Politik
Dinasti
Joko Wahyono; Peneliti di Center for Indonesian Political Studies (CIPS)
Yogyakarta SUMBER
: REPUBLIKA,
28 Mei 2012
Transisi
demokrasi di Indonesia semestinya tidak bisa ditarik mundur lagi (pulling back). Publik telanjur berharap banyak
dari demokrasi setelah ia terpenjarakan selama 32 tahun pada masa rezim Orde
Baru.
Ikhtiar
untuk mewujudkan iklim demokrasi yang lebih genuine
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sama artinya dengan jihad untuk meraih
kemerdekaan. Kenyataannya, pada usianya yang menginjak 14 tahun pasca Reformasi,
belum tampak tanda-tanda meyakinkan (convincing
sign) bahwa transisi bisa mewujudkan autentisitas demokrasi (authentic democracy).
Sebaliknya,
publik justru dibuat pesimis dan apatis ketika berbicara soal good governance dan pemerataan
distribusi kekuasaan sebagai cita-cita demokrasi. Banyak proses suksesi
kepemimpinan politik lokal (gubernur, bupati, wali kota) berujung pada konflik
dan anarki.
Kenyataan
ini memberi sinyal bahwa mekanisme politik tidak berjalan efektif dan
representatif. Gejala lain yang muncul adalah semakin menguatnya jaringan
kekeluargaan dalam politik (kinship
politics). Hal ini sebagaimana terlihat ketika jabatan dalam institusi
politik eksekutif dan legislatif diduduki oleh mereka yang berada da lam satu
trah garis kekerabatan.
Kini,
dentuman politik kekeluargaan itu datang dari Istana Kepresidenan. Sejumlah
elite Partai Demokrat menggadang-gadang Ibu Ani Yudhoyono menjadi capres atau
cawapres pada Pemilu 2014. Kabar ini memunculkan spekulasi opini yang luar
biasa dari sejumlah kalangan.
Bisa
jadi wacana itu merupakan bentuk kegalauan dari kalangan elite Partai Demokrat
yang sedang didera krisis kepemimpinan. Namun, apa pun analisisnya,
gejala-gejala yang ingin mengembalikan sejarah demokrasi ke masa Orde Baru
harus dicermati. Jika itu terjadi maka demokrasi yang meng hendaki kesetaraan
dan pemerataan distribusi kekuasaan terancam gagal.
Karena,
pada akhirnya hanya para elite dari keluarga yang berhak mewarisi takhta dan menjalankan
roda pemerintahan. Cita-cita demokrasi akan hancur di tengah bangunan sistem
kekerabatan (dinasti) yang dilanggengkan penguasa.
Personalisasi parpol Pelaksanaan sistem apa pun tidak akan bermasalah jika didasarkan pada pola the right man on the right place. Adagium ini jelas menghendaki tampilnya sosok pemimpin berintegritas untuk mewujudkan tujuan-tujuan common good (kemaslahatan bangsa).
Personalisasi parpol Pelaksanaan sistem apa pun tidak akan bermasalah jika didasarkan pada pola the right man on the right place. Adagium ini jelas menghendaki tampilnya sosok pemimpin berintegritas untuk mewujudkan tujuan-tujuan common good (kemaslahatan bangsa).
Namun,
harapan jauh dari kenyataan ketika publik melihat proses regenerasi
kepemimpinan nasional dirasa mandek. Kondisi ini pada gilirannya akan
melahirkan krisis kepemimpinan. Pada saat yang sama, peran dari figur partai
akan menjadi sangat dominan dan cenderung semakin menguat. Di sinilah kemudian
terbuka peluang bagi maraknya proses personalisasi partai politik.
Terminologi
personalisasi ini digunakan untuk merujuk pada partai yang didirikan oleh
seseorang dan digunakan untuk kepentingannya sendiri. Partai yang dibentuk
bukan untuk mewujudkan tujuan bersama, melainkan untuk memenuhi kepentingan
pribadi.
Akibatnya,
partai bekerja untuk melayani kepentingan sang figur beserta kroni-kroni
keluarga. Dari sang figur ini, jalinan kekerabatan akan menentukan kedudukan,
pembagian kekuasaan, dan kelak akan mendominasi kebijakan. Distribusi kekuasaan
akan mengabaikan partisipasi dan representasi publik, bahkan integritas,
profesionalisme, dan etika berpolitik. Yang ada, kekuasaan dijalankan secara
turun-temurun berdasarkan klan-klan keluarga.
Begitu
pula dengan pengguliran isu pencalonan Ibu Negara sebagai capres 2014, harus
dilihat sebagai strategi wacana (discursive
strategies) yang mengemuka dalam konteks relasi-relasi kuasa yang tidak
berimbang dan manipulatif demi tegaknya bangunan sistem dinasti. Ini sama
artinya dengan keinginan untuk merajut puing-puing sisa peninggalan rezim
dinasti klanklan di Jazirah Arab yang patrimonial, oligarki, dan otoriter.
Nasib Demokrasi
Sampai
hari ini, demokrasi masih dinilai relevan sebagai pengorganisasian kehidupan
bersama yang paling mencerminkan kehendak umum. Demokrasi merupakan sistem yang
mengakui kesamaan hak, baik di bidang sosial, ekonomi, hukum, maupun politik.
Demokrasi
menjamin terbukanya ventilasi yang lebar bagi ekspresi kebebasan berpolitik.
Distribusi kekuasaan dilaksanakan secara fair, merata, dan anti terhadap hegemoni
keluarga penguasa. Namun, bagaimana jika piranti penopang demokrasi, seperti
institusi negara dan partai politik, dimanipulasi menjadi penopang sistem
dinasti?
Itulah
geliat yang secara artifisial dipertunjukkan oleh para elite politik di negeri
ini. Disadari atau tidak, Partai Demokrat yang menempatkan sejumlah keluarga
Presiden SBY menempati posisi strategis mulai menunjukkan ke arah itu. Gejala
ini tentu saja juga tampak pada partai-partai lain.
Banyak
distribusi posisi strategis di tubuh institusi negara maupun partai politik
didasarkan pada hubungan kekeluargaan. Hal ini sebagaimana telah disitir oleh
Gaetano Mosca (1980) bahwa kenyataannya setiap kelas menunjukkan tendensi untuk
membangun suatu tradisi turun-temurun.
Nada
yang sama juga dilontarkan Robert Michels (1962) bahwa dalam organisasi yang
demokratis sekalipun, jika sebuah kepemimpinan terpilih, ia akan membuat
kekuasaannya sedemikian mapan agar sulit untuk digeser atau digantikan.
Akibatnya, prinsipprinsip demokrasi menjadi tergerus.
Inilah ironi politik dinasti yang
dipraktikkan di negeri demokrasi. Nasib demokrasi menjadi tak terarah.
Demokrasi rapuh tergerus oleh sistem dinasti yang anti pada transparansi dan
partisipasi. Kemerdekaan akan terbungkam, hak-hak sipil terampas oleh otoritarianisme
penguasa. Kondisi ini akan menimbulkan chaos
di segala lini kehidupan berbangsa dan bernegara. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar