai bahasa Indonesia dalam UN. Pertama, pelajaran
bahasa Indonesia disepelekan, karena murid lebih bangga akan bahasa Inggrisnya,
sehingga tidak total belajar bahasa Indonesia. Kedua, tidak nyambung-nya antara
kisi-kisi materi pelajaran dan kisi-kisi soal (evaluasi). Sebab, kalau
kisi-kisi pelajaran dengan evaluasinya nyambung, hasilnya tidak seburuk
sekarang. Faktor guru dapat dipersalahkan kalau kejadiannya kasuistik, hanya
terjadi di beberapa sekolah. Tapi, kalau terjadi secara nasional, penyebabnya
tentu bukan guru. Masak guru se-Indonesia buruk semua? Seburuk-buruknya guru
mengajar, kalau materinya nyambung, murid pintar tetap akan dapat mengerjakan
soal. Tapi, bila anak-anak pintar pun mengeluhkan sulitnya soal bahasa
Indonesia, berarti akar masalahnya adalah materi pelajaran.
Tiket ke PTN
Secara
umum, hasil UN sekarang ini tidak jauh berbeda dengan hasil pada tahun-tahun
sebelumnya. Tidak ada yang mengejutkan dalam pengumuman hasil UN 2012. Nilai
tertinggi tidak pernah diraih oleh pelajar di Jakarta, tapi justru pelajar di
daerah dan dari anak golongan tidak mampu. Tapi yang menarik adalah keinginan
pemerintah mengintegrasikan hasil UN dengan seleksi masuk ke perguruan tinggi negeri
(PTN). Gagasan pengintegrasian ini merupakan respons atas kritik terhadap UN
selama ini yang dinilai mubazir, karena tidak bermakna apa-apa kecuali sebagai
penentu kelulusan saja.
Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan memandang bahwa pengintegrasian UN dengan seleksi
masuk ke PTN akan dapat mengakhiri kontroversi UN, karena UN menjadi lebih
fungsional. Gagasan tersebut bagus, tapi tidak mudah diwujudkan, mengingat
banyak pemimpin PTN masih ragu akan kredibilitas UN itu sendiri. Keraguan
tersebut muncul dengan banyaknya kasus kebocoran soal UN dan fakta adanya
pembentukan tim sukses UN di daerah-daerah. Sementara itu, tes tertulis secara
bersama masuk PTN, yang sekarang disebut seleksi nasional masuk perguruan
tinggi negeri (SNMPTN), sudah berlangsung hampir 40 tahun dan relatif tidak ada
persoalan.
Tarik-menarik
antara kepentingan pemerintah dan para pemimpin PTN tersebut merupakan masalah
baru dalam UN untuk SMTA. Adanya resistansi dari para pemimpin PTN untuk
pengintegrasian nilai UN sebagai tiket masuk PTN menunjukkan kredibilitas UN
belum sepenuhnya dapat diterima oleh publik. Ini artinya, UN masih menyisakan
persoalan serius. Pemerintah perlu kerja ekstra untuk dapat meyakinkan publik
bahwa UN betul-betul kredibel, sehingga hasil UN dapat dipakai sebagai standar
baru untuk melihat kualitas pendidikan. Selama ini UN belum dapat dijadikan
pedoman untuk melihat kualitas pendidikan nasional. Sebagai contoh, pada 2010
DIY memiliki tingkat kelulusan yang rendah. Tapi hasil SNMPTN pada tahun yang
sama, lulusan terbaik berasal dari DIY.
Pepatah
lama menyatakan bahwa “pengalaman adalah guru terbaik“. Bila kita percaya pada
pepatah tersebut, pengalaman hampir 40 tahun penyelenggaraan seleksi bersama
masuk PTN tanpa gugatan semestinya menjadi acuan untuk diteruskan. Bukan
sebaliknya, UN yang baru berlangsung sepuluh tahun dan mendapat tentangan terus
justru akan dijadikan acuan masuk PTN. Sebelum diimplementasikan, perlu dikaji
lebih cermat lagi soal pengintegrasian UN dengan SNMPTN. Menurut penulis, bukan
seleksi bersamanya yang diubah, melainkan keberadaan UN itu sendiri yang perlu
dikaji ulang, tepat atau tidak. Hanya, mengingat pelaksanaan UN itu diatur
dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional
Pendidikan, langkah untuk mengkaji UN adalah dengan mengubah PP tersebut.
Langkah
pertama untuk dapat merevisi PP Nomor 19 Tahun 2005 adalah merevisi
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas)
terlebih dulu. Undang-undang ini perlu direvisi mengingat beberapa pasal sudah
dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi. Setelah UU Sisdiknas direvisi, konsekuensi
logisnya, PP Nomor 19 Tahun 2005 pun perlu direvisi, dan dalam revisi PP Nomor
19 Tahun 2005, posisi UN perlu ditinjau ulang agar kontroversi yang ada selama
ini dapat diakhiri. Agak sulit meminta pemerintah menghentikan UN bila PP yang
mengatur keberadaan UN belum direvisi. Dan merevisi PP tersebut hanya mungkin
dilakukan bila didahului dengan merevisi UU Sisdiknas. Jadi sekarang, kunci
perubahan itu ada di tangan Dewan Perwakilan Rakyat, karena merekalah yang
berhak merevisi UU Sisdiknas. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar