GMTplus8:
Ilmiahkah?
L Wilardjo ; Fisikawan
SUMBER : KOMPAS, 31
Mei 2012
Oleh tokoh pers nasional, Adinegara,
Nusantara dijuluki ”Zamrud Khatulistiwa”.
Di masa Adinegara, sebutan itu tepat sebab
Nusantara ialah kepulauan di kawasan khatulistiwa yang terentang dari barat
sampai timur: tampak hijau royoroyo karena hutan, sawah-ladang, dan nyiurnya
yang melambailambai di sepanjang pantai.
Sekarang sabuk hijau di khatulistiwa itu
sudah bopeng-bopeng akibat ulah pembalak liar dan pengusaha tambang yang merambah
hutan. Namun, syukurlah, NKRI masih utuh kendati sempat, dan masih, ada gerakan
separatisme di ujung barat (Aceh) dan ujung timur (Papua).
Tiga Mintakat Jadi Satu
Kita sudah terbiasa dengan pembagian
Indonesia ke dalam tiga mintakat waktu: WIB, Wita, dan WIT. Orang yang tinggal
di wilayah WIB memang merasa bahwa pukul 06.00 WIT di Manokwari masih terlalu
gelap, tetapi perbedaan itu dapat ditenggang. Apabila, dan jika, seluruh
Indonesia dijadikan satu mintakat waktu, perbedaan suasana pada jam yang sama
antara Jayapura dan Banda Aceh kian kontras.
GMT (Greenwich
Mean Time) ialah waktu di kawasan Greenwich, di pinggir Sungai Thames,
sebelah tenggara London. Garis bujur nol melintasi Greenwich. Dengan kata lain,
Greenwich dilalui oleh meridian utama yang menghubungkan Kutub Utara dengan
Kutub Selatan.
Sekarang selisih waktu antara Inggris dan WIB
tujuh jam. Kalau WIB, Wita, dan WIT dilebur jadi GMT+8, waktu di seluruh
Indonesia menjadi sama dengan Wita sekarang ini. Orang yang tinggal di kawasan
WIB akan memulai hari dan kegiatannya satu jam lebih awal. Sebaliknya, orang
yang berdomisili di kawasan WIT bisa tetap berbaring di tempat tidur satu jam
lagi, dibandingkan dengan kebiasaannya.
Sabang kira-kira terletak di 95°BT, sementara
Merauke ada di sekitar 142° BT. Busur lintang di dekat khatulistiwa antara
Sabang dan Merauke besarnya 47°. Kalau waktu didasarkan pada perputaran Bumi di
sekeliling sumbunya, ada perbedaan waktu kira-kira 3 jam 8 menit antara Sabang
dan Merauke; Sabang keteter terhadap Merauke. Selisih waktu alami ini akan
dihapus, menjadi nol jika ”GMT+8” diterapkan. Padahal, jarak kedua kota itu
sekitar 5.250 kilometer.
Apakah gagasan menyatukan WIB, Wita, dan WIT
menjadi ”GMT+8” itu cerdas, arif, dan berani atau bodoh, ngawur, dan gegabah? Saya
tak hendak menjawab pertanyaan retoris ini. Namun, kalau pertanyaannya
”ilmiahkah gagasan yang akan dijadikan keputusan itu” dengan masa uji coba yang
konon akan dimulai Oktober tahun ini, jawabannya: ”Tidaklah yauw !”
Ilmu ialah satu cara untuk mengetahui.
Komunitas ilmuwan tidak berpretensi bahwa cara ilmiah itu satu-satunya cara
atau cara yang terbaik. Ada cara lain untuk mengetahui dan dalam hal tertentu
bisa saja cara lain, yang tidak ilmiah, itu justru dianggap lebih baik.
Ilmu mempunyai dua komponen:
eksperimental/observasional/ empiris dan teoretis. Komponen yang pertama berupa
interaksi antara manusia (baca: ilmuwan) dan lingkungannya, alam ataupun
sosial. Dari interaksi ini diperoleh sejumlah data.
Dalam komponen teoretis, makna data itu ditafsirkan.
Ini terjadi di alam pikiran.
Kecerdasan dan daya nalar—juga pertimbangan
nilai-nilai—dipakai dalam pemaknaan itu dan deduksi logis yang disimpulkan dari
gambaran yang diperoleh dari komponen teoretis itu divalidasi dengan
menghadapmukakan kesimpulan itu dengan kenyataan atau pengalaman di ”lapangan”.
Jelaslah bahwa ilmu berkiblat pada apa-apa
yang alami. Rotasi Bumi adalah alami. Kita tak dapat mengubahnya dan sebaiknya
kita menyesuaikan diri dengan irama alami yang kodrati itu. Tak sesuai dengan
yang alami berarti tak ilmiah.
Teknologiskah?
Apakah kita tak boleh mengubah yang alami
itu? Tentu saja boleh, atau lebih tepat tak mengubah, tetapi ”menyiasati”.
Itulah yang kita lakukan dengan mengembangkan teknologi, yang tak lain dari
alat dan/atau cara mengatasi masalah yang kita hadapi atau kita antisipasi
sebelum masalah potensial itu menjadi aktual. Menurut Billy V Koen, di teras
teknologi ada apa yang disebut perekayasaan: usaha mengadakan perubahan yang
terbaik menurut persepsi masyarakat.
Mengadopsi ”GMT+8” berarti mengubah atau
merekayasa yang alami/ilmiah. Namun, dengan perubahan itu kita baru dapat
disebut berkiblat ke teknologi kalau dalam persepsi rakyat Indonesia perubahan
itu merupakan yang terbaik. Jadi, masih diperlukan uji publik dengan referendum
atau musyawarah dan mufakat di DPR. Akankah uji coba Oktober nanti jadi proses
demokrasi deliberatif di Lebenswelt Habermasian atau kita sedemikian
paternalistiknya sehingga patuh saja kepada para pemimpin bak kerbau dicocok
hidung?
Adopsi ”GMT+8” tak berkiblat ke alam dan tak
ilmiah, lagi pula belum tentu teknologis. Kelihatannya perubahan ke ”GMT+8” itu
lebih berorientasi ke pasar agar jam buka bursa efek kita sama atau lebih
banyak tumpang tindihnya dengan jam kerja pasar modal di bursa-bursa di ASEAN
dan Asia-Pasifik. Jadi, kita menyerah diatur ”tangan-tangan nan kasatmata”.
Masih mending jika pasarnya bebas,
persaingannya adil dan rasional sesuai dengan motto laissez faire. Kalau pasarnya didominasi kekuatan-kekuatan raksasa
ekonomi, berarti kita menerima Darwinisme sosial: membiarkan ”kesintasan Si Terkuat”. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar