LAPORAN
JAJAK PENDAPAT
Yang
Muda dan Berintegritas
Yohan
Wahyu ; Litbang KOMPAS
SUMBER
: KOMPAS,
28 Mei 2012
Mekanisme politik menempatkan partai politik
sebagai institusi yang melahirkan kepemimpinan nasional. Namun, tergerusnya
citra dan rendahnya kinerja parpol memengaruhi harapan publik akan regenerasi
kepemimpinan nasional yang sehat. Sangat minim sosok berintegritas yang muncul
dari parpol.
Hak pengajuan calon presiden pada pemilu
hingga kini merupakan kewenangan ”eksklusif” parpol. Sayangnya, salah satu
institusi terpenting dalam mekanisme demokrasi ini dinilai masih meragukan
dalam melahirkan sosok kepemimpinan yang dibutuhkan rakyat.
Hasil jajak pendapat Kompas pekan lalu
mencatat, lebih dari separuh responden tidak percaya parpol saat ini mampu
menyiapkan tokoh muda atau kader pemimpin politik nasional yang bersih dan
berintegritas. Proses kaderisasi juga dinilai masih menjadi problem besar di
tubuh sebagian besar parpol. Hanya sepertiga bagian responden yang percaya
bahwa parpol mampu melakukan regenerasi kepemimpinan secara sehat.
Dari regenerasi kepemimpinan parpol yang
sehat, tersedia potensi bagi regenerasi kepemimpinan nasional di negeri ini.
Publik berharap parpol mampu memberikan ruang dan kesempatan lahirnya
sosok-sosok baru yang memiliki integritas. Meskipun penilaian terhadap
institusi parpol masih negatif, lebih dari separuh responden (64,4 persen)
meyakini di parpol sebenarnya masih ada kader yang bersih dan berintegritas.
Tak dapat dimungkiri bahwa pandangan publik
terhadap citra dan kinerja parpol saat ini berada di titik terendah. Pandangan
negatif terhadap citra parpol terungkap dalam jajak pendapat Maret 2012 yang
disuarakan oleh 80,4 persen responden. Faktor perilaku korupsi para kader
parpol menjadi penyebab utama penilaian negatif ini. Kinerja parpol juga
dinilai mayoritas responden tak membaik, yakni belum berpihak kepada
kepentingan rakyat banyak.
Kesulitan parpol melakukan kaderisasi
kepemimpinan sebenarnya mudah terdeteksi dari sikap sebagian besar parpol yang
masih berkutat menumpukan citranya kepada sosok-sosok ”politisi lama”. Sebanyak
43,3 persen responden menilai tidak ada parpol yang siap dengan calon presiden
dari kalangan tokoh muda.
Terhadap wacana Pemilu Presiden 2014 pun,
publik tidak banyak mendapatkan tawaran nama-nama baru oleh parpol. Padahal,
diyakini potensi politisi muda itu ada, yang jika betul-betul ”diasah” oleh parpol
akan menjadi sosok alternatif kepemimpinan nasional pada masa mendatang.
Sejarah awal bangsa ini menunjukkan, para
pendiri relatif berusia muda ketika dilantik sebagai presiden. Soekarno
dilantik menjadi presiden saat berusia 44 tahun. Demikian juga Bung Hatta,
Syahrir, dan para perintis kemerdekaan lain. Soeharto dilantik menjadi presiden
saat berusia 46 tahun.
Merujuk jumlah pemilih di Indonesia, paling
tidak 20 persen pemilih adalah pemilih muda dan pemilih pemula. Lebih dari
separuh responden (62,2 persen) juga meyakini potensi ini bahwa tokoh muda akan
lebih baik memimpin bangsa ini dibandingkan generasi sebelumnya. Meskipun
demikian, faktor usia tak terlalu menjadi pertimbangan pokok yang disebut
responden dalam memilih pemimpin nasional. Pertimbangan paling penting masih
terutama berkutat pada aspek integritas (66,2 persen responden), baru kemudian
aspek rekam jejak dan aspek pendidikan.
Jika integritas sudah terpenuhi, rekam jejak
calon, seperti halnya pengalaman dan kapasitas kepemimpinan, menjadi faktor
yang melengkapi. Faktor usia, meskipun bukan pertimbangan utama, menjadi
referensi publik. Meminjam pernyataan Rektor Universitas Paramadina, Anies
Baswedan, kepemimpinan juga menyangkut soal kebaruan, integritas, dan
kompetensi (Kompas, 25 Mei 2012).
Sosok Muda
Sosok muda yang berkarakter bersih dan
berintegritas menjadi harapan terbesar dari publik. Sayangnya, sosok yang
diharapkan mampu menjadi inspirasi bagi masa depan bangsa ini keluar dari
krisis juga dinilai masih langka. Lebih dari tiga perempat responden (80
persen) menyatakan, belum ada sosok muda yang layak menjadi calon presiden. Hal
ini juga memperkuat hasil jajak pendapat Kompas awal Mei lalu, di mana lebih
dari separuh responden (55,1 persen) menyatakan, saat ini tidak ada tokoh yang
layak menjadi panutan publik.
Dari sedikit nama politisi parpol yang
disebut responden, proporsinya masih sangat minim, di bawah angka 4 persen.
Minimnya nama tokoh muda yang mampu diingat dan dikategorikan responden juga
memberi dampak pada jawaban responden. Sejumlah nama yang sebenarnya dari sisi
usia tidak bisa lagi dikategorikan ”muda” tetap dianggap sebagai tokoh yang
layak dijadikan pemimpin nasional. Berikut ini tiga besar nama yang disebut
responden.
Dari kalangan politisi atau aktivis partai, nama
Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra Prabowo Subianto, Ketua Umum Partai
Demokrat Anas Urbaningrum, dan Ketua DPP PDI Perjuangan Puan Maharani disebut
sejumlah responden sebagai tokoh yang layak tampil di panggung kepemimpinan
nasional. Sejumlah nama lain yang muncul disebutkan oleh kurang dari 1 persen
responden.
Dari kalangan di luar parpol pun tak banyak
nama yang disebut. Paling tidak hanya tiga nama yang disebut responden, yakni
Menteri Negara BUMN Dahlan Iskan, Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD, dan
Rektor Universitas Paramadina, yang juga intelektual muda, Anies Baswedan.
Sekali lagi, persentase responden yang menyebut nama-nama ini pun masih di
bawah 4 persen.
Munculnya tiga nama tersebut boleh jadi tidak
lepas dari peran mereka selama ini yang dianggap publik telah memberikan
terobosan nyata. Dahlan, misalnya, membuat langkah-langkah kontroversial dalam
upaya memperbaiki kinerja BUMN. Hal yang sama juga ada pada sosok Mahfud MD
yang dinilai membawa Mahkamah Konstitusi menjadi sosok lembaga hukum yang
berwibawa dan dipatuhi. Sementara Anies dikenal sebagai intelektual muda yang
visioner dengan gerakan konkret memberikan terobosan di dunia pendidikan di
Indonesia bagian timur.
Jika parpol kesulitan menemukan kader yang
layak masuk dalam kontestasi kepemimpinan nasional, rasanya tak salah jika
kemudian parpol memberi kesempatan tokoh di luar kadernya. Apalagi,
kecenderungan yang muncul di publik justru menilai citra tokoh (muda) di luar
parpol lebih baik dibandingkan tokoh partai. Meskipun demikian, separuh
responden tidak percaya parpol akan mengutamakan tokoh muda untuk proses
kaderisasi di partainya.
Tokoh muda dari parpol ataupun luar parpol
tetap jadi aset kepemimpinan di negeri ini. Namun, publik tampaknya cenderung
menumpukan harapan pada sosok yang tak bersinggungan dengan parpol. Paling
tidak, hampir separuh responden menilai citra tokoh muda di luar parpol lebih
baik dibandingkan yang di partai.
Buruknya citra parpol disinyalir kuat menjadi
alasan mereka cenderung memilih tokoh di luar parpol. Sayangnya, sosok tokoh
muda yang dinilai layak memimpin negeri ini belum banyak diketahui publik.
Hanya satu dari empat responden yang mampu menjawab siapa tokoh muda yang layak
menjadi pemimpin nasional mendatang.
Faktor usia memang bukan yang utama bagi
publik dalam memilih calon pemimpin nasional yang dirindukan. Meskipun
demikian, harapan publik pada proses regenerasi kepemimpinan nasional juga
tidak menampik pentingnya sosok-sosok muda tampil dalam panggung politik. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar